~Rafael~
Aku menggeram kesal dengan apa yang baru saja terjadi. Aku benar-benar frustasi karena tidak bisa mempercayai diriku sendiri. Saat aku melihatnya di sekolah aku benar-benar gatal untuk meminta penjelasan kepadanya. Untung saja mulutku ini masih dapat tertutup dan tidak mengatakan sepatah kata pun kepadanya. Aku benar-benar berterimakasih kepada Tio yang menarikku pergi sebelum sempat membuka mulutku ini.
"Rev, kau dapat mencegah dirimu untuk tidak bertanyakan?" Tanya Aldo. Aku mengacak-ngacak rambutku sambil menggelengkan kepalaku mendengar pertanyaan Aldo.
"Tidak tahu, Do. Aku hampir saja bertanya kepadanya barusan. Tanganku gatal untuk menariknya ke tempat sepi dan menuntut penjelasannya." Seruku. Aldo menepuk punggungku dari belakang.
"Aku yakin kau bisa." Serunya mendukungku.
"Fokuskanlah pikiranmu kepada hal lain." Perintah Alex kepadaku.
"Seperti apa?" Tanyaku penasaran.
"Kalian membicarakan apa? Aku satu-satunya yang tidak mengerti di sini!" Gerutu Tio.
"Seperti bagaimana rasanya menjadi gay dan mempunyai hubungan dengan anak ini." Canda Alex sambil mengapit leher Tio. Aku dan Aldo serentak tertawa mendengar usul Alex yang aneh itu, sementara Tio bergidik jijik.
"Dia benar-benar membayangkannya." Bisikku kepada Aldo sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Benar-benar idiot!" Ledek Aldo.
"Berhasilkan?" Seru Alex senang.
"Apakah kau tidak bisa memberikan ide yang lebih baik Lex?" Tanyaku kesal.
"Ide macam apa yang kau berikan itu! Kau mau mengubahku menjadi gay!" Seru Tio kesal.
"Rev. Berapa lama kita bisa bertahan dengan kedua teman idiot kita ini?" Seru Aldo secara dramatis kepadaku.
"Aku tidak tahu Do. Sepertinya kita harus membawa mereka ke rumah sakit jiwa." Balasku.
"Hei kalian! Kalian berkata seperti itu seolah-olah kami tidak ada. Wah Daebak!" Seru Alex.
"Pertama kalinya kau menggunakan bahasa koreamu Lex." Seru Aldo yang menyadarinya.
"Apa yang kau katakan barusan! Jangan-jangan dia mengejek kita Do!" Seruku.
"Wah! Kita apakan dia ya?" Seru Aldo sambil tersenyum jahil memikirkan rencana jahat yang ada di kepalanya.
"Hei, lagi-lagi kalian tidak mengikut sertakan aku! Aku hanya buangan untuk kalian!" Gerutu Tio. Serentak kami bertiga menganggukan kepala kami.
Bel berbunyi tepat sebelum Tio meledakan amarahnya. Kami pun menghela nafas panjang karena malas untuk mengikuti pelajaran. Dengan malasnya aku menyusul ketiga temanku yang sudah berjalan terlebih dahulu ke dalam kelas.
Sesampainya di dalam kelas pandangan mataku secara otomatis melihat kepada dirinya. Dengan segera aku mengalihkan pandangan mataku dan berusaha mengalihkan pikiranku dari dirinya. Seakan-akan dia tahu apa yang sedang kulakukan, dia memanggil namaku seolah tidak mengizinkanku untuk lepas dari dirinya.
"Ada apa?" Tanyaku sambil terus mencoba untuk memfokuskan pikiranku ke arah lain.
"Bisakah kita bertemu sepulang sekolah?" Tanyanya gugup. Aku hanya mengangguk menjawabnya dan langsung berjalan menuju tempat dudukku untuk menghindarinya. Aku merasa tidak enak karena membuat situasi menjadi awkward seperti ini.
Setelah duduk di tempat dudukku aku menghela nafas lega. Setidaknya aku berhasil menghindarinya untuk sementara waktu. Pelajaran pun dimulai dan selama pelajaran aku tidak bisa berhenti memperhatikannya. Walau bagaimapun aku tetap khawatir kepadanya karena dia baru saja keluar dari rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prolog✓
Teen Fiction"Apa yang kau mau?" Tanyanya. "Tidak ada." Jawabku singkat. "Lalu kenapa seharian ini kau seperti berusaha mendekatiku?" Tanyanya dengan curiga. "Karena aku penasaran denganmu." "Bisakah kau tidak menggangguku dan membiarkanku menikmati ketenangan?"...