It's time to the new life
.
.
.Rapat adalah hal yang begitu mengerikan bagi setiap orang yang merasakannya. Apalagi seseorang itu harus mengutarakan idenya disaatnya otaknya berhenti bekerja dan kini Salsa sedang merasakannya. Rapat baru saja selesai dan itu membuat kepalanya terasa sakit. Mendengar atasan menyebutmu 'bodoh' disaat tidak memberi ide dan mengabaikan idemu saat kau memberi ide yang berusaha kau temukan diantara saraf-saraf di otakmu itu bukanlah hal yang lucu, tetapi sangat menyebalkan. Jika saja itu bukan atasannya, Salsa pasti sudah melemparkan orang itu melalui jendela dan melanjutkan rapat tanpa gangguan, tapi apalah daya jika dia masih seorang pekerja di perusahaan itu.
Salsa menghela napas panjang dan mengenakan mantel hangatnya. Ia berniat pergi ke psikolog sekarang juga sehingga dia bisa pulang ke rumah lebih cepat dan meminta Dika menjemputnya karena dia butuh istirahat sekarang. Karena tadi pagi dia diantar, sehingga dia harus menggunakan taksi agar sampai di rumah sakit dimana dia akan menemui psikolog sesuai janjinya dua hari yang lalu.
Perjalanan menuju rumah sakit cukup memakan waktu bertepatan dengan jalanan yang macet seperti biasanya. Itu membuat Salsa hanya bisa berdiam diri memandang lautan kendaraan yang sudah terlihat seperti wajah atasannya saat rapat tadi. Dia sudah gila hingga wajah atasannya itu terlihat di mana-mana. "Sadar Salsa, kau belum boleh gila. Masih banyak tempat yang harus kau kunjungi, Paris, London, banyak lainnya" Salsa berbicara pada dirinya sendiri hingga supir taksi meliriknya dengan tatapan rada ngeri.
Sekitar satu jam dalam perjalanan, Salsa akhirnya sampai di rumah sakit. Ia segera turun dari taksi begitu membayar biayanya. Matanya menatap sekeliling halaman rumah sakit itu, seperti biasanya, rumah sakit selalu dipenuhi dengan orang-orang yang terlihat panik dan cemas. Salsa benci pemandangan itu, dan juga suara sirine ambulans selalu mengingatkannya pada kejadian dimana semuanya bermula hingga itu menjadi mimpi buruk baginya, mimpi yang hingga saat ini menemaninya.
Udara terasa sangat dingin sehingga Salsa mempererat mantel yang dikenakannya. Ia kemudian melangkah masuk dan pemandangan orang-orang yang terlihat tidak begitu baik atau sedang sakit segera menyapanya. Jantung Salsa mendadak terpacu cepat. Napasnya terasa begitu berat. Langkahnya melambat begitu melihat anak laki-laki yang sedang menangis kencang, antara takut dan kesakitan, itulah yang Salsa lihat. Dadanya terasa sesak, melihat pemandangan seperti itu membuat kenangannya tentang cikal bakal mimpi buruknya kembali terasa jelas. Anak laki-laki itu persis seperti dia dulu, saat dia harus merasa trauma dan kesakitan dalam waktu bersamaan.
***
Dika menatap jam tangannya sekilas, sebentar lagi jam kerjanya akan selesai dan matanya sesekali melirik ponselnya yang berada di kantong jas dokternya, memastikan ia tidak melewatkan pesan ataupun telpon dari Salsa. Dia sebenarnya tidak yakin apakah Salsa akan menelponnya atau tidak, tapi sedikit berharap itu tidak ada salahnya.
Setelah mencatat keadaan pasien, Dika memberikan catatannya itu pada suster pendampingnya. Memberi arahan apa yang harus dilakukan suster itu, seperti mengganti infus dan lain-lain. Setelah yakin semuanya baik-baik saja, dia langsung pergi ke ruangnya untuk mengganti pakaiannya dan segera ketempat Salsa berada. Entah mengapa sejak mendapat persetujuan dari ayahnya atas hak adopsi Vivi, Dika merasa harus mendekatkan diri lebih lagi terhadap Salsa. Sebab sejak awal mereka tidak punya masalah masalah sekali, hanya saja takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tidak begitu baik hingga berimbas langsung pada hubungan mereka. Dika yakin dia harus mempertahankan pernikahannya dengan Salsa, sebab dia tidak yakin akan menemukan wanita yang begitu mengerti akan masalah dan sifatnya, tidak akan setelah Egina dan Salsa. Meskipun mereka berawal dari ketidakinginan, setidaknya mereka harus berakhir dengan kebahagiaan. Dan lagi, dengan hadirnya Vivi dalam kehidupan mereka, berarti secara langsung Salsa akan menjadi ibu bagi Vivi, meskipun Dika belum menjamin jika Salsa cocok menjadi sosok ibu tetapi melihat kemampuannya dalam memasak dan kegiatan rumah tangga, sepertinya semua akan baik-baik saja. Dan melihat Salsa dengan mudahnya mencairkan hati Vira—adiknya yang cukup tertutup terhadap orang baru—membuatnya Dika akhirnya yakin jika Salsa itu sosok ibu yang baik nantinya. Membayangkan ia membangun rumah tangga yang baik dengan Salsa rasanya tidaklah buruk. Tanpa sadar Dika tersenyum membayangkan hal yang belum tentu terjadi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Wife
Storie d'amoreMungkin menurut banyak orang, seorang gadis berumur 24 tahun itu sudah cukup umur untuk menikah dan menjadi seorang istri. Tetapi bagi, Salsa Nabilla, dia sudah menjadi salah satu korban nikah muda. Jika bukan karena kehendak Bibi Evelin, dia tak...