~Andrea~
Sebelum film berakhir, cola yang kuminum tadi mulai beraksi sehingga mengharuskanku untuk pergi ke toilet.
"Rev... Toilet sebelah mana?" Tanyaku sambil berdiri dari kursi.
"Pakai saja toilet yang ada di kamar tamu." Katanya. Aku pun langsung bergegas pergi ke arah lorong. Aku kebingungan melihat dua pintu yang berada di samping kanan dan kiriku.
Menyebalkan! Revan terlalu pintar karena tidak memberitahuku kamar tamu berada di kiri atau di kanan. Karena sudah tidak tahan lagi, aku pun memasuki pintu yang berada di sebelah kananku.
Saat aku memasuki kamar itu, aku langsung mengetahui bahwa aku memasuki kamar yang salah karena aku dapat melihat beberapa barang-barang Revan di kamar ini. Aku tidak peduli lagi karena aku sudah berada di ujung tanduk. Aku segera memasuki kamar mandi dan lega setelah aku mengeluarkan cola-cola itu.
Aku pun menyadari kalau aku sedang berada dalam kamar mandi Revan. Aroma tubuhnya yang berasal dari sabun menyeruak dengan kuat di kamar mandi ini dan entah kenapa hal itu membuatku tenang. Saat keluar aku memilih untuk melihat-lihat kamar Revan dan kalau dia menyalahkanku karena memasuki kamarnya, itu salahnya sendiri karena tidak memberikan petunjuk dengan benar.
Layaknya kamar seorang laki-laki pada umumnya, kamarnya cukup berantakan. Baju seragamnya tergeletak di kasurnya dengan kusut. Aku pun berinisiatif untuk menggantungnya di lemari. Kamar Revan berukuran lebih besar dari pada kamarku. Tempat tidurnya menempel tepat pada ujung kiri ruangan, sementara di samping tempat tidurnya terdapat jendela besar transparant seperti yang ada di ruang keluarga. Lemari berada di seberang tempat tidur dengan jarak yang cukup jauh dari pintu. Sementara di sebelah jendela terdapat meja belajar dan rak-rak buku. Berbagai macam poster pemain basket dan anggota band musik yang tidak kukenal tertempel di dinding-dinding kamarnya.
Aku pun mencoba merapihkan meja belajarnya yang berantakan oleh buku-buku pelajaran. Aku melihat beberapa foto Revan bersama keluarganya. Terdapat foto di mana Revan bersama ibunya sedang berada di depan Sydney Opera House, sepertinya ia masih SMP. Aku pun beralih kepada foto-foto lain yang berada di meja. Aku melihat foto terbaru dirinya bersama kedua orang tuanya, dia terlihat bahagia di situ.
Mataku terus menelusuri meja belajarnya dan berhenti tepat pada sebuah foto di mana terdapat seorang anak kecil berada di pangkuan neneknya. Mataku terbelalak kaget melihat foto itu. Aku mengambilnya untuk mengamatinya lebih dekat dan dugaanku benar, bocah itu adalah Rafa.
Saat itu juga rasanya jantungku berhenti berdetak karena ke kagetan ini. "Rafa.." Nama itu keluar dari mulutku tanpa kusadari, diiringi air mata yang menetes dari kedua mataku.
Aku tidak mengerti bagaimana bisa foto Rafa ada di kamar Revan? Apa hubungan Rafa dengan Revan? Apakah Revan adalah Rafa? Pertanyaan-pertanyaan pun bermunculan di kepalaku. Apakah aku bisa bertemu Rafa lagi? Semoga dengan kejadian ini aku bisa bertemu dengannya. Kalau kita bertemu apakah dia akan mengenaliku? Apakah aku akan mengenali mukanya? Apakah mukanya berubah? Aku sangat merindukan Rafa.
Aku pun memeluk foto tersebut dan air mataku menetes dengan derasnya. Beberapa menit telah berlalu tak terasa aku sudah memandangi foto tersebut cukup lama, sambil pikiranku mereka ulang adegan-adegan saat aku bermain dengan Rafa. Aku sangat merindukannya. Air mataku kembali menetes, dan aku mengelapnya dengan kasar.
"Hei!..." Seru Revan memasuki kamar dengan nada yang sepertinya akan berteriak padaku. Namun saat dia melihatku menangis, pandangan di matanya berubah menjadi cemas dan ekspresinya berubah. Dia berjalan dengan cepat ke arahku dan menarik kursi meja belajarnya yang aku duduki sehingga aku berhadapan dengannya yang sedang duduk di kasurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prolog✓
Teen Fiction"Apa yang kau mau?" Tanyanya. "Tidak ada." Jawabku singkat. "Lalu kenapa seharian ini kau seperti berusaha mendekatiku?" Tanyanya dengan curiga. "Karena aku penasaran denganmu." "Bisakah kau tidak menggangguku dan membiarkanku menikmati ketenangan?"...