~Rafael ~
Aku memutar-mutarkan handphone yang ada digenggamanku. Semenjak hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk mencoba berbicara dengan ayah. Namun sampai saat ini, aku belum mempunyai keberanian untuk menekan tombol call di handphoneku. Banyak keraguan yang muncul di kepalaku. Aku takut untuk memulai kembali semua ini.
Aku menghela nafas panjang sambil menyandarkan pelipisku ke kaca, meninggalkan jejak minyak di kaca tersebut. Sudah tiga hari aku bergelut dengan handphone yang ada di tanganku. Seseorang mengetuk pintu kamar membuatku mengangkat kepala dari kaca dan menoleh ke arah pintu. Mom tersenyum ke arahku dari arah pintu. Semenjak ulang tahunku, ke dua orang tuaku belum pulang kembali ke Jerman. Mereka ingin menghabiskan waktunya dengan diriku.
"Hei, sweet boy." Sapanya yang kubalas dengan sebuah senyuman dan menyenderkan punggungku ke arah kaca. Tubuhku sepenuhnya menghadap ke arahnya.
"Hai Mom." Sapaku. Dirinya melangkah menuju kasur dan mendudukan dirinya di ujung kasur. Entah mengapa dirinya terlihat sangat gugup.
"Beritahu saja apa yang akan kau sampaikan mom, ini hanya aku." Seruku menggodanya. Rencanaku berhasil dirinya tertawa ringan dan menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Apa yang kau pikirkan kalau kau mempunyai seorang adik?" Tanyanya membuat pikiranku dipenuhi spekulasi-spekulasi yang tidak dapat ku cegah.
"Apa kau hamil?" Tanyaku tidak yakin. Dirinya dengan pelan menggelengkan kepalanya.
"Kau tahu jika kita tidak bisa mempunyai anak lagi? Aku hanya ingin membuat keluarga ini semakin besar saja." Serunya membuatku kembali dipenuhi pertanyaan.
"Mengapa tiba-tiba kau berbicara seperti ini?" Tanyaku keheranan.
"Revan, kau tahukan jika sebentar lagi kau akan kuliah dan berjalan meninggalkanku untuk menjalani kehidupanmu sendiri? Aku hanya ingin mempunyai seorang anak sehingga aku bisa merawatnya. Kau sudah terlalu besar untuk kurawat. Lagian kau sudah terlalu terbiasa untuk hidup mandiri." Godanya sambil tertawa pelan membuatku ikut tertawa.
"Itu tidak keren jika kau masih merawatku di umurku yang sudah remaja ini." Seruku.
"Baiklah aku mengerti maksudmu mom. Aku akan sangat senang untuk mempunyai seorang saudara lagi." Tuturku sambil berjalan ke arahnya dan memeluk tubuhnya yang sekarang lebih kecil dari tubuhku.
Aku masih ingat dulu tubuh kecil ini adalah tempat di mana aku akan menangis. Di mana aku berlindung dari mimpi-mimpi burukku yang menyerang ketika aku masih sangat kecil dan ketakutan akan monster yang ada di kolong tempat tidur. Tubuh yang selalu memberikan kasih sayangnya walaupun di sisi lain dirinya sangat menderita. Mengingat semua ini, aku semakin tidak yakin jika aku harus menelpon ayahku.
Aku menghela nafas panjang dan melepaskan pelukanku dari dirinya. Senyum yang hangat kembali dia berikan kepadaku. Aku menaruh kepalaku di pangkuan mom dan langsung mendapatkan belaian kasih sayang dari dirinya.
"Jangan bilang-bilang yang lain. Aku mau seperti ini sebentar saja." Keluhku sambil menutup mataku menikmati buaian dari mom. Dirinya tertawa pelan melihat sikap manja yang sangat jarang kutunjukan.
"Walau bagaimanapun kau tetaplah my baby boy." Serunya membuatku menatapnya tajam akibat perkataannya.
"Aku tahu kau menghindari pertanyaan ini, namun sampai kapan kau akan berlama-lama menghubungi ayahmu?" Tanyanya membuatku mengeluarkan geraman tidak suka.
"Revan, kau tidak bisa selamanya seperti ini dan kau tahu hal itu. Ayahmu membutuhkanmu, dan jauh di dalam sana kau membutuhkannya. Walau sebesar apapun posisinya tergantikan oleh dad, namun tetap saja kau membutuhkannya." Ucapnya dengan penuh kelembutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prolog✓
Teen Fiction"Apa yang kau mau?" Tanyanya. "Tidak ada." Jawabku singkat. "Lalu kenapa seharian ini kau seperti berusaha mendekatiku?" Tanyanya dengan curiga. "Karena aku penasaran denganmu." "Bisakah kau tidak menggangguku dan membiarkanku menikmati ketenangan?"...