W A R (t i g a)
.
.
.Kaki kanan Salsa terasa nyeri. Bahkan setelah direndam di air es pun tidak mengurangi rasa sakitnya. Salsa mengadah menatap langit yang cerah, matanya terpaku cukup lama di hamparan biru itu hingga seseorang menghampirinya.
"Kak Salsa baikan?" tanya Vivi dengan suara imutnya. Salsa terpaksa mengalihkan pandangannya dari langit biru lalu tersenyum lebar ketika melihat ekspresi cemas Vivi kala menatap kakinya yang memerah.
Tangan Salsa spontan mengusap pipi Vivi dengan senyum lebar masih menghiasi wajahnya, "Kakak sudah baikan anak nakal," ucap Salsa sambil mencubit pipi Vivi gemas.
Vivi mengembungkan pipinya, bertingkah seakan tidak puas dengan jawaban Salsa. Bibirnya mengerucut dengan manik mata yang menandakan jika ia cemas.
Salsa sadar dengan ekspresi Vivi. Ia lalu beralih mengusap rambut pirang kecoklatan gadis kecil itu. "Kakak tidak apa, Sayang. Pergilah bermain dengan temanmu," kata Salsa lembut seraya menunjuk sekumpulan anak-anak seusia Vivi bermain di tengah taman.
Layaknya anak kecil, Vivi langsung bersemangat begitu mendengar kata 'bermain'. Vivi mengangguk dengan wajah penuh semangat. Salsa terkekeh pelan saat Vivi memeluk kaki kanannya sebelum akhirnya anak kecil itu bergabung dengan teman-temannya. Dari kejauhan, Salsa menatap Vivi lekat. Vivi itu terlihat berbeda di antara anak-anak yang lain. Matanya hitam pekat, kulitnya putih, dan rambutnya pirang kecoklatan.
Seketika kenangan itu kembali membayangi Salsa. Kenangan yang ingin sekali dia lupakan. Kenangan yang membuatnya tidak akan pernah tidur dengan nyenyak.
Salsa kembali mengadah menatap langit. Sesaat rasa sakit di kakinya hilang, berganti menjadi perasaan tenang kala angin semilir mengusap pipinya lembut.
Pandangan Salsa seketika teralih saat Dika kembali dengan kotak P3K di tangannya. Pria itu langsung duduk di hadapan Salsa yang duduk di bangku kayu. Pria itu tidak menghiraukan celananya yang pasti akan kotor karena rumput yang basah. Tetapi pria itu kelihatannya tidak terusik dan mulai mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukannya dari dalam kotak P3K.
"Sudah baikan?" tanya Dika datar. Ia mengangkat kaki kanan Salsa keluar dari air es, kemudian menekannya di beberapa titik. Spontan Salsa meringis tanda kesakitan, bahkan perempuan itu sudah menggigit bibir bawahnya.
Tanpa mendengar jawaban Salsa, Dika sudah tahu jika perempuan itu belum baikan. Pria itu lantas memijit perlahan kaki Salsa yang bahkan sudah meninggalkan bekas biru. Untung saja tidak terluka dan mengeluarkan darah. "Lain kali hati-hati," ucap Dika dengan mata masih berfokus pada kaki Salsa.
Salsa mengangguk kecil karena dia mengakui kesalahannya sehingga membuat semua orang di panti asuhan repot. Sebenarnya penyebab kakinya seperti itu bukanlah kesalahannya. Dia terluka karena menolong anak kecil yang hampir dijatuhi pot keramik saat anak itu menyenggol meja yang di penuhi bunga dengan pot keramik. Alhasil, kaki kanan Salsa yang menjadi korbannya.
Salsa tidak mau mengatakan alasannya terluka seperti itu. Saat ditanya, dia hanya menjawab jika dia tidak sengaja menjatuhkan pot bunga dan pot itu mengenai kakinya. Karena hal itu juga Dika menatapnya tajam dari tadi, seolah-olah pria itu marah karena keteledorannya. Itulah yang membuat Salsa lebih memilih diam daripada mengatakan yang sebenarnya.
"Tahanlah, ini tidak akan lama," kata Dika meminta agar Salsa menahan rasa sakit yang pasti akan timbul karena dia berniat menekan daerah yang paling biru, dan paling bengkak.
"Aaaa..." rintih Salsa begitu Dika mulai beraksi. "Please, pelan..." erang Salsa tidak tahan dengan rasa sakit yang disebabkan oleh Dika.
Dika bukannya menghentikan aksinya, tetapi pria itu malah semakin gencar menekan kakinya yang bengkak. Perlahan, aksi Dika menekan kakinya yang bengkak melambat, membuat Salsa lega karena penderitaan sudah berakhir.
Dika memilih tidak membalut kaki Salsa sebab perempuan itu pasti bekerja besok dan dia tahu jika Salsa bukanlah tipe orang yang mau menarik perhatian dengan kaki dalam keadaan dibalut. Setelah yakin kaki Salsa tidak akan bengkak lagi, Dika segera merapikan semua benda-benda di P3K-nya.
Pria itu berdiri dari duduknya, menepuk celananya yang kotor kemudian duduk di sebelah Salsa. Tepat di samping Salsa, bahkan jarak mereka tidak ada 30 senti. Salsa.bisa mendengar pria itu menghela napas berulang kali.
"Aku minta maaf," cicit Dika tanpa menatap Salsa, dia memakukan pandangannya pada jemarinya yang saling bertautan.
Salsa terdiam sesaat, sebelum bibirnya terbuka, "Aku selalu diajarkan oleh Bibi Evelin untuk memaafkan siapa saja, tidak peduli seberapa besar kesalahannya pada kita." Ada jeda beberapa detik, namun bibir itu kembali terbuka, "tapi untuk sekarang, aku tidak ingin melakukan seperti yang dikatakan oleh Bibi Evelin."
Dika terdiam, namun matanya mulai mencoba menelusuri tiap inci wajah Salsa. Tanpa ditanya, Dika dapat merasakan jika perempuan itu punya banyak masalah, dan dia tahu bahwa dirinya adalah salah satu dari masalah Salsa.
Dika menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, "Berarti kau tidak memaafkanku, bukan?" Dika mengangguk kecil, "aku juga merasa jika aku tidak pantas untuk dimaafkan... atas segala yang kulakukan padamu."
Detik itu juga, Salsa merasa ada yang aneh, entah hanya perasaannya saja, seolah bagian terdalam dirinya memberitahu akan ada sesuatu yang baik akan terjadi. Salsa menatap Dika, mata mereka bertemu, tanpa kata-kata keduanya mengerti jika mereka berdua punya penderitaan. Penderitaan tanpa diketahui kapan berakhir.
"Tapi, sepertinya aku sudah tidak bisa bermain-main lagi dengan ini semua." Dika berucap, membuat luka di hati Salsa bertambah satu sayatan lagi.
Jadi selama ini dia hanya bermain-main? Tanpa tahu aku menderita akibat ulahnya? batin Salsa bergejolak. Hatinya seakan menangis, sesak itu pasti.
Salsa tersenyum, "Ku harap kau mampu mengerti." Salsa segera bangkit dari duduknya setelah mengatakan hal itu. Bahkan rasa sakit di kakinya sudah tidak ada bandingnya dengan sakit yang dirasakannya di dalam hatinya. Terlalu sesak... karena tidak ada tempat berbagi.
"Kau mau kemana? Kakimu masih sakit," ucap Dika seraya mencekal lengan Salsa hingga pergerakan perempuan itu terhenti. Salsa menoleh, menatap wajah datar Dika.
Dia tersenyum, "Tidak, aku hanya ingin ke toilet. Jangan berpikir untuk mengantarku." Salsa melepas cekalan tangan Dika, kemudian dengan tertatih-tatih, ia pergi. Mencoba menjangkau tempat paling tepat untuk... menangis.
Sendiri.
***
Haii~~ maaf telaaat banget
Alasannya masih sama seperti biasanya, sibuk sama tugas sekolah, ekskul, dan les.Oke, part ini pasti enggak ada apa-apanya dibandingkan lama update-nya. Tapi seenggaknya kalian masih ingat sama Dika dan Salsa dari cerita Young Wife.
Q: Saran kalian buat cerita ini, apa sih?
Diusahain secepatnya, okay
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Wife
RomanceMungkin menurut banyak orang, seorang gadis berumur 24 tahun itu sudah cukup umur untuk menikah dan menjadi seorang istri. Tetapi bagi, Salsa Nabilla, dia sudah menjadi salah satu korban nikah muda. Jika bukan karena kehendak Bibi Evelin, dia tak...