Setelah kunjungan pertamaku ke kafe Abi saat Laras tak ada di sana, aku sering berkunjung ke kafe. Dan entah kenapa saat itu Laras sedang tak ada di sana. Jadilah aku ngobrol dengan Abi.
Abi orang yang sangat baik. Sangat mengerti bagaimana membuat seorang perempuan nyaman di sampingnya, ngobrol dengannya. Sense of humor-nya pun sangat bagus. Sering kali aku tertawa dibuatnya. Lelucon yang dilempar Abi tak pernah membosankan. Pantas saja Laras sangat bahagia bersamanya.
Entah kenapa, bayangan wajah Abi begitu melekat di ingatanku. Kabaikannya, kedewasaannya. Aku menghembuskan nafas.
"Apa-apaan aku ini? Abi itu suami Laras, sahabatku. Kok aku jadi mikirin Abi sih?" aku mengacak-acak rambutku.
Aku tahu, tidak baik mengunjungi kafe saat Laras tak ada di sana. Ralat, mengunjungi Abi tepatnya. Dan entah kenapa akhir-akhir ini Laaras jarang ke kafe. Abi bilang, Laras sering menemani Tante Merry di rumah. Kesehatan Tante Merry sering terganggu akhir-akhir ini.
Aku tertawa miris. Seharusnya aku mengunjungi Tante Merry yang sedng tidak sehat alih-alih mengunjungi kafe, menemui Abi. Tapi jujur, mengunjungi kafe dan ngobrol dengan Abi rasanya lebih menggoda.
Haruskah aku datang ke kafe lagi? Hari ini? Entahlah, tiba-tiba aku merasa jadi pengkhianat. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Siapa yang berkhianat? Siapa saja boleh kan, mengunjungi kafe itu? Aku ke sana bukan hanya untuk ngobrol dengan Abi. Aku ke sana untuk makan," seolah ada suara dalam hatiku. Aku tersenyum mengangguk. Bergegas aku berganti baju, lalu meluncur menuju kafe.
# # #
Lagi-lagi hari ini Shinta tak ada di kafe. Tapi Abi pun sedang tidak ada di kafe. Kata Agus, pegawai di kafe yang sering mengantarkan pesananku, Abi sedang ketemu klien, tak jauh dri kafe.
Si Agus ini, lucu juga orangnya. Dia selalu memanggilku dengan sebutan Tante. Dan dia juga selalu memanggilkan Abi ketika aku berkunjung ke kafe.
Hari ini pun, Agus yang mengantarkan kopi pesananku. Setelah meletakkan kopi di meja, Agus tak segera pergi. Seperti biasa, Agus akan memberi informasi tentang keberadaan Abi atau Laras.
"Bos lagi meeting, Tante. Nyonya Bos juga hari ini gak dateng, Tante. Mamahnya Nyonya Bos lagi kurang sehat." Agus memberi info tanpa aku tanya.
"Kira-kira masih lama gak ya, si Abi?"
"Wah, gak tahu saya Tante. Tapi perginya sih udah dari pagi."
"Ya udah, gak papa kan kalo aku nunggu di sini?"
"Ya gak papa lah, Tante. Boleh saya temenin?"
"Temenin Mina sana di dapur," sebuah suara mengagetkan Agus.
"Eh, Pak Man." Agus nyengir. Ivan yang berbadan tegap sudah berdiri di belakangnya dengan berkacak pinggang.
"Ngapain kamu lama-lama di sini? Sana, masuk!" kata Ivan tegas. Agus mengangguk.
"Maaf, Mbak. Bos Abimanyu lagi keluar ketemu klien. Entah jam berapa kembali ke kafe. Bahkan entah kembali apa gak ke kafe." kata Ivan selepas Agus pergi. Aku mendengar nada tidak suka dari suara Ivan.
"Oh, saya gak lagi nunggu Abi kok. Cuma pengen ngopi aja. Booleh, kan?"
"Boleh saja. Kalau begitu, selamat menikmati kopinya." Ivan meninggalkan aku sendiri.
Kusesap kopi yang masih panas itu perlahan. Rasa hangat mengakir melewati kerongkonganku. Tak lama Abi datang. Awalnya dia tak menyadari keberadaanku di kafe. Segera ia bergegas menuju meja kasir. Ivan membisikkan sesuatu yang membuat Abi menoleh ke arahku. Aku tersenyum. Abi melambaikan tangannya.
Setelah beberapa saat bicara dengan Ivan, menyerahkan sebuah map, Abi bergegas menuju mejaku.
"Hai, Shin. Udah lama?" Abi duduk di depanku.
"Lumayan, Bi. Sibuk banget kayaknya?"
"Ah, gak juga. Biasa aja. Eh, kamu kok gak ke rumah Laras aja? Sekalian jenguk Mama." kata Abi.
"Eh, iya. Gimana keadaan Tante Merry?"
"Udah lebih baik." Abi menjawab pendek.
"Laras gimana kabarnya, Bi?"
"Baik, dia sepertinya kangen ketemu kamu. Kenapa kamu gak main aja ke rumah Mama?"
"Nanti, pulang dari sini aku bakal main ke rumah Tante Merry deh."
"Siip," Abi mengacungkan dua jempolnya.
"Tiap ke sini, kopi aja yang dipesen. Gak ada temennya?" Abi menatap cangkir kopiku yang sudah kosong. Isinya tandas, mengendap di perutku.
"Iya, ya? Tapi emang kalo ke sini pengennya ngopi aja." aku tertawa.
"Di sini kan banyak makanan lain. Banyak lo, menu baru buatan Laras. Mau coba?" Abi menawarkan.
"Boleh, deh." Aku mengiyakan tawaran Abi. Abi melambaikan tangannya. Lagi-lagi Agus yang mendatangi kami.
"Mau pesen sesuatu, Tante?" suara ramah Agus mulai akrab di telingaku.
"Yang manggil kan, aku to Gus? Kok kamu mrepet Shinta melulu?"
"Ah, si Bos mah bisa aja."
"Buatin makanan spesial buat Shinta. Yang terbaru, ya?" kata Abi. Agus mengangguk mantap. Kemudian berlalu.
"Laras hebat, ya. Bisa bikin menu baru. Ada aja idenya."
"Ya, begitulah Laras. Gak pernah bisa diem. Ada aja yang dipikirin, dikerjain, dan hasilnya? Pelanggan suka sama menu baru buatan Laras." lagi-lagi terlihat pancaran lembut cinta di mata Abi. Lagi-lagi aku iri. Ah, ada apa sih dengan hati ini?
"Laras emang pantas untuk dicintai ya, Bi?" entah apa yang membuat kalimat itu terlontar dari mulutku.
"Setiap orang pantas dan berhak untuk dicintai, Shinta. Begitu juga kamu. Mungkin kamu belum menemukan orang yang bener-bener tulus cinta sama kamu. Suatu saat, kamu pasti ketemu sama orang yang tepat. Percaya, deh!" Abi tersenyum.
Entah kenapa, senyum itu kini menenangkan hatiku. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Kenapa, Shin? Kamu pusing?" tanya Abi.
"Oh, gak kok!" aku mengibaskan tanganku. Di saat yang sama, Agus datang dengan sepiring makanan.
"Silahkan, Tante. Menu baru di kafe kami. Mini macaroni schotel, pas ukurannya, gak terlalu besar, jadi bisa mengganjal perut sebelum makan besar." Agus menjelaskan apa yang dibawanya. Aku tertawa kecil.
"Apaan sih kamu ini, Gus?" Abi ikut tertawa. Tawanya terdengar merdu di telingaku. Lagi-lagi aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran aneh di kepalaku.
"Kayaknya enak, nih." aku mulai memakan macaroni schotel itu.
"Gimana? Enak?" tanya Abi. Aku mengangguk.
"Masakan Laras memang selalu enak, Bi. Gak rugi kamu menikahi Laras." Abi menjentikkan jarinya.
"Yes, I'm the luckiest guy on earth." katanya, tersenyum bangga. Kami tertawa bersama.
Aku tertawa. Tapi dalam hati, terbersit rasa yang entah apa, sulit aku gambarkan. Belum pernah aku merasa seperti ini. Iri, tapi iri karena apa? Apa karena ada laki-laki super baik yang mencintai Laras? Kenapa aku harus iri? Apa karena aku tak seberuntung Laras, yang menikah dengan laki-laki sebaik Abi? Entahlah. Aku sendiri tak paham.
Aku merasa jadi manusia paling jahat di muka bumi. Merasa iri pada sahabatku sendiri, yang sudah sangat amat baik padaku selama ini. Sebenarnya aku ini kenapa?
Ada apa denganku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Salah(Finished)
RomanceKehidupan pernikahan tak selamanya mulus. Tak seperti dalam dongeng yang selalu berakhir bahagia. Justru dengan menikah, petualangan baru dimulai. Lalu apa jadinya, jika masalah yang hadir melibatkan hati? Bagaimana jika masalah itu datang dari oran...