Seorang wanita tergopoh berlari sambil menjinjing bagian bawah rok. Tadinya dia berniat meraih gagang telepon di ruang depan. Namun akhirnya langkah kakinya mengerem mendadak begitu melihat seseorang di ambang pintu. Wanita itu terkesiap. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya pun bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu.
"Kenapa kau menangis?" Cewek di hadapannya bertanya meski tanpa emosi yang berarti.
"I-itu.. di kamar..." si Wanita pelayan terbata menunjuk ke belakang tanpa melepaskan sambungan pandangan keduanya.
Entah apa yang dia lihat. Tentunya sesuatu yang gawat. Rongga dadanya naik turun tidak karuan. Cewek tadi berkedip pelan, sama sekali tidak hanyut dalam kepanikan yang wanita itu buat. Dia diam mengamati. Kemudian saat pelayan itu menyebutkan satu nama, alisnya berjengit. Langkahnya kemudian bergerak menaiki satu per satu anak tangga. Tangis tersedu-sedu mengiringinya.
Bayangan cewek itu berhenti di muka sebuah pintu kamar yang dibuka sedikit. Keadaannya persis sama saat pelayan yang bertugas membersihkan bagian dalam meninggalkannya. Tidak ada suara. Sunyi. Tangan pucatnya menyentuh papan pintu dan mendorongnya pelan. Pagi telah terlewat, jadi seharusnya seseorang menyibakkan tirai.
Cewek manekin itu bergeming. Dia membisu kala pintu berderit memutar. Bahkan tanpa dia perlu mendongak, sepasang kaki yang melayang telah ditangkap sudut matanya. Kaki yang telanjang. Sosoknya menggantung tidak jauh dari tempat tidur. Lalu perlahan-lahan, cewek itu mengangkat wajahnya, melihat seseorang yang tampak tertidur dengan leher yang terjerat jalinan selimut.
Tangisan di belakangnya kian menjadi. Wanita itu mungkin satu-satunya orang yang sangat mengenal bocah laki-laki yang kini hanya meninggalkan tubuhnya yang beku.
"Diam." Cewek itu berkata pelan. Tangis di balik tubuhnya pun langsung teredam, menyisakan sesenggukan samar. "Panggil yang lain.."
Wanita itu mengangguk kaku. Dia lantas berlari secepat mungkin.
Menunggu sampai derap langkahnya usai, cewek tadi berjalan masuk. Serpihan-serpihan kayu berserakan di mana-mana. Terdapat dua buah biola yang rusak, seperti sengaja dihantamkan berkali-kali. Senarnya mencuat lepas. Busurnya juga patah. Kalau saja kakinya telanjang saat ini, mungkin dia akan terluka karena menginjak kepingan yang tajam.
Cewek itu mengalihkan pandangannya.
Bixa... Dia menyebut nama anak itu dalam hati. Umurnya masih sebelas tahun, tapi dia sangat berbeda dari anak-anak seumurannya.
Tirai yang masih menutup kemudian disibakkan sehingga cahaya matahari menerobos masuk dengan leluasa.
Seketika, pupil matanya mengecil liar—berniat membalas siapa pun yang merenggut sesuatu yang berharga darinya.
***
Setelah hampir setengah jam di kamar mandi, Rian keluar sambil mengusap-usap rambutnya yang basah. Cowok itu kemudian mengambil pakaian asal dari lemari. Selang tidak berapa lama, dia duduk di sofa depan tempat tidurnya sendiri setelah menyalakan televisi. Rian juga mengambil setumpuk surat dari mejanya—kebanyakan surat-surat formal dari acara-acara yang tidak banyak orang tahu.
Perhatiannya kemudian tertumpu pada secarik amplop cokelat polos. Tidak ada tulisan yang tertera di atasnya. Amplop yang bersih, dan agaknya lumayan tebal. Darimana amplop seperti itu dikirimkan? Pos akan memberi cap, demikian dengan perusahaan kurir.
Rian menyobek ujungnya. Raut mukanya berubah tegang saat melihat berlembar-lembar isi di dalamnya. Meletakkan kertas-kertas itu begitu saja, cowok itu bergegas keluar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Angel
ActionStatus: COMPLETED Setelah sadar dari koma dan mendapati diri lupa nyaris segalanya, Yosi dihadapkan dengan Rian--cowok yang paling ditakuti seantero sekolah dan pentolan geng pembuat onar di kotanya. Cowok itu memperlakukannya seperti boneka, di sat...