Wooya : Worth it to be Stupid (3)

358 84 28
                                    

Dua minggu sudah sejak Hoya menghampiri Woohyun di sekolah malam itu. Ya, saat itu Hoya mengantarkan Woohyun sampai rumahnya. Sepanjang jalan-mereka memutuskan untuk jalan kaki bersama-Woohyun menceritakan mengapa ia dan Sunggyu bisa sampai putus padahal mereka akur-akur saja paginya, bahkan berencana akan jalan malam itu.

Dari sesi perjalanan pulang itulah, Hoya jadi tahu kalau ternyata waktu itu Sunggyu bilang ke Woohyun kalau ia tak bisa datang karena ada urusan. Ia tak mau bilang apa urusannya, hingga Woohyun terus memaksanya. Mungkin karena kesal, Sunggyu langsung memotong ucapan Woohyun dan mengatakan 'putus' tanpa dipikir dulu.

Woohyun menangis semalaman saat itu hingga membuat Hoya jadi bingung bagaimana menenangkan temannya itu. Biasanya, Woohyun memang dalam mood buruk jika sedang kesal atau sedih, tapi ini pertama kalinya Hoya melihatnya menangis sejak mereka lulus Elementary School.

Malam itu, Hoya terpaksa mampir untuk mendengarkan keluh kesah Woohyun semalaman, di rumah Woohyun, di depan sofa TV tepatnya.

Hoya jadi pendengar yang benar-benar baik, ia tak banyak bicara, namun mendengarkannya secara keseluruhan, sesekali menanggapinya dengan suara selembut mungkin sambil mengelus punggung Woohyun yang naik turun karena sesenggukan.

Perlahan, suara tangisan Woohyun mulai mereda. Ia juga sudah tak berbicara lagi. Hoya pikir, sahabatnya itu sudah jauh lebih tenang saat itu. Jadi dia menoleh ke kanan, memperhatikan puncak surai hitam milik Woohyun yang tengah menyandarkan kepalanya di bahu tegap Hoya.

"Hyun?" panggilannya hanya mengambang di udara tanpa ada jawaban.

Ah, Woohyun telah tertidur rupanya, terdengar dari napasnya yang teratur.

Hoya meraih bahu Woohyun perlahan dan menggerakkannya, membuat kepala Woohyun sekarang berada di pangkuannya. Ia tersenyum sambil mengelus pipi Woohyun yang memerah akibat menangis. Dihapusnya air mata yang masih hangat dibawah mata Woohyun yang tengah terpejam dengan sangat hati-hati, agar tak membangunkannya.

"Aku benci melihatmu menangis begini, Hyunie." Gumamnya pelan. Diperhatikannya setiap fitur wajah Woohyun dengan seksama. Ia mengakui, meskipun mata Woohyun sembab dan hidung serta pipinya memerah, namja itu tetap terlihat manis.

Seraya menghela napas, Hoya menoleh ke satu-satunya suara yang terdengar jelas di ruangan itu, yaitu detik jam dinding besar di tengah tembok.

Pukul 00.25am.

Malam itu sudah cukup larut. Hoya bahkan tak sadar jika ia dan Woohyun sudah duduk di sofa itu lebih dari tiga jam. Ia baru sadar jika di rumah klasik keluarga Nam saat itu hanya ada dia dan Woohyun saja.

Wajar sih. Hoya sudah terbiasa dengan keadaan tempat ini yang sepi.

Boohyun-kakaknya Woohyun-lebih memilih tinggal di luar kota bersama tunangannya, berusaha melancarkan usaha restoran mereka. Sedangkan Tn.Nam mungkin masih di kantornya untuk lembur atau semacamnya, dan biasanya baru pulang setelah lewat dari jam 3 pagi, atau bahkan tak pulang sama sekali. Pria itu tipe orang yang workaholic. Sementara Ny.Nam lebih sering menginap di Restorannya, karena alasan rumah yang jauh dan akan lebih mudah mengurus resto itu ketika ia ada disana.

Jadi pada hari-hari seperti ini, Woohyun akan sendirian dirumah. Biasanya Hoya akan dengan senang hati mengunjunginya bersama Sungyeol untuk alasan mengerjakan PR bersama, atau alasan karena mereka sekelas jadi harus sering menghabiskan waktu bersama.

Woohyun selalu tertawa dan berpikir alasan Hoya lumayan konyol. Tapi bagaimanapun, ia senang menyambut mereka.

Kadang Myungsoo juga datang untuk mendiskusikan ini-itu tentang urusan Dewan Murid. Dari sanalah mereka jadi akrab, hingga suatu hari Myungsoo membawa Sungjong untuk ikut hang out dengan mereka. Dan begitulah, awal dimana mereka berlima akhirnya sering menghabiskan waktu bersama dan Woohyun merasa baik-baik saja meskipun keluarganya tak pernah ada waktu untuk quality time.

INFINITE Short Stories CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang