Peluh membanjiri tubuh Yosi. Bulir-bulir keringatpun jatuh dari dagu. Terengah-engah, cewek itu membungkuk memegangi kedua lututnya. Dia berhenti memukuli sebuah samsak tinju setelah satu setengah jam berlalu. Ketika menyadari seseorang masuk ke ruangan itu, dia menegakkan kembali tubuhnya lalu menoleh."Kenapa lo ke sini?" tanyanya sambil menyeka keringat di bagian leher.
"Kenapa lo nggak mau ikut?" Ares justru balik bertanya.
"Kali ini gue nggak punya alasan buat ikut-ikutan. Rian bilang dia cuma ngasih pelajaran sama orang yang udah ganggu dia. Dia bilang gue nggak perlu tau... jadi, gue simpulin orang itu nggak ada hubungannya sama gue. Kalaupun gue di sana, gue bakalan cuma nonton," kata Yosi mengambil handuk dari tas lalu meminum sebotol air mineral.
Ares terdiam melihat Yosi kemudian membereskan barang-barangnya. Cewek itu lalu mengenakan kembali jaket putih kesayangannya yang sekarang mulai lusuh. Saat membalikkan badannya pada Ares, Yosi menatap sejenak wajah keruh cowok itu.
"Lo belum jawab pertanyaan gue tadi," kata Yosi. "Atau lo disuruh Rian? Rian minta gue ke sana?"
Ares tidak langsung menjawab. Wajahnya melirik ke arah lain, bukan untuk melihat apa pun. Cowok itu ragu dan gelisah, juga agaknya sedikit terburu-buru walau badannya bergeming.
"Ada apa?" tanya Yosi akhirnya—merasa aneh. "Rian ngehajar orang sembarangan lagi?"
Lebih dari itu, batin Ares yang ingin sekali berteriak. Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana mengatakannya. Yang jelas sekarang, Yosi harus ke sana dan melihat sendiri. Setidaknya hanya dialah yang bisa menghentikan Rian, dengan apa yang tengah dia lakukan pada...
"Ikut gue."
Yosi mengangkat alis tidak mengerti.
"Pokoknya lo musti ikut gue," kata Ares.
Setelahnya, Yosi sadar kalau yang terjadi kemudian bukan main-main. Ares membawa Yosi ke lingkungan kumuh dekat jembatan layang yang sepi. Karena motornya tidak bisa masuk ke sebuah gang yang terlampau sempit, Ares meninggalkannya di sekitar sana. Cowok itupun langsung menarik tangan Yosi untuk mengajaknya berlari cepat. Sesampainya di sana, sebuah pemandangan yang mencengangkan membuat Yosi terpaku di tempat.
Daniel tertelungkup di atas tanah dengan luka nyaris di sekujur tubuhnya dengan mulut yang hampir penuh. Yosi sempat bertanya-tanya apa yang tengah orang-orang itu sumpalkan ke mulut Daniel, ketika kemudian dia melihat tong sampah yang berserakan di sana-sini. Tidak jauh dari Daniel juga banyak sekali berserakan segala macam bungkus makanan yang kotor dan menjijikkan.
Tangan Yosi terkepal kuat. Dia pun mengalihkan pandangannya pada Rian. Cowok itu sedang mengarahkan kamera ponselnya ke arah Daniel yang sedang mengunyah dengan susah payah. Pipi cowok malang itu tidak hanya kotor oleh darah dan tanah, tetapi juga air matanya yang mengalir tanpa dia bisa tahan lagi.
"Oh, Yosi, akhirnya lo ke sini juga," kata Rian. Terdengar wajar. Sangat wajar dan tenang. "Kami lagi nraktir Daniel makan malam, soalnya tadi dia bilang udah nggak kuat lagi latihan sama gue."
"Latihan apa?" tanya Yosi datar, walaupun dalam hatinya bergejolak.
"Soalnya gue tau kalau dia pengen jadi kayak gue. Bahkan dia sendiri yang minta mau ikut main sama kita."
Yosi terdiam. Bibirnya bergetar namun tidak mampu mengucapkan kata-kata apa pun lagi. Dia melihat Daniel menoleh dalam rasa sakit dan mual yang menjadi-jadi. Mata cowok itu berlinang, dan sekarang menatap Yosi. Yosi melihat bibir Daniel bergerak-gerak dan dia jelas mendengarnya—suara lirih Daniel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Angel
AksiyonStatus: COMPLETED Setelah sadar dari koma dan mendapati diri lupa nyaris segalanya, Yosi dihadapkan dengan Rian--cowok yang paling ditakuti seantero sekolah dan pentolan geng pembuat onar di kotanya. Cowok itu memperlakukannya seperti boneka, di sat...