D I S A S T E R (2)
.
.
."Apa maksud Ayah?!" bentak Dika dengan emosinya. Dia bahkan tidak menghiraukan pria tua yang baru saja dibentaknya yang tidak lain ayah kandungnya sendiri.
Pria tua itu masih diam, tidak berniat merespon ucapan putranya itu. Mata hitamnya masih tertuju pada buku tua yang berada diatas pangkuannya.
Laki-laki tua itu—Geraldo—menghela napas kecil."Apa maksud Ayah?" bentak Dika mengulangi ucapannya yang baru saja meluncur dari bibirnya yang sudah kelu beberapa detik yang lalu. Napasnya sudah memburu. Matanya membulat sempurna.
Geraldo memejamkan matanya sejenak, seakan memikirkan sesuatu. Detik demi detik terasa sangat lambat, seandainya pria tua dihadapannya bukan orang yang disayanginya, mungkin sekarang pria itu sudah tidak bisa berbicara lagi.
"Jangan membentakku! Katakan apa maksudmu!" ucap Geraldo dengan mata tajam. Melirik putranya itu melalui bingkai kacamatanya.
Dika mengatur napasnya, mencoba meredam emosinya yang hampir saja mencapai batas. Dia masih punya hati untuk memaafkan rasa bencinya pada ayahnya itu.
"Apa maksud ayah memindahkan Vivi ke panti asuhan yang lain?" tanya Dika akhirnya.
Geraldo bangkit dari duduknya, mengajak Dika untuk duduk di sofa di ruangan dengan pencahayaan yang minim itu. "Ayah tau kau selalu mencoba membawanya masuk kedalam keluarga kita," ada jeda di ucapannya, "tapi Ayah tidak bisa membiarkan kau membawanya begitu saja. Kau pasti ingat perjanjian kita, bukan?"
Perjanjian? Dika tersenyum miring. Rasanya terlalu lucu melibatkan semuanya dengan perjanjian.
"Apakah Ayah akan membiarkanku membawanya keluarga kita jika aku mengikuti kemauan Ayah?"
Geraldo mengedikkan bahunya, "Kau pasti mengerti tanpa Ayah jelaskan."
Dika tersenyum kecil dengan anggukan mengerti, "Baiklah, aku akan melakukannya." Langkah pria itu terasa berat untuk meninggalkan ruangan itu. Bukannya permintaan Geraldo yang sulit, tetapi sulit untuk menjelaskannya pada gadis itu, gadis malang yang harus menanggung beban keluarganya.
***
"Apa yang sebenarnya Ayah dan Kakak bicarakan?" tanya Vira disela tangannya yang mengaduk adonan donat.
Salsa diam. Melirik pintu yang terakhir Dika masuki beberapa menit yang lalu. Ini sudah hampir setengah jam, tidak ada yang terjadi. Tidak terdengar apa-apa, hanya diam yang menyapa pendengaran Salsa.
"Apa Dika sering seperti itu?" tanya Salsa balik. Tangannya mengaduk cokelat batangan yang mulai mencair—untuk donat yang Vira minta buatkan.
Vira mengerutkan keningnya sekilas, lalu menatap Salsa, "Tidak."
"Lantas di mana Mama?" Salsa baru sadar jika dia belum melihat Ibu mertua-nya. Mungkin efek dari pikirannya yang sejak tadi berfokus pada Dika yang semakin kasar dan aneh sejak tadi.
"Ah, Mama pergi ke pertemuan..." Vira tampak berpikir, "entahlah, aku lupa. Yang penting Mama pergi keluar kota bersama Ibu-Ibu arisan, mungkin."
Salsa mengangguk mengerti. Tangannya kembali sibuk mengaduk cokelat yang sudah hampir meleleh sempurna. Sampai matanya beralih ke pintu yang sejak tadi diliriknya—tiba-tiba terbuka. Menampakkan Dika yang berjalan penuh emosi.
Pria itu menatapnya tajam, hingga Salsa merasa organ tubuhnya membeku sempurna. Bahkan untuk sekedar bertanya apa yang sebenarnya terjadi saja, Salsa tidak mampu.
Tangan besar Dika meraih pergelangan tangannya. Menariknya paksa hingga cokelat yang tadinya diaduk Salsa jatuh dan tumpah di lantai, membuat Vira menjerit tertahan. Vira tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kakak laki-lakinya itu. Yang dia tahu, dia belum pernah melihat Dika seperti itu.
"Kakak kenapa?" teriak Vita sembari mendekati Dika dan Salsa yang menghentikan langkahnya.
Dika tidak menjawab, hanya menatap adiknya itu. Vira terlihat ketakutan, tetapi perempuan itu berusaha terlihat kuat. Itulah yang membuatnya sangat melindungi adiknya, takut adiknya itu hilang arah.
Dika kembali menarik Salsa, hingga gadis itu meringis kecil. Ini sudah kelewatan batas, Dika sama saja melukainga jika seperti ini.
"Lepaskan aku!" bentak Salsa menghempaskan tangannya yang terasa nyeri karena cengkraman tangan kekar Dika.
"Jangan membuatku marah!" Dika menatap Salsa penuh emosi. Emosi sudah menguasainya. Dia sudah tidak menghiraukan adiknya yang mulai menangis di dekat sofa, sedangkan Salsa hanya mematung. Tidak tahu mau berkata apa lagi.
Dilain sisi, Salsa mulai ketakutan. Memori masa kecilnya membuatnya takut. Tangannya sudah gemetar hebat. "Harusnya aku yang berkata demikian. Kau selalu sesukamu. Kau membentakku tanpa aku ketahui salahku... Lantas apa aku dimatamu?" air mata luruh, membasahi wajahnya.
Vira mendekat, memeluk kakak iparnya itu. Tangannya menuntun Salsa untuk pergi meninggalkan Dika yang masih terdiam, tidak berkutit.
"Salsa..." lirih Dika, setelah sadar apa yang dia perbuat.
Vira menggeleng, mengisyaratkan Dika untuk diam. Karena masalah seorang perempuan hanya bisa diselesaikan oleh perempuan juga, itu yang Vira tahu. Dan dia sangat tahu jika Dika bukan orang yang tepat untuk berbagi cerita.
Dika mengacak rambutnya frustasi, kini dia sudah mempersulit keadaan. Dengan demikian, dia semakin jauh dari tujuan awalnya.
***
Pendek banget, kan?
Tau kok tau.Voment ya, biar aku update besok.
Q: Menurut kalian Dika itu gimana?
Bye-bye💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Wife
RomantikMungkin menurut banyak orang, seorang gadis berumur 24 tahun itu sudah cukup umur untuk menikah dan menjadi seorang istri. Tetapi bagi, Salsa Nabilla, dia sudah menjadi salah satu korban nikah muda. Jika bukan karena kehendak Bibi Evelin, dia tak...