(10)

901 35 3
                                    


Deg


Mieltha seolah membeku di tempat setelah melihat pemandangan di kelas tersebut. Jadi ini, jadi ini yang membuat kedua sahabatnya melupakan tujuan mereka ke kantin.

Lelaki itu, lelaki yang sangat dia cintai. Lelaki yang telah menyandang status sebagai kekasihnya itu kini tengah berduaan dengan seorang adik kelas yang ia yakini sekali bukanlah gadis yang ia lihat tempo hari di koridor kelas 12 apalagi Sintia, yang notabene adalah perempuan yang seangkatan dengannya. Ini gadis yang berbeda, lagi.

Pemandangan di kelas itu semakin terasa menyesakkan tatkala matanya melihat tindakan lelakinya kepada gadis itu. Dilihatnya lelakinya tengah merangkul erat gadis yang tengah bersandar nyaman di dada bidangnya. Senyum lelaki itu bahkan terasa hangat kepada gadis tersebut. Tidak seperti saat bersamanya. Hanya hawa dingin yang lelaki itu berikan saat bersamanya. Air mata semakin tak bisa lagi Miel bendung saat matanya menangkap Bryan yang tengah mencium mesra pipi gadis yang tadi ia rangkul.

Buru-buru Mieltha menyeka air matanya dan berlari menuju tangga lantai dua.

"Mieltha !" Dinda langsung mencekal lengan Cintya yang hendak menyusul sahabatnya.

"Biarin dia sendiri, dia butuh itu."
Cintya mengangguk mengerti. Keduanya kemudian berlalu dari kelas terkutuk tersebut.

***


Terik matahari semakin terasa menyengat menimpa kulit gadis yang kini tengah terduduk di rooftop sekolah seorang diri. Angin yang berhembus kencang membuat rambutnya ikut berterbangan mengikuti arah angin yang membawanya. Entah sudah berapa lama ia di rooftop ini, tapi yang pasti ia telah melewatkan beberapa jam pelajaran saat ini. Entah keberanian dari mana yang membuatnya berani bolos pelajaran. Yang ia inginkan saat ini hanya meredam sesak yang ada di hatinya.

Bayangan Bryan saat mencium gadis tersebut kembali berputar di kepalanya, membuat rasa sesak yang sempat mereda kini kembali. Air mata tak bisa lagi ia bendung. Entah sudah berapa kali ia menangis hanya karena bayangan Bryan dan gadis tersebut yang terus berputar di kepalanya.

"Gue gak tahu kalau pemandangan tadi bisa buat lo seberani ini untuk bolos pelajaran." suara di belakangnya mau tak mau membuatnya menoleh. Dilihatnya Dinda dan Cintya berjalan ke arahnya sambil menggendong tas masing-masing dengan Dinda yang membawa tas Miel di tangannya.

Mieltha melepaskan kacamatanya untuk menghapus jejak air mata yang tertinggal.

"Gak usah pake dihapus segala, kita udah pada lihat." Mieltha tersenyum lalu menerima tasnya dari tangan Dinda.

"Thanks Din. Eh emang udah pada pulang yaa?" tanya Mieltha sambil mengeluarkan jaket dari tasnya lalu menggunakannya.

"Lo pikir? Untung tadi kita bisa kasi alasan ke Bu Bety kalau lo sakit jadi diem di UKS dan untungnya lagi jam terakhir gak ada guru jadi gue gak perlu nambah dosa gue buat kembali membohongi guru." Mieltha tersenyum kecil mendengar ocehan Cintya.

"Gimana? Feel better?" tanya Dinda sambil duduk di samping Mieltha diikuti oleh Cintya yang duduk di depannya.

Mieltha menghela nafas lalu menggeleng. Air matanya kembali tak tertahankan saat pemandangan yang dilihatnya tadi siang kembali berputar di pikirannya. Keduanya jadi semakin tak tega saat tangisan Mieltha semakin terdengar lirih. Selama ini mereka tak pernah melihat Mieltha menangis begitu sesenggukan. Tapi kini, di hadapan mereka Miel menangis hanya karena seorang lelaki yang begitu gadis itu cintai.

"Jangan buang-buang air mata lo buat cowo kaya dia. Itu terlalu berharga. Suatu saat lo butuh air mata itu, bukan untuk menangis sedih, melainkan menangis karena bahagia." ucap Dinda sambil mengelus pelan pundak Mieltha. Memberi kekuatan kepada gadis yang kini terlihat sangat terluka itu.

KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang