Yosi merasa dirinya seperti wayang kulit. Sebelum bergerak, dia harus memperhitungkan seberapa sakit akibatnya di badan, terutama di bagian kanan. Tangan kanannya dibebat, mulai dari pangkal leher kanan, hingga sikunya. Pinggangnya juga nyeri, namun untung tidak separah tangan. Yosi bersyukur hantaman kursi rusak itu tidak mengenai kepalanya. Kepalanya kadang berdenyut-denyut tidak karuan dan tentunya tidak perlu bertambah. Kursi yang dipakai Rian pastilah hancur karena Yosi dapat mendengar serpihannya berjatuhan.Yosi turun dari ranjang hendak melihat keluar jendela. Di luar terang dan hanya terlihat mobil-mobil yang diparkir berjejer di halaman luar rumah sakit.
Dia belum sempat bertanya apa pun pada dokter kemarin ketika sadar di ruangan putih itu karena mendadak kepalanya berdenyut lagi. Walaupun seingatnya benar-benar samar, Yosi pikir dia mulai mengingat Daniel. Itu bisa jadi alasan mengapa tubuhnya bergerak refleks menjadi tameng cowok itu. Yosi bertanya-tanya sedang apa dia sekarang. Mungkin saja setelah dia tidak sadarkan diri, Rian menghajarnya habis-habisan.
"Yosi?" Viola datang dan langsung menyibakkan tirai yang memisahkan bilik ranjangnya dengan ranjang pasien lain. Yosi menoleh. Melihat cewek tangguh itu tidak berbaring saja di ranjang dan malah mematung menghadap jendela, Viola menyimpulkan dia lumayan baik-baik saja. "Bagaimana kakimu?"
"Nggak apa-apa," jawab Yosi yang lalu berjalan kembali ke tempat tidur lalu duduk di sana. "Lemparannya cuma kena lengan."
"Rian kan?"
Yosi mengangguk.
"Sepertinya sebelum ini kau sering sekali babak belur gara-gara Rian. Setelah sudah melihat beberapa kali, aku tidak heran." Masuk juga Amarta dengan membawa sekeranjang buah kemudian menaruhnya di atas meja tidak jauh dari sana.
"Aku tadi sudah bertemu doktermu," kata Viola sambil menyilangkan tangan dan punggungnya bersandar pada tembok. "Tidak ada tulang yang patah. Yang retak itu tulang selangka dan tulang lengan atas. Pertanyaannya: dengan apa dia memukulmu?"
"Kursi."
"Kursi?" Amarta terkejut. "Jahat sekali!"
"Sasarannya bukan aku kok," tambah Yosi.
"Jadi lemparannya meleset?" Viola mengernyit.
"Nggak juga..."
Setelahnya Yosi diam, membuat Viola dan Amarta saling berpandangan.
"Omong-omong...," kata Viola kemudian memecah keheningan. "Tadi kami lihat ada seseorang tanya di bagian informasi tempat kamu dirawat. Kami tidak kenal dia. Bukan Rian, Ares, atau Deni. Mukanya.. um.. babak belur juga. Banyak plesternya."
***
Rian masih ingat betul kejadian kemarin yang membuatnya nyaris kena serangan jantung mendadak. Hampir saja dia menghabisi Daniel dalam satu bantingan keras, namun tiba-tiba cewek itu melesat menghalanginya. Rian mengira jantungnya sempat berhenti dan sepersekian detik pikirannya melayang ke mana-mana. Dia tidak akan jadi seperti itu kalau yang mereka lakukan hanyalah hal-hal seperti biasa. Rian selalu bisa memastikan Yosi akan baik-baik saja. Palingan luka gores atau lecet sana-sini, ataupun lebam. Istimewanya cewek itu dulu adalah dia bisa pulih dengan cepat tanpa sedikitpun ada rasa jera untuk melakukannya lagi. Itu salah satu alasan mengapa Rian begitu tertarik padanya di awal mereka kenal.
Rian tidak tahu apakah hal itu juga masih berlaku sekarang. Sikap Yosi berubah. Dia tidak lagi searogan dulu dan terlalu berhati-hati. Perubahan yang membuat Rian seringkali kesal bahkan marah pada cewek itu.
Dirinya sempat mengira kalau kursi itu melayang hingga menghantam kepalanya. Sontak Rian panik. Pikirnya, bagaimana kalau setelah itu amnesia Yosi bertambah parah. Mungkin hingga dia lupa akan namanya sendiri. Buru-buru dia membawa Yosi ke rumah sakit terdekat dan bertingkah seperti orang gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Angel
ActionStatus: COMPLETED Setelah sadar dari koma dan mendapati diri lupa nyaris segalanya, Yosi dihadapkan dengan Rian--cowok yang paling ditakuti seantero sekolah dan pentolan geng pembuat onar di kotanya. Cowok itu memperlakukannya seperti boneka, di sat...