Sebenarnya, pagi ini cuacanya cerah sekali. Langit putih bersih, tak ada mendung yang menodai. Aku membuka jendela di depan ruang makan, membiarkan udara pagi yang segar memenuhi ruangan.
Tapi aku tidak suka suasana di rumah belakangan ini. Seperti ada awan mendung yang mengandung petir, yang tak mau hilang walau sudah ditiup angin. Kelabu. Laras mendiamkan aku entah kenapa. Aku lebih suka Laras marah, memaki aku, memukul, melukai aku, dari pada dia mendiamkan aku seperti ini. Aku sangat ingin memeluk Laras seperti biasa, ingin bermanja padanya, ingin mendekapnya dalam tidurku, ingin... ingin semua yang biasa aku lakukan bersama Laras.
Tapi semua itu sekarang seolah mustahil aku dapatkan. Sejak sakitnya, Laras berubah dingin padaku. Kadang, aku melihat Laras seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tertelan kembali. Aku ini laki-laki, yang tak pandai membaca kata hati perempuan. Duh, kaum perempuan ini memang susah sekali dimengerti. Kadang kita para lelaki dituntut untuk mengerti tanpa mereka harus berkata-kata. Mana bisa?
Pagi ini seperti biasa (baru selama Laras sakit sih sebenarnya) aku bangun lebih dulu dari Laras. Menyiapkan segala sesuatu yang aku perlukan untuk pergi ke kafe. Juga menyiapkan sarapan untuk Laras. Yang ini sih gampang, tinggal kupas buah saja.
Aku masuk ke dalam kamar membawa sepiring buah potong untuk Laras. Tapi Laras sudah tidak ada di tempat tidur. Aku mengerutkan kening. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi. Laras. Kuketuk pintu kamar mandi.
"Ras, jangan lama-lama mandinya ya? Kamu kan baru sembuh. Nanti sakit lagi lo."
Tak ada jawaban. Aku menghembuskan nafas berat. Sampai kapan kamu mendiamkan aku begini, Ras? Batinku berteriak. Aku duduk di tepi tempat tidur. Menunggu Laras.
Tak lama, Laras keluar dari kamar mandi. Istriku yang cantik, aku menatapnya dalam. Dalam balutan baju handuk, Laras tetap terlihat cantik. Aku bangkit mendekatinya. Kuraih tangan halusnya, dingin. Kucium tangannya lembut.
Kutuntun Laras duduk di tepi tempat tidur, aku menggenggam tangannya erat.
"Kamu udah sembuh bener?" aku menyentuh lembut dahi Laras.
"Ras, aku sayang banget sama kamu. Kamu jangan diem terus dong sama aku. Rasanya sepi banget gak denger suara kamu beberapa hari ini. I miss you, Ras. I need you."
Laras masih diam, membuang muka.
"Sayang, aku minta maaf kalau aku ada salah sama kamu ya? Apapun kesalahanku itu, aku minta maaf."
Laras menghembuskan nafas. Kali ini dia menatapku. Tuhan, aku rindu sekali bisa menatapnya langsung eyes to eyes begini. Kuremas tangannya lembut.
"Hari ini aku mau main ke TK, boleh?" tanya Laras. Aku menghembuskan nafas lega. Akhirnya dia bicara, setelah seminggu mendiamkan aku.
"Boleh, Sayang. Boleh banget. Aku antar, ya?"
"Gak usah, aku naik taksi aja. Biar lebih leluasa pulang jam berapa."
"Pulangnya aku jemput, ya? Jam berapa pun kamu telpon aku. Aku bakal langsung meluncur jemput kamu. Oke?" Aku menatap Laras penuh harap. Akhirnya Laras mengangguk.
"Makasih ya, Ras. Aku bener-bener bingung kamu gak mau ngomong sama aku beberapa hari ini. Aku kangen kamu, Ras. Kangen ngobrol sama kamu."
# # #
Aku sedikit lega Laras sudah mau bicara padaku hari ini. Rasanya seperti bongkahan batu besar sudah terangkat dari dadaku. Belum sepenuhnya lega, tapi setidaknya Laras sudah mau berbicara padaku.
Aku masih menerka-nerka, apa yang membuat Laras begitu marah padaku. Apa Laras tahu aku menemui Shinta? Atau bahkan Laras sudah tahu bahwa Shinta mengungkapkan perasaannya padaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Salah(Finished)
RomanceKehidupan pernikahan tak selamanya mulus. Tak seperti dalam dongeng yang selalu berakhir bahagia. Justru dengan menikah, petualangan baru dimulai. Lalu apa jadinya, jika masalah yang hadir melibatkan hati? Bagaimana jika masalah itu datang dari oran...