Shinta: Rasaku

1.9K 93 8
                                    

Entah apa yamg ada dalam pikiranku. Entah apa yang terjadi dengan hatiku. Aku tak bisa lagi memendam rasa cintaku untuk Abi. Semakin aku berusaha melupakannya, semakin aku mengingatnya. Bayangannya tak mau beranjak dari pikiranku. Aku sungguh sangat tersiksa dengan perasaan ini.

Tujuanku menghilang dan menghindar dari Laras dan Abi adalah untuk mengusir perasaanku, tapi entah kenapa perasaan ini justru makin dalam.

Aku tahu rasanya dikhianati, aku tahu rasanya cinta yang terenggut dengan paksa. Tapi aku sendiri tak bisa menepis rasaku ini.

Ponselku berdering. Laras. Aku menarik nafas panjang.

"Hai, Ras." aku mencoba terdengar ceria.

"Gimana, jadi ketemu hari ini?" Laras menagih janji. Beberapa hari yang lalu dia menelponku lagi. Meminta bertemu. Aku menjanjikan hari Sabtu. Dan, hari ini hari Sabtu. Masih jam enam pagi. Dan dia menelponku menagih janji.

"Harus sekarang ya, Ras?" aku masih berusaha mengelak. Aku tak bisa bertemu Laras dan Abi saat hatiku masih labil begini.

"Kamu mau aku pecat jadi sahabat?" ancam Laras.

"Duh, segitunya sih."

"Aku tunggu kamu di kafe. Habis itu kita pulang ke rumah aku." kata Laras dengan nada perintah.

"Ketemu di kafe oke, tapi jangan ke rumah ya?"

"Kenapa?"

"Aku gak mau ganggu quality time kamu sama Abi, Ras."

"Alasan! Tiap hari juga aku udah punya quality time ma Abi. Kan tiap hari juga ketemu. Kamu tuh, yang perlu direhab otaknya! Sukanya bikin orang khawatir aja!"

Sepertinya Laras masih marah karena aku sulit dihubungi beberapa waktu yang lalu. Laras memang bisa sangat kejam kalau sedang marah.

"Duh, Ras. Jangan gini, lah! Aku beneran gak enak sama Abi."

"Terus kamu maunya gimana?"

"Gimana, ya?" aku bingung harus menjawab apa.

"Kelamaan deh, udah biar aku aja yang ke rumah kamu ya? Aku ijin Abi gak ikut ke kafe aja. Oke?" tanpa menunggu jawabanku, Laras memutuskan telepon. Aku menghembuskan nafas.

#   #   #

Aku berbaring menatap langit-langit kamar. Segala pikiran berkecamuk di kepalaku. Apa yang harus aku katakan pada Laras kalau dia bertanya apa yang menyebabkan aku sulit dihubungi?

Apa harus aku katakan, "Aku menghindari suami kamu, karena aku mencintainya", begitu?

Laras bisa jantungan karenanya. Lalu aku harus bagaimana?

Pikiranku masih melanglang buana ketika terdengar ketukan di pintu. Dan tiba-tiba Laras masuk.

"Ngapain pake sembunyi segala, hah?" tanya Laras dengan nada marah. Aku mengerutkan kening. Takut. Apa Laras sudah tahu tentang perasaanku pada Abi?

"Kamu pikir, aku gak kuatir sama keadaan kamu? Ditelepon gak bisa, di-chat gak dibales, aku stress tau mikirin kamu!" air mata membayang di pelupuk mata Laras. Laras terduduk di sampingku. Aku menatap Laras dalam diam.

"Maafin aku ya, Ras?" hanya itu yang keluar dari mulutku.

"Sekarang, cerita sama aku. Apa yang bikin kamu menghilang bak ditelan bumi?" Laras langsung menodongku dengan pertanyaan.

"Gak ada apa-apa sih benernya, Ras." jawabku.

"Gak mungkin, Shinta. Aku ini kenal kamu bukan baru kemarin. Aku kenal kamu sejak jaman SMA. Dan kelakuan begini ini bakal muncul kalo kamu lagi ada masalah. Nah, sekarang cerita. Kamu ada masalah apa? Sama siapa?"

Aku terselamatkan ketukan di pintu. Bi Edah masuk membawa minuman dan makanan kecil untuk kami. Bi Edah meletakkan makanan dan minuman di dekatku dan Laras. Setelah itu pergi.

"Jadi?" suara Laras mengagetkanku.

"Duh, Ras. Kamu bikin kaget aja sih." aku mencoba bercanda. Tapi tak ada senyum di bibir Laras. Binir itu terkatup rapat, datar. Aku menghembuskan nafas berat.

"Oke, oke. Aku cerita. Tapi aku gak tau gimana ngawalinya, Ras!"

"Ya awali aja, pada suatu hari, bla bla bla."

Aku menarik nafas, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Berharap keluar juga jawaban untuk Laras.

"Aku... aku lagi jatuh cinta, Ras," akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulutku. Mata Laras terbelalak, lalu tertawa.

"Ya ampun, Shinta! Kamu menghindari aku karena lagi jatuh cinta? Lucu deh, kamu." Laras masih tertawa. Sampai air mata keluar dari matanya.

Aku tertunduk, seandainya kamu tahu, Ras. Seandainya kamu tahu pada siapa aku jatuh cinta, apa kamu masih akan tertawa seperti ini?

"Siapa orang beruntung itu, Shin?" tanya Laras. Aku terdiam. Lidahku kelu.

Air mata mulai membayang di pelupuk mataku. Tak tahan, aku menangis. Laras terlihat bingung. Digenggamnya tanganku.

"Shinta? Ada apa?"

"Aku tahu ini salah, Ras! Aku tahu ini gak seharusnya terjadi."

"Maksudnya? Apa yang salah? Apa yang gak seharusnya terjadi?" Laras bertanya kebingungan.

"Aku... aku mencintai seseorang yang udah punya istri, Ras." tangisku menjadi. Laras menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. Diam seribu bahasa.

"Aku gak tau gimana awalnya aku bisa jatuh cinta sama laki-laki ini. Dia baik banget sama aku. Dia menghormati aku, gak kayak laki-laki lain."

Laras masih terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Seandainya dia tahu, laki-laki yang aku cintai ini adalah suaminya, mungkin Laras sudah pingsan sejak tadi.

"Dia memperlakukan aku dengan sangat baik, kedewasaannya, kelembutannya, semua yang ada dalam dirinya bikin aku jatuh cinta, Ras. Aku gak bisa nahan perasaanku sendiri. Semakin lama aku nyoba ngelupain dia, semakin aku cinta sama dia."

"Dimana kamu ketemu orang ini?" pertanyaan Laras membuat aku terdiam sejenak. Apa yang harus aku katakan? Aku bingung.

"Teman kantor?" aku masih terdiam. Laras meremas tanganku, meminta jawaban. Entah apa yang membuat aku akhirnya mengangguk. Maafkan aku, Laras. Maafkan aku.

"Udah sejauh apa hubungan kamu sama dia?"

"Dia bahkan gak tahu aku cinta sama dia. Aku belum bilang apa-apa sama dia." Laras menghembuskan nafas lega.

"Shinta, maaf ya Sayang. Menurut aku, kamu harus menyudahi perasaan kamu untuk laki-laki ini. Kamu tahu kan, rasanya cinta kamu direbut dari kamu? Sakit, kan?" kata-kata Laras menohok hatiku. Aku mengangguk. Iya, sakit sekali.

"Berkacalah dari pengalaman, Shinta. Jangan pernah merebut cinta orang lain. Kamu cantik, kamu pintar, dan kamu baik. Kamu berhak mendapatkan cinta dari orang yang benar-benar tulus mencintai kamu. Tapi tidak dengan cara merebut suami orang lain. Ya, kan?" aku mengangguk. Kepalaku semakin dalam tertunduk.

Masihkah akan kamu bilang aku baik, kalau kamu tahu aku mencintai suamimu, Ras?

"Shinta, percaya deh sama aku. Kamu akan menemukan cinta sejati kamu. Segera, dengan jalan yang baik. Tidak dengan jalan merebut cinta orang lain. Kamu juga harus yakin itu, oke?" aku mengangguk.

Laras memelukku. Tangisku pecah di bahu Laras. Seperti biasa, Laras mengusap-usap punggungku mencoba memberikan ketenangan.

Entah kenapa ingin aku teriakkan di telinga Laras, aku mencintai suamimu.

Cinta Salah(Finished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang