E M P A T B E L A S

61.9K 3.2K 38
                                    

D I S A S T E R
.
.
.

Sudah lebih dari tiga puluh menit Salsa dan Dika terjebak di dalam kemacetan. Dan selama itu juga Salsa maupun Dika tidak bergeming sedikitpun. Dika lebih fokus pada jalanan yang macet dan sesekali pria itu menghela napas panjang seakan sedang punya masalah dan kerutan di dahi Dika tidak juga hilang semenjak Salsa berada di dalam mobil sport-nya itu.

Seketika Salsa merasa jika dialah dalang dibalik mood buruk Dika. Tetapi seingatnya, dia belum pernah membuat masalah dengan pria itu. Kecuali Dika marah karena kemarin Salsa menganggunya membaca di perpustakaan pribadinya. Jika itu alasannya, maka Dika akan Salsa cap dengan kata 'bocah' untuk selanjutnya.

Dika menggigit ujung ibu jarinya. Matanya tertuju lurus pada jalanan yang macet, dan jemari tangan kirinya mengetuk setir. Pikirannya sedang kacau, sudah lebih dari seribu kata yang dirancangnya agar membuat keadaan di dalam mobil tidak sebeku sekarang. Tapi sayang, semua kata yang sudah dirangkai hanya tertahan di bibir, tanpa terdengar apa-apa.

"Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?"

Suara Salsa spontan membuat Dika menoleh ke arah gadis itu. Hanya beberapa detik pertemuan mata diantara mereka, setelah itu Dika segera mengalihkan pandangannya kembali ke setir, "Tidak ada apa-apa," jawabnya berbohong. Semua orang tau jika Dika sedang memikirkan sesuatu seban pria itu memperlihatkan wajah masamnya secara langsung.

Salsa menggedikkan bahunya. Dia tidak ingin bertanya lebih, sebab Dika bukan tipe orang yang mudah mengatakan apa yang ada di pikirannya. Salsa melirik keluar jendela, menatap bangunan megah di pinggir jalan. Ada beberapa anak remaja perempuan sedang memilih pernak-pernik di salah satu toko di sebelah bangunan mewah yang sebelumnya Salsa lihat. Mereka tertawa sembari mencoba aksesoris lucu disana. Tanpa Salsa sadari, lengkungan senyuman tercetak jelas di wajahnya.

Dia iri.

Salsa iri sebab dia tidak pernah merasakan moment seperti itu semasa sekolahnya. Semasa sekolah hanya dihabiskan dengan belajar, belajar, dan belajar. Tidak ada istilah istirahat, bersenang-senang, bergaul, apalagi berpacaran. Salsa kembali teringat bagaimana beberapa anak laki-laki mendekatinya semasa SMA. Salsa masih ingat salah satu nama diantara laki-laki yang menggodanya. Nama laki-laki itu Nico, ya, itu yang pernah Salsa dengar ketika teman-teman laki-laki itu memanggilnya.

Salsa tidak ingat wajah laki-laki itu. Bahkan saat laki-laki itu memanggilnya, Salsa memilih menunduk atau pergi. Dia tidak ingin dekat dengan orang yang mungkin menghambat sekolahnya.

Tapi ada salah satu kenangan yang tidak pernah Salsa lupakan dari laki-laki bernama Nico itu.

-

7 tahun lalu

Salsa menangis. Menangis dalam diam. Hanya dia yang tahu mengapa dia menangis. Sudah lewat sejam dari jam kepulangan sehingga tidak seorangpun yang melihatnya menangis di koridor kelas sebelas. Ia memeluk lututnya erat, melampiaskan kesedihannya sendirian disana.

Sudah biasa bagi seorang Salsa menanggung hal seperti itu. Sepertinya dia memang diciptakan untuk selalu bersedih. Tidak ada tempat yang aman bagi dirinya. Tidak dirumah ataupun disekolah. Tidak ada yang mau berbagi kesedihan dengannya, semuanya bisu seakan dirinya itu robot...tidak ada perasaan, baik sedih, senang, marah, ataupun suka.

Salsa punya semua itu, hanya saja dia memendam semuanya, menasang tampang datar tanpa memperdulikan keberadaan orang lain. Dia ingin segera lepas dari kekangan Bibi Evelin. Dia ingin sukses, membangun dunianya sendiri tanpa ada lagi yang menganggu.

Young WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang