The Wedding Day

14.8K 501 9
                                    

Ruangan itu hening, seorang lelaki duduk di depan sebuah meja berhias kain satin putih yang indah. Ketegangan tampak jelas di wajahnya. Sesekali disekanya bulir keringat yang membasahi keningnya. Tangannya bergetar. Bibirnya tak henti bergerak seolah merapalkan sebuah mantra. Lelaki itu Abimanyu.

"Sudah siap?" tanya Pak Hendra, sang penghulu.

Abimanyu menarik nafas panjang, mantapkan hatinya. Dia mengangguk. Lalu terucaplah kata-kata itu. Dengan lantang Abimanyu mengucapkannya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Larasati Anjani binti Surya Irawan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Desahan napas lega memenuhi ruangan bernuansa emas dan broken white berhias mawar putih di setiap penjuru ruangan ketika Abimanyu berhasil mengucapkan ijab kabul dengan lancar dalam satu tarikan napas. Larasati yang duduk di samping Abimanyu pun ikut menahan nafas ketika lelaki gagah itu mengucapkan janji suci pernikahan. Kelegaan terpancar di wajahnya ketika Abimanyu mengucapkannya dengan lancar. Air mata menetes di pipinya yang disapu blush on pink. Membuat wajahnya semakin cantik. Abimanyu menatap wajah Larasati penuh arti.

Doa pernikahan dibacakan penghulu menandakan ijab kabul tadi menjadikan Larasati kini sah menyandang gelar Nyonya Abimanyu Pratama. Prosesi serah terima mas kawin dilaksanakan. Abimanyu memasangkan sebuah cincin bertahtakan berlian ke jari manis Larasati. Pertanda bahwa Abimanyu berjanji, ikatan suci itu akan abadi, hingga maut memisahkan. Larasati mencium tangan Abimanyu takzim. Pertanda Larasati akan menghormati, menghargai Abimanyu sebagai kepala rumah tangga, sebagai imam, sebagai pemimpin dalam keluarga.

Tetamu yang hadir bertepuk tangan. Sorak kebahagiaan terdengar memenuhi ruangan.

Senyum pun tak lepas dari wajah Pak Surya Irawan dan Ibu Merry, orang tua Larasati. Bahagia melihat anak perempuan semata wayang mereka yang dulu mereka timang, mereka gendong dalam buaian, kini telah menjadi seorang istri dari pria baik seperti Abimanyu Pratama. Begitu pun Pak Wijoyo dan Ibu Henny, orang tua Abimanyu. Mereka pun tampak sangat bahagia melihat anak lelakinya kini telah bersanding dengan pujaan hatinya. Ucapan selamat tak henti mengalir. Para tamu bergiliran menyalami kedua mempelai.
Alunan musik mengiringi acara, menambah kesan kuat suasana romantis yang tercipta dalam gedung tersebut. Para tetamu mulai menikmati hidangan yang sudah dipersiapkan untuk mereka.

"Selamat ya, Ras," Shinta, sahabat Larasati sejak di bangku SMA memberikan selamat pada Larasati. Mereka tertawa bersama.

"Makasih, Shinta. Semoga kamu juga segera merasakan kebahagiaan ini ya, Sayang," kata Larasati.

"Aamiin...," Shinta mengaminkan ucapan Larasati.

"Duh, kamu cantik banget sih," Shinta memuji kecantikan Larasati yang semakin terpancar dalam balutan gaun broken white yang membungkus tubuhnya. Benar-benar memancarkan kecantikan Larasati hari itu. Aura bahagia membuat wajah Larasati makin bercahaya.

"Duh, pinter amat sih ngerayunya. Pengen diajak honeymoon, ya?" goda Larasati.

"Boleh, gitu?" Shinta memasang wajah polos.

"Ya gak boleh, lah!" Larasati mencubit pipi Shinta gemas.

"Gak bakal ganggu, deh!" Shinta belum menyerah.

"No way!" Larasati dan Shinta tertawa bersama.

"Emang mau kemana, sih?" Shinta masih mengejar, menggoda sahabatnya.

"Rahasia, dong! Kalau aku kasih tahu nanti kamu nyusulin lagi," Larasati melirik Shinta dengan pandangan penuh rahasia.

Abimanyu hanya menatap kedua sahabat itu dengan senyum. Matanya kembali tertambat pada sosok Larasti yang kini telah resmi menjadi istrinya. Dalam balutan busana pernikahan yang dirancang Larasati sendiri, gadis pujaan itu tampak seperti seorang putri dari negeri dongeng. Matanya berbinar memancarkan isi hatinya yang sedang berbahagia. Senyum membingkai wajahnya yang sedikit berkeringat. Lelah, tapi bahagia.

"Bi, inget ya! Jangan sampai kamu nyakitin hatinya Laras, jangan bikin dia nangis! Awas aja kalo sampe kamu bikin dia sedih, kamu berhadapan sama aku!" Shinta berkata dengan tatapan penuh ancaman pada Abimanyu.

"Tenang aja, Shinta! Aku gak akan pernah menyakiti hati istriku ini," Abimanyu berkata seraya menatap Larasati.

Istriku, panggilan ini terdengar asing di telinga Larasti. Tapi, mendengarnya membuat Larasati tersanjung. Melambung.
Kini aku sudah menjadi seorang istri, istri dari Abimanyu, batin Larasati. Matanya berbinar mendengar sebutan itu.

* * *

Shinta duduk di kursi yang disediakan. Diletakkannya gelas minuman yang sudah kosong itu di meja yang berada tepat di depannya. Menatap kebahagiaan sahabatnya dari kejauhan. Bahagia, tentu dia pun ikut berbahagia atas pernikahan Larasati dengan Abimanyu.

Tapi, tak dapat dipungkiri. Ada setitik luka di hatinya. Teringat kembali hal menyedihkan yang ingin ia kubur dalam-dalam. Sebuah peristiwa yang kalau saja dia bisa, ingin dihapusnya dari ingatannya. Sebuah peristiwa yang mengubah hidupnya. Sebuah kenangan yang kalau saja dia bisa, ingin disimpannya dalam sebuah kotak yang akan dipendam dalam-dalam.

Kenangannya bersama David, calon suaminya. Ketika pernikahan tinggal sejengkal lagi, ketika semua persiapan sudah mencapai titik akhirnya, ketika hari pernikahan sudah mendekati waktunya, David menghilang. Tanpa kabar berita. Meninggalkan Shinta dalam kebingungan, dalam perasaan hancur lebur.

Beruntung Shinta memiliki sahabat seperti Larasati. Yang mau menemaninya dalam duka mendalam itu. Mau menampung segala tumpahan rasa. Shinta sangat berterima kasih untuk itu semua.
Jika saja saat itu tidak ada Larasati di sampingnya, mungkin dia sudah gila. Jika saja saat itu tak ada Larasati yang menemaninya, bisa saja hari ini tak ada Shinta. Yang tersisa hanya nama. Padahal saat itu pun Larasati tengah sibuk menyelesaikan skripsinya. Tapi dia rela menemani Shinta, bahkan mau menginap di rumah Shinta ketika diminta. Larasati tak membiarkan Shinta sendirian sekejap saja. Selalu mendampinginya di saat terberat yang mungkin terjadi dalam hidup Shinta. Tak hanya Shinta yang merasa beruntung, keluarga Shinta pun sangat berterima kasih pada Larasati untuk hal itu.

Shinta menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha mengusir kenangan yang mengganggu pikirannya.

"Gak seharusnya aku ingat lagi masalah itu, gak seharusnya aku merasa tergamggu dengan semua itu. Hanya serpihan kenangan pahit di masa lalu."

Shinta bangkit dari kursinya. Duduk sendirian membuat pikirannya melayang kemana-mana. Dihembuskannya nafas berat, seolah bersamaan dengan hembusan nafasnya itu semua beban yang ada di hatinya ikut keluar. Shinta merapikan gaun putih yang dikenakannya, memastikan tak ada kusut dan kotoran di sana. Dikerjapkannya mata indahnya, menghalau air mata yang sudah membayang di pelupuk mata. Aku tak boleh larut dalam kenangan masa lalu, aku harus bangkit, batin Shinta.

"I'm happy for you, Dear," bisik Shinta. "Semoga apa yang terjadi pada aku tidak terjadi ke kamu ya, Laras. Kamu harus bahagia. Orang sebaik kamu harus selalu bahagia. Doaku tulus menyertaimu, Laras. "

Dipasangnya senyum terindah di bibir manisnnya. Shinta melangkah, berbaur dengan tetamu yang hadir. Menyapa mereka yang dikenalnya. Berusaha larut dalam kebahagiaandan keceriaan yang sedang dirasakan Larasati, sahabatnya.

Cinta Salah(Finished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang