17. The Angel: Threat

1.1K 119 0
                                    

Viola dan Amarta tercengang saat melihat nyaris seluruh kaki, siku, dan dagu Yosi penuh dengan luka lecet. Tidak hanya itu, beberapa daerah kulitnya di tangan kebiruan lebam. Mereka memang sering melihatnya seperti itu namun kali ini tergolong parah. Mereka tidak bisa membayangkan apalagi yang cewek itu lakukan dengan anggota geng yang lain. Nama Rian langsung muncul di benak. Memangnya siapa lagi selain dia? Cowok-cowok yang lain tidak akan berani membuat Yosi sampai seperti itu.

Yosi memang tidak tertatih-tatih ketika berjalan, namun wajahnya selalu tampak meringis. Waktu melihat Viola dan Amarta memandangnya dengan raut keheranan, dia langsung tersenyum sebagai pengganti ucapan kalau dia baik-baik saja.

"Stok plester di rumahmu sudah habis?" Viola berdecap dan menggeleng. "Aku nggak bisa bayangin bagaimana kamu bisa mandi dengan luka lecet parah begitu."

Amarta tidak ikut mengomeli Yosi. Dia hanya memegangi lengan cewek itu untuk membantunya berjalan walau sebenarnya itu tidak perlu. Kalau sudah seperti ini, Viola akan menjelma perannya sebagai seorang ibu yang galak. Dari awal mereka kenal dengan Yosi, Viola benar-benar tidak bisa mengabaikan segala kekacauan dalam diri cewek itu.

"Udahlah. Aku udah biasa kayak gini," kata Yosi pelan.

Viola lalu diam, tidak berminat bertanya lebih jauh. Mereka saling diam saat berjalan beriringan menyusuri lorong. Dalam benak Viola kemudian muncul sebuah ide.

"Ng, Yos. Nanti pulang sekolah ada acara nggak?"

"Nggak tau." Yosi mengedikkan bahu. "Tergantung orang-orang itu mereka mau ngapain. Daripada bosan di rumah."

"Gimana kalau main bareng kami?" tawar Viola. "Sekali-sekali kita refresh sebentar. Lupakan dulu geng berandal itu. Kami juga temanmu."

"Kita bisa mampir ke toko buku," sambung Amarta. "Atau ke mana pun yang kamu mau. Vio juga nggak keberatan keliling kota."

Yosi mengangguk-angguk. "Kapan kalian ajak aku main ke rumah kalian?"

Viola dan Amarta sontak membelalak terkejut. Atmosfer aneh dirasakan Yosi.

"Ka-kamu mau main ke rumah kami?" tanya Viola penuh ragu. Sikapnya sama dengan Amarta.

"Aku cuma bercanda. Biasanya kalau sama temen, anak lain akan ngajak temen-temennya main ke rumah. Kenapa kalian tegang gitu? Aku nggak akan maksa ke sana."

Viola memaksakan tawa kecilnya sama seperti Yosi. Meskipun dia bilang cuma bercanda, Viola merasakan jantungnya sempat terhenti tadi. Viola sempat melirik pada Amarta. Kembarannya itu juga tampak tegang dan sekarang Viola mendapatinya menelan ludah.

"Jadi nanti kan abis pulang sekolah? Nanti aku bilang sama yang lain kalau aku nggak ikut main lagi bareng mereka," kata Yosi. "Kalau gitu aku ke kelas dulu. Sampai nanti."

Yosi melambai sekilas lalu setengah berlari menuju ke arah kelasnya. Seperginya cewek itu, Viola sendiri masih belum menghilangkan rasa gugupnya.

***

Rian menghabiskan waktu hampir dua jam memukuli samsak tinju. Cowok itu mulai merasa lelah. Keringat yang membanjiri nyaris semua bagian tubuhnya mendingin saat diterpa angin yang masuk ke sela-sela ventilasi. Rasa lelahnya dikalahkan oleh perasaan marah, kesal, dan gelisah. Rian berlagak tenang ketika dia masih ada di sekolah, namun sesungguhnya kebalikannya. Suasana hati cowok itu kacau balau.

Semua gara-gara beberapa surat kaleng yang ditujukan padanya. Tidak ada nama pengirim-sepatutnya karena itu hanyalah surat kaleng. Semua kalimat disusun dengan kata-kata dari surat kabar yang dipotong-potong. Isinya sama sekali tidak Rian mengerti. Maksud dari surat itu mengarah ke satu hal: mengingatkan Rian pada sebuah kesalahan yang dulu pernah dia lakukan. Begitu banyak masalah yang pernah dia perbuat, mana mungkin Rian ingat satu per satu? Hal yang juga membuatnya bertanya-tanya adalah setangkai mawar merah yang diikutsertakan di dalam amplop surat itu. Memangnya masuk akal kalau dalam surat ancaman ditambahkan setangkai bunga?

Fallen AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang