Perasaan ini entah kenapa semakin membuncah. Aku sudah berusaha menekannya, menguburnya dalam-dalam, bahkan memusnahkannya. Tapi entah kenapa selalu ada, ada, dan ada lagi.
Hari ini mood-ku benar-benar kacau. Gara-gara mimpi yang entah apa artinya. Aku bermimpi berjalan sendiri di tengah jalan. Benar-benar sendiri. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada aku.
Ketukan di pintu mengejutkanku. Mama masuk.
"Kamu kok belum siap?" kata Mama melihatku masih bersembunyi di balik selimut.
"Shinta lagi gak mood kerja nih, Ma. Pikiran suntuk banget."
"Sayang, kenapa lagi? Kamu gak boleh kayak gini."
"Please, Ma! Shinta bener-bener gak mood buat kerja. Dari pada kerjaan Shinta gak beres di kantor. Mending nanti Shinta minta Vega kirim file-nya lewat email."
"Ya sudah, terserah kamu saja. Sekarang kamu mandi ya? Mama tunggu kamu sarapan di bawah. Papa juga udah nunggu kamu tuh."
"Iya, Ma. Bentar lagi Shinta turun."
# # #
Aku tak bisa begini. Perasaan ini benar-benar sudah sangat menggangguku. Terngiang-ngiang kata-kata Laras beberapa waktu yang lalu.
"Berkacalah dari pengalaman, Shinta. Jangan pernah merebut cinta orang lain. Kamu cantik, kamu pintar, dan kamu baik. Kamu berhak mendapatkan cinta dari orang yang benar-benar tulus mencintai kamu. Tapi tidak dengan cara merebut suami orang lain. Ya, kan?"
Aku tahu ini salah. Aku tahu ini bukan sesuatu yang baik. Sekali lagi terngiang perkataan Laras.
"Shinta, percaya deh sama aku. Kamu akan menemukan cinta sejati kamu. Segera, dengan jalan yang baik. Tidak dengan jalan merebut cinta orang lain. Kamu juga harus yakin itu, oke?"
Tapi bagaimana kalau cinta sejatiku itu Abi?
Tapi entahlah, aku benar-benar tidak bisa menahan perasaan ini. Aku terlanjur mencintai Abi. Aku harus mengungkapkan perasaanku.
Aku bangkit, mengambil ponselku. Aku menghubungi nomor ponsel Abi.
"Hei, Shin. Gimana kabarnya?" suara ramah Abi terdengar di seberang.
"Baik, Bi. Eemmmm, Bi, bisa gak kita ketemu siang ini? Ada yang perlu aku omongin sama kamu. Berdua aja."
"Berdua? Ada apa, nih?" suara Abi terdengar heran.
"Aku minta tolong ya, Bi. Kita ketemu di luar. Jangan di kafe."
"Oke, boleh deh. Walopun aku masih penasaran nih, ada apa sih?"
"Nanti aja, Bi. Gak enak diomongin di telpon."
"Oke, nanti kamu share location aja ya." kata Abi sebelum memutuskan panggilan.
Aku bergegas mandi. Memakai pakaian terbaik, dan dandanan natural. Sekali lagi aku mematut diri di depan cermin. Setelah memastikan semua, aku bergegas berangkat menemui Abi.
# # #
Aku janji ketemu Abi di kafe tak jauh dari kafe Abi. Lima belas menit menunggu, akhirnya Abi datang juga.
Abi terlihat makin berwibawa di mataku.
"Hai, Shin." Abi duduk di depanku.
"Hai,"
"Ada apa, nih? Kayaknya penting bangrt sampe gak mau ketemu di kafe aku aja. Gak mau ada Laras juga. Ada apa?"
"Sebelumnya aku minta maaf ya, Bi. Udah ganggu waktu kamu. Kamu pasti benernya sibuk banget."
"Ah, gak lah. Gak papa, kok. So? Ada apa, nih?"
Aku menarik nafas panjang. Aku harus mengungkapkan perasaanku. Harus.
"Bi, aku gak tau harus mulai dari mana. Maaf kalo nantinya apa yang aku ungkapin ini bikin kamu kurang nyaman." Aku menarik nafas panjang.
"Bi, aku... aku cinta sama kamu." akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulutku. Abi terdiam mematung di tempatnya.
"Apa?"
"Aku cinta sama kamu, Bi. Aku tau ini salah, tapi aku gak bisa lagi nahan perasaan aku. Entah bagaimana awalnya, dari mana datangnya, tapi saat ini aku yakin, aku bener-bener cinta sama kamu."
"Kamu tau kan, aku sudah menikah sama Larasati sahabat kamu?"
"Iya, Bi. Aku tau."
"Terus, kenapa kamu menyatakan cinta sama aku?"
"Bi, aku sendiri gak tau kenapa aku sampe bisa jatuh cinta sama kamu. Berkali-kali aku berusaha ngelupain kamu, berkali-kali aku nyoba ngikangin rasa cinta aku ke kamu. Tapi, semakin lama aku malah makin cinta sama kamu."
"Tapi..."
"Kamu gak perlu jawab sekarang, Bi. Kamu pikirin aja dulu."
Sejenak Abi terdiam, seperti sedang berpikir. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Abi menghembuskan nafas, berat. Apa dia marah?
"Harusnya kamu juga berpikir sebelum menyatakan perasaan kamu ke aku. Apa yang akan terjadi kalo Laras tau kamu begini?"
"Laras gak tau, dan gak akan tau."
"Oke, aku akan pikirkan. Walopun sebenarnya tanpa kamu suruh mikir pun aku sudah tau jawabannya. " kata-kata Abi terasa menohok hatiku. Tapi aku masih berharap, ada keajaiban. Entah apa yang aku harapkan dari Abi. Tapi, hatiku masih berharap.
"Makasih ya, Bi. Kamu udah mau nemuin aku di sini." Abi mengangguk. Lalu pergi meninggalkan aku.
Ada kelegaan di hatiku setelah mengungkapkan perasaanku pada Abi. Tapi juga ada rasa menyesal, rasa bersalah, dan takut yang bercampur jadi satu.
Menyesal, kenapa aku bisa begitu bodoh jatuh cinta pada suami sahabatku sendiri. Aku merasa bersalah, karena sudah menyatakan perasaanku pada Abi yang mungkin akan berdampak buruk pada pernikahan Abi dan Laras. Takut, aku takut akan penolakan Abi. Juga takut melukai Laras.
Tapi, cinta itu kan bukan kamu yang minta. Kata suara hatiku. Cinta itu datang dari Tuhan. Jadi tidak ada yang salah.
Tapi, seharusnya kamu bisa mengendalikan diri kamu. Tak seharusnya kamu menyatakan perasaan cinta kamu pada Abi yang jelas-jelas lelaki beristri. Dan Abi itu suami sahabat kamu. Kata suara hatiku yang lain.
Aku meremas rambutku. Bingung. Entahlah, Tuhan. Aku tak tahu yang aku lakukan ini benar atau tidak. Kalau memang yang kulakukan ini salah, ampuni aku Tuhan. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Aku bangkit meninggalkan kafe. Bergegas pulang.
# # #
Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Laras. Tiba-tiba tubuhku mengejang. Jantungku berdetak sangat cepat. Nafasku terasa sesak.
Apakah Laras tahu apa yang aku ungkapkan ke Abi? Apa Laras menyadari sikapku selama ini? Aku membaca pesan dari Laras.
Kamu kemana aja, dihubungi gak bisa?
Aku menghembuskan nafas lega. Ternyata Laras tidak menyadarinya. Aku mengabaikan pesan Laras. Aku masih enggan berbicara padanya.
Mungkin karena aku takut Laras akan mengetahui perasaanku pada Abi.
Aku sendiri tidak tahu setan apa yang merasuki aku sampai aku bisa berbuat senekat ini. Menyatakan perasaanku pada Abi. Abi, yang jelas-jelas sudah menjadi suami sahabatku sendiri.
Maafkan aku, Laras. Aku juga ingin dicintai seperti kamu. Dicintai dengan tulus, dengan sepenuh hati. Disayangi, dilindungi seorang lelaki sejati seperti Abi. Salahkah aku, Ras? Salahkah aku dengan segala inginku ini? Maafkan aku, Ras.
Maafkan aku dengan segala peraasaanku untuk Abi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Salah(Finished)
RomanceKehidupan pernikahan tak selamanya mulus. Tak seperti dalam dongeng yang selalu berakhir bahagia. Justru dengan menikah, petualangan baru dimulai. Lalu apa jadinya, jika masalah yang hadir melibatkan hati? Bagaimana jika masalah itu datang dari oran...