Tepat ketika bel istirahat berbunyi, tidak peduli guru Akuntansi belum menyelesaikan kalimatnya untuk mengingatkan pertemuan mereka berikutnya akan diadakan ulangan, Yosi langsung beranjak berdiri lalu keluar kelas. Guru yang tergolong masih muda itu hanya bisa bengong namun tidak sedikit pun mencoba menegur Yosi. Dia pun menyelesaikan lambat-lambat hingga akhir kalimatnya. Dan ketika benar-benar usai, Ares segera menyusul keluar saat yang lain membereskan buku-buku dan alat tulis mereka. Cowok itu berlari kecil mendekati Yosi lalu menyelaraskan tempo langkah kakinya.
"Lo mau ke gedung IPA?" tanya Ares langsung.
"Deni bilang Rian masuk hari ini. Bocah itu nggak bolos, berarti sekarang dia pasti masih ada di sana," kata Yosi datar.
"Lo mau ngapain?"
"Tanya."
"Soal mayat itu?"
"Lo tahu gimana gelisahnya gue kemarin. Gue nggak akan bisa nahan lagi kali ini. Jawaban ya atau nggak itu udah cukup. Kalaupun ya, gue harus tahu alasannya."
Ares terdiam.
"Gue.. gue nggak percaya," kata Yosi lagi sewaktu mereka menaiki tangga. "Dia nggak akan sampai sejauh itu. Jadi itu pasti ulah orang lain."
"Lo yakin?" Ares berhenti melangkah dua detik sebelum Yosi melakukan hal yang sama di lantai kedua tempat mereka berada sekarang. "Gue tahu lo amnesia. Tapi gue nggak nyangka lo juga jadi kelewat bego."
Yosi menoleh. Sklera matanya dihiasi semburat kemerahan. "Maksud lo apa?"
"Lo percaya sama orang yang salah!" bentak Ares tiba-tiba.
Anak-anak IPA bermunculan sekeluarnya dari kelas. Sebagian mereka berpura-pura tidak peduli dan meneruskan jalan, sementara sisanya asal lewat namun dengan membatin atau berbisik satu sama lain. Ares dan Yosi tidak terpengaruh. Perhatian mereka fokus pada satu orang saja.
"Gue pikir gue udah cukup sabar selama ini. Lo sendiri nggak akan paham apa yang gue rasain," ujar Ares dingin. "Apa yang coba lo sangkal dari dia, apa yang coba lo percayain, Rian nggak pantes dapetin semua itu! Gue udah berulang kali kasih peringatan ke lo sedari awal! Masa bodo lo masih ingat atau nggak." Cowok itu memberikan jeda dengan meremas dahinya—frustasi. "Lo bener-bener cari masalah sendiri dengan sengaja libatin diri lo ke dia!"
"Gue pikir lo tahu," kata Yosi pelan.
"Gue kenal lo, jauh sebelum lo kenal sama Rian," kata Ares lagi. "Dan semenjak lo kenal sama cowok sialan itu, lo berubah. Sampai kapan lo mau nutup mata lo itu? Lo mau mati sia-sia cuma gara-gara lo nggak bisa jaga jarak sama dia?"
"Ares!" Yosi yang tidak tahan lagi langsung membentaknya. Sedikitpun dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Ares mengatakan semua itu padanya, padahal selama ini cowok itu lebih banyak diam seolah-olah tidak pernah peduli apa yang hendak dilakukannya. "Gue ke sini cuma mau mastiin sesuatu sama Rian! Itu aja!"
"Tapi sebelum tanya, lo udah nyimpulin itu nggak bener kan? Itu karena lo kelewat percaya sama dia."
"Gue nggak ngelihat ada yang salah soal itu."
"Apanya yang salah?"
Suara yang tidak asing menyela pembicaraan mereka. Mata Yosi melebar dan dia pun menoleh pada pemilik suara itu—Rian. Cowok itu sendirian, tidak ditemani Deni ataupun cowok lainnya yang masuk kelompok mereka. Wajahnya masih tampak kacau. Beberapa plester tertempel di sana-sini. Namun tetap saja hal itu tidak menyurutkan minat para cewek yang bersliweran melirik ke arahnya. Raut mukanya datar. Pandangannya dan Yosi tersambung, membuat Ares mengernyit tidak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Angel
ActionStatus: COMPLETED Setelah sadar dari koma dan mendapati diri lupa nyaris segalanya, Yosi dihadapkan dengan Rian--cowok yang paling ditakuti seantero sekolah dan pentolan geng pembuat onar di kotanya. Cowok itu memperlakukannya seperti boneka, di sat...