(15)

938 39 7
                                    


Bryan memasuki kamar Miel lima menit setelah asisten rumah tangga Miel keluar dari kamar gadis tersebut. Langkahnya memelan saat melihat gadis itu tengah terlelap di ranjangnya. Bryan kemudian duduk di samping kepala Miel sambil memperhatikan wajah damai gadis itu dengan seksama. Tampak tangan yang mulai membiru di pipi Miel membuat rahang Bryan kembali mengeras. Lelaki itu tak bisa membayangkan apa saja yang telah dilakukan wanita barbar seperti Sintia kepada Miel.

Bryan kemudian meraih handuk kecil di atas nakas di samping tempat tidur Miel. Mencelupkannya ke dalam air hangat kemudian memerasnya sebelum mengarahkan handuk kecil itu ke pipi Miel. Dengan hati-hati Bryan mengompres memar di pipi dan leher Miel sebelum kemudian gadis itu mengerjapkan matanya perlahan.

"Sakit?"

Miel mengangguk kecil. "Sedikit."

Bryan menahan pundak Miel saat gadis itu hendak bangkit dari ranjangnya. "Istirahat lah, tubuh lo masih terlalu lelah."

Miel menggeleng. "Gue gak bisa. Setiap gue berusaha memejamkan mata, melupakan setiap detik yang mengerikan itu semakin gue dihantui oleh bayang-bayang yang mengerikan itu, Bryan. Kenapa Sintia begitu benci sama gue? Apa salah gue? Apa gue salah mencintai lo, Bryan? Belum cukupkah perjuangan gue selama ini sampai gue juga harus menghadapi semua ini, demi lo Bryan?" Gadis itu kembali terisak.

Dibalik wajah damai gadis itu terlelap ternyata masih tersimpan ketakutan yang begitu besar. Lelaki itu pikir setelah Miel terlelap maka semua akan baik-baik saja. Ia pikir setelah Miel istirahat maka kondisinya akan jauh lebih tenang. Namun nyatanya tidak. Gadis itu bahkan masih sama takut dan kalutnya seperti terakhir ia tinggalkan kamar ini.

Bryan tak bisa memikirkan hal lain untuk membuat gadis itu tenang selain memeluknya. Membiarkan dada bidangnya menjadi sandaran untuk gadis itu. Bryan mengelus punggung gadis itu dengan pelan, mencoba menenangkan sekaligus memberi kekuatan kepada gadis yang tengah kalut itu.

Hati kecil Bryan berdenyut sakit mendengar isakan lirih keluar dari bibir Miel. Gadis yang selalu terlihat ceria dan bersemangat itu kini tengah terisak di pelukannya. Dengan tubuh yang sama rapuhnya dengan hatinya. Mata Bryan memanas namun dengan sekuat tenaga ia tahan untuk tidak menangis. Gadis dipelukannya ini tidak pernah main-main dalam memperjuangkannya. Hal itu membuatnya tersentuh bukan main.

Bryan mempererat pelukannya kepada Miel. Dalam hati ia bersumpah akan selalu menjaga gadis itu agar tidak kembali terulang kejadian yang sama untuk kedua kalinya.

Isakan yang tadi Bryan dengar kini berganti menjadi deru nafas yang teratur. Diliriknya gadis yang kini mulai terlelap di dekapannya. Bryan membiarkan gadis itu agar benar-benar terlelap sebelum kemudian meletakkannya kembali ke ranjang. Bryan mengelus rambut gadis itu perlahan kemudian menghapus jejak air mata yang tertinggal.

"Sleep tight, after you wake up everything is gonna be okay. Lo sudah membuat gue kembali percaya dengan kata hati gue. Buatlah gue percaya kalau gue bisa kembali percaya dengan yang namanya cinta," bisik Bryan tepat di telinga Miel, entah gadis itu akan mendengarnya atau tidak Bryan tidak peduli. Ia hanya ingin menyuarakan apa yang hati kecilnya ingin suarakan.

Bryan kemudian mencium kening gadis itu lebih lama, berharap dengan itu Miel akan tidur lebih nyenyak. Hingga kemudian suara pintu yang dibuka secara tiba-tiba dan dua sosok perempuan masuk dengan tergesa-gesa ke kamar Miel mau tak mau membuat Bryan melepas kecupannya. Bryan melirik kedua sahabat Miel yang berdiri dengan canggung di ambang pintu. Lelaki itu mengerti apa yang membuat kedua sahabat Miel seperti itu, namun enggan menjelaskan apapun.

Bryan kemudian beranjak menghampiri Dinda dan Cintya.

"So-sorry, kita gak bermaksud meng-"

KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang