12. Munafik

165 24 12
                                    

"Jangan berlebihan menanggapi segala hal." -Uchiha Sasuke

"Dewi malam meramu jamuannya, ia membisu meski ingin bertanya. Apakah masih ada? Rindu yang tersemat kepergiannya."

***

Aku menganga tak percaya. Benar kata orang, jangan terlalu percaya dengan manusia. Ia bisa menjadi baik di depan dan bisa menjadi ganas sekejap di belakang. Tak terasa aku menitikkan air mata. Menangis haru penuh kecewa. Terkutuk duka, yang bersemayam dalam lara.

"Abirah? L-lo ngapain di sini?"

"Gue gak nyangka Bin,"

"Lo aja yang gak pernah peka jadi sahabat,"

"Maksud lo?"

"Ya udah gue jelasin,"

Kevin memotong pembicaraan kami, "Sebaiknya kalian bicarakan di luar jangan di sini kasian Arghi." Abin mengajakku ke luar. Aku rasa tak ada yang perlu dibicarakan. Aku tetap diam di tempat tak merespon ajakan Abin. "Semua udah jelas gak ada yang perlu lagi dijelasin, munafik tetep munafik."

Aku melihat tangan Abin mengepal. Ia seperti sudah tak tahan lagi ingin menonjokku mungkin. "Kev, lo masih lama? Kalo masih lama gue duluan," ucapku seraya pergi.

"Eh, bentar lo mau pulang pake apa? Lo kan ke sini bareng gue."

"Gue bisa telpon Kak Ganjar," ucapku dengan sinis. Aku melirik wajah polos bak tak berdosa itu. Tanpa mempedulikanku dia kembali menggenggam tangan Arghi. Sumpah aku jijik sekali melihatnya. Bahkan ia rela mengkhianati sahabatnya demi pria. Jika saja bukan di rumah sakit, aku ingin sekali menjambak rambut yang dikucir sok imut itu.

Sebenarnya aku masih belum percaya ini seperti tak nyata. Aku mencubit pipi kananku, dan terasa sakit. Ini benar-benar nyata. Ia selalu mendukungku untuk menjauhi Arghi. Wajahnya pintar sekali berakting. Aku memutuskan untuk menelpon Kak Dio. Namun nihil, Kak Dio tak mengangkat. Lalu aku menelpon Om Agus -supir Papa-. Namun Om Agus tidak bisa menjemputku karena harus mengantar Papa.

Aku tak mungkin berjalan ke rumah karena letak rumah sakit dengan rumahku sangat jauh. Aku menunggu di halte. Semoga ada angkutan umum atau orang yang ku kenal lewat. Sembari menunggu aku membuka aplikasi line.

GanjarA : Lo masih di rs?

Abirah : Enggak kak udah mau pulang

GanjarA : Mau gw jemput?

Aku masih berfikir, aku tak ingin merepotkan Kak Ganjar. Meskipun sebenarnya aku sangat membutuhkannya. Sepertinya aku memang harus belajar berkendara.

Abirah : gk usah kak makasih

GanjarA : Serius? Kalo udh smpe rumh kabarin

Abirah : iya kak siap dattebayo

GanjarA : hati-hati dattebasa

Aku tersenyum. Senyum yang entah apa artinya. Seseorang menghentikan motornya tepat di depanku. "Lo belum pulang? Katanya mau dijemput Ganjar, loh mana Ganjarnya?" Aku tak menjawab. Abin menghampiriku dan duduk di sampingku. "Rah maafin gue ya, gue tau gue emang salah dan udah ngekhianatin lo. Tapi jujur aja gue udah suka sama Arghi sejak sebelum lo kenal sama dia. Gue mohon Rah lo jangan ganggu lagi Arghi, dan biarin dia bahagia sama gue. Jauhin dia ya, jangan buat dia sedih dan biarin dia lupain lo. Lagipula lo udah deket sama Ganjarkan?"

"Tanpa lo suruh aja gue udah ngelakuin itu," ketusku seraya bangkit dan menaiki mobil angkutan yang sudah menunggu.

Air bening itu kembali muncul dengan sakitnya. Untung di dalam angkot hanya ada aku, supir dan satu penumpang yang duduk di depan. Dengan polos dan tanpa dosa, dia bahkan menyuruhku menjauhinya. Manusia macam apa dia, punya muka dua, sangat menyebalkan. Dia yang menyuruhku memutuskan Arghi saat aku mengetahui bahwa Arghi itu Zaki. Apa itu bagian dari rencana bulusnya itu. Dia ingin merengut kebahagiaanku. Kenapa selalu ada celah dalam bahagiaku Tuhan?

ABIRAH [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang