“Kak Yosi, gimana kalau makan sesuap aja? Satu sendok nggak apa-apa kok..”
Cewek itu menggeleng pelan memeluk kedua kakinya yang ditekuk hanya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggantung siku dengan gips. Bujukan Adam tidak dihiraukannya walaupun sudah hampir lewat sehari sejak Yosi dibawa ke rumah sakit malam itu. Antara rasa terkejut dan lega yang mengalir ke seluruh pembuluh darahnya seketika, dia terus menangis tanpa suara menemani Rian di dalam ambulans. Bersama dengan Daniel, mereka langsung dibawa ke rumah sakit.
Wajah Yosi memucat. Matanya menyorot kosong dan sesekali air matanya menetes keluar. Sedikitpun dia tidak bisa tidur dan posisinya tetap duduk di atas ranjang seperti itu.
Adam pun menunduk sedih. Mangkuk kecil yang dia pegang kemudian ditaruh kembali ke atas meja dekat sana.
“Kak Rian pasti baik-baik aja. Kak Yosi percaya kan?” katanya lagi.
Yosi bergeming. Namun dalam hati hatinya berbisik.
Gue percaya. Gue harus percaya..
Adam menoleh ketika pintu kamar itu dibuka. Viola masuk membawa sebuket amarilis putih segar diikuti Amarta di belakangnya. Adam tersenyum lalu mempersilakan mereka duduk sementara dia berinisiatif untuk keluar.
“Aku tahu perasaan kamu, Yosi..,” kata Viola menghiburnya.
Yosi diam.
“Aku.. nggak nyangka akan jadi seperti ini.. tapi syukurlah kamu baik-baik aja. Kami harap kamu cepet sembuh dan…”
“Kenapa kalian ada di sana waktu itu?” potong Yosi tiba-tiba.
Viola mendadak gugup. Dia menoleh pada Amarta namun keduanya diam.
“Kalian yang udah panggil ambulans ke sana kan?” Yosi bertanya lagi.
Sepasang kembar itu mengangguk.
“Kenapa kalian bisa ada di sana? Kalian menguntit atau…”
“Itu.” Viola memotong. “Memang benar kalau aku yang menelepon untuk dikirim ambulans waktu itu juga. Tapi.. kalau Meri juga nggak ada di sana, Kami nggak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Jatuhin panah itu sekarang!” seru Viola mengacungkan ujung tongkatnya.
Ratimeria awalnya bergeming. Meskipun tiba-tiba Viola muncul di hadapannya dan berseru, cewek itu tidak tampak terkejut karena sepertinya telah lebih dulu menduganya. Dia mengalihkan perhatiannya lagi pada Rian yang jatuh tertelungkup di dekatnya, tak sadarkan diri. Sejenak kemudian dia memandang Viola kemudian melangkah maju mendekatinya—masih dengan membawa panah dart tadi.
Waspada, Viola sempat mundur dua langkah dengan tetap mengacungkan tongkatnya. Namun ketika Ratimeria mendekatkan wajahnya ke telinga cewek itu, dia justru tidak bergerak sama sekali.
“Panggil ambulans ke sini..,” bisik Ratimeria pelan sebelum akhirnya pergi dari sana.
“Kalian harap gue percaya?” Suara Yosi meninggi. “Apa yang dia lakuin di situ?! Bukannya dia yang udah bikin Rian jadi kayak gitu?! Bukannya harusnya dia seneng karena Rian sekarang..”
“Aku juga tadinya berpikir seperti itu!” potong Viola tidak kalah sengitnya. “Tapi ternyata nggak."
Yosi seketika tertegun. Viola telah melontarkan kalimat yang harusnya dia sendiri ucapkan menyoal Rian. Tapi dia justru ragu dan mendatangi tempat itu sendirian hingga Rian terpaksa datang menolongnya.
“Pergi kalian..,” ucap Yosi dengan nada pelan. “Biarin aku sendiri.”
***
Memandang melalui jendela ruang pasien, Ratimeria berdiri diam memperhatikan cowok yang masih dalam kondisi kritis di dalamnya. Beberapa dokter atau perawat lewat sempat melirik sekilas padanya karena meskipun hanya bergeming di tepi, dia tetap mampu menyita perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Angel
БоевикStatus: COMPLETED Setelah sadar dari koma dan mendapati diri lupa nyaris segalanya, Yosi dihadapkan dengan Rian--cowok yang paling ditakuti seantero sekolah dan pentolan geng pembuat onar di kotanya. Cowok itu memperlakukannya seperti boneka, di sat...