"Lo yakin ini alamatnya?" tanya Yosi.
Deni mengangguk. "Dua-duanya punya alamat sama. Mereka kan kembar. Itu perumahan elit yang gampang ditemuin. Lo bakal gampang nyari rumah mereka."
"Lo nggak ketahuan sama sekali kan?"
"Nggak dong. Orang gue nyusup ke bagian arsip sekolah udah sepi total kok. Gue tinggal bilang sama penjaga kalau ada kegiatan sore, trus gue bantuin dia buat kunci gembok semua ruangan."
"Thanks, Den. Bener-bener nggak salah gue minta tolong sama lo."
"Lo ngomong kayak baru pertama kali aja nyuruh gue yang aneh-aneh," tanggap Deni seraya tertawa. "Besok-besok lagi juga nggak apa-apa. Omong-omong.. lo juga lagi ada masalah sama Ares ya?"
Yosi menggeleng. "Kenapa emangnya?"
"Nggak apa-apa sih. Dia cuma agak aneh aja. Ketularan Rian kali ya?"
***
Yosi membaca dua baris alamat dalam gambar foto di ponsel—yang dikirimkan Deni siang tadi—berulang-ulang untuk memastikan dia tidak sedang menyusuri jalan yang salah. Tidak seperti lingkungan tempat tinggalnya di mana rumah satu dan yang lain berdiri berdempetan, kawasan perumahan yang Yosi datangi seolah memberi kesan benar-benar menghargai privasi masing-masing penghuni rumah. Bangunan-bangunan besar dengan tatanan yang apik, asri namun juga terkesan angkuh menyambut Yosi. Jalan-jalan kecil di sana begitu lengang. Kendaraan yang berlalu lalang yang dia lihat sekitar sepuluh menit bahkan tidak melebihi jumlah jari di satu tangannya.
Tahu-tahu Yosi melihat ukiran kayu berbentuk angka sembilan tepat di sampingnya. Dia mematikan ponsel lalu memasukkannya ke dalam saku samping tas kemudian mendongak. Di hadapannya persis, menjulang pagar setinggi dua kali tubuhnya. Cewek itu termenung beberapa saat sebelum akhirnya menekan bel.
Detik-detik berikutnya terasa sangat lama. Tanpa bisa dicegah, jantung Yosi pun memacu lebih cepat. Sepenggal dirinya menyesal telah datang ke tempat itu hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Yosi tidak menganggap hal itu sebagai gengsi. Hanya saja dia sedikit merasa tidak enak pada Viola dan Amarta, walaupun orang yang ingin dia temui bukan salah satu dari mereka.
Ketika pagar besi itu digeser dari dalam, Yosi refleks mundur satu langkah.
Sosok Amarta menyambut dengan senyum otomatis ketika melihatnya.
"Hai, Yosi. Lama tidak bertemu," kata Amarta ramah. Sifat periangnya tidak pernah absen menghiasi aura cewek itu. "Ayo masuk."
Dia berbalik tenang, seolah yakin Yosi akan mengikutinya. Kenyataannya memang begitu. Beberapa saat setelah melewati pekarangannya dengan taman bunga dan sebuah kolam ikan yang indah, Amarta mendorong pintu depan yang tidak tertutup. Hawa sejukpun menerpa wajah Yosi. Untuk melihat bagian dalam rumah itu, Yosi tidak sedikitpun heran mendapati perabotan-perabotan mewah diletakkan di sana-sini.
"Viola di mana?" tanya Yosi sekedar untuk basa-basi.
"Dia akan bergabung nanti," jawab Amarta tanpa menoleh. Cewek itu menuntunnya ke bagian samping di mana dinding di sana berupa kaca berhiaskan tirai putih yang agak transparan.
Yosi menyipitkan mata menyadari ada seseorang yang tengah duduk di halaman luar. Posisinya menyamping. Bayangannya sedikit terhalang tirai hingga Yosi tidak bisa melihat jelas wajahnya. Dahinya berkerut sewaktu Amarta menghentikan langkah ketika hendak membuka pintu kaca di sana. Cewek itu pelan-pelan menoleh pada Yosi dan terlihat ragu.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa," jawab Amarta. "Dia udah nunggu kamu."
"Dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Angel
AcciónStatus: COMPLETED Setelah sadar dari koma dan mendapati diri lupa nyaris segalanya, Yosi dihadapkan dengan Rian--cowok yang paling ditakuti seantero sekolah dan pentolan geng pembuat onar di kotanya. Cowok itu memperlakukannya seperti boneka, di sat...