(13)

939 40 32
                                    

Saat kau masih peduli pada orang yang kau benci, berarti kau tidak benar-benar membencinya.
.
.
.

GOR kota sore ini tampak sangat sepi. Memang, GOR ini hanya digunakan bila ada turnamen-turnamen tertentu. Bila di hari biasa seperti sekarang, bisa di pastikan bagaimana sepinya gedung olahraga tersebut.

Suara dentuman bola basket menggema memenuhi gedung olahraga sore itu. Sudah hampir 20 menit Bryan asik dengan kegiatannya sendiri. Mendrible lalu melemparkan bolanya ke dalam ring, begitu seterusnya tanpa merasa lelah yang berlebihan. Itu artinya sudah 20 menit juga Mieltha menemani lelaki itu bermain basket.

Memang, sejak menerima sms dari Bryan, gadis itu langsung bersiap-siap secepat yang ia bisa. Di pikirannya, Bryan akan mengajaknya pergi jalan-jalan meskipun kecil kemungkinannya. Namun di luar dugaan, lelaki tersebut justru membawanya kemari.

Dan disini lah dia sekarang, menemani Bryan menyalurkan hobi lelaki tersebut. Bukan menemani dalam artian duduk manis di pinggir lapangan sambil menonton lelaki itu memainkan si bundar orange tersebut. Melainkan menemani Bryan sebagai  'pesuruh' yang mengambilkan bola yang terlempar jauh bila tidak masuk ke ring.

Tapi gadis itu merasakan sesuatu yang berbeda dari Bryan saat ini. Tatapan lelaki itu, seperti ada emosi yang terpendam di dalam sana, antara marah, kesal, sedih atau kecewa. Miel tak berani menanyakannya langsung. Bahkan ia merasa Bryan bermain dengan sedikit 'gila'.

Dan kalaupun benar adanya, Miel merasa ikhlas menjadi pelampiasan lelaki itu. Mungkin hanya ini yang bisa ia lakukan untuk meringankan pikiran lelaki itu walaupun konsekuensinya ia harus bersiap diri menerima 'serangan' yang bisa datang tak kenal waktu dan tempat.

Keringat mulai membasahi kening Miel. Namun nampaknya hal tersebut tak membuat Bryan iba, ia justru semakin gencar menyuruh Mieltha untuk berlari mengejar bola.

"Cepet ambil bolanya! " Mieltha kembali mengambil bola yang terlempar jauh ke sudut lapangan sambil sesekali menyeka keringat yang mengucur membasahi wajahnya.

"Bryan, udah ya. Gue beneran capek." gadis itu berjalan ke arah Bryan yang tengah bersandar di tiang ring. Nafas gadis itu semakin memburu seiring langkahnya yang kian melamban.

"Cepetan! Gue ngajak lo kesini bukan buat santai-santai. Lagian gak ada yang nyuruh lo pake dress," teriak Bryan. Lelaki itu meminum air yang sempat dia bawa dari rumah.

"Bu-bukan ke-mauan gue nggh.. pa-ke dress nggh..." nafas gadis itu semakin memburu, bahkan untuk menyelesaikan kalimatnya saja terasa berat bagi gadis itu. Diremasnya baju bagian dadanya untuk mengurangi rasa sesak yang semakin membuatnya sulit bernafas.

Bryan kemudian berbalik saat merasa tidak lagi mendengar langkah kaki mendekat. Mata lelaki itu seketika membelalak saat melihat gadis tersebut berdiri di tengah lapangan dengan nafas yang megap-megap. Tangannya bergerak kesana kemari seolah mencari sesuatu untuknya berpegangan dengan tangan yang satunya terus meremas baju bagian dadanya.

"Mieltha !!" naluri lelaki Bryan membuat lelaki tersebut langsung berlari menghampiri Mieltha.  Dengan sigap di tangkapnya tubuh Mieltha sebelum gadis itu benar-benar ambruk.

Dari dekat Bryan bisa mendengar nafas Mieltha yang tersendat-sendat yang terdengar begitu menyakitkan di telinganya.

"Heii, lo kenapa?!  Heii buka mata lo, lo gak boleh tidur." Bryan menepuk-nepuk pelan pipi Mieltha saat gadis itu akan menutup matanya.

KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang