Abimanyu: Lapang Dada

3.8K 166 4
                                    

Udara sejuk pagi menyeruak memasuki kamar ketika aku membuka jendela. Segar, menyejukkan. Laras sudah seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk kami. Tapi ada yang masih belum kembali seperti semula.

Sikap Laras padaku masih belum benar-benar normal. Masih tersisa sikap dinginnya padaku. Makhluk yang berlabel perempuan ini memang sangat sulit dimengerti. Lain di mulut, lain di hati.

Katanya sudah memaafkan, katanya sudah melupakan. Tapi apa? Sikapnya masih dingin, beku, seperti ayam dalam freezer. Aku menghembuskan nafas. Sebenarnya aku agak kesal dengan sikap Laras ini. Bayangkan, katanya sudah memaafkan, tapi tidur saja dia masih memunggungi aku. Masa aku harus  bicara sama punggung?

"Bi," panggilan Laras mengagetkan aku.

"Oh, iya Ras? Ada apa?"

"Sarapan udah siap. Kamu mau sarapan dulu apa mandi dulu?"

"Aku mandi aja dulu ya? Habis itu kita sarapan. Sambil ngobrol ya, Ras? Udah lama kita gak ngobrol. Aku kangen deh, sama cerewetnya kamu."

Aku meraih tangan Laras. Menariknya mendekat, hingga tak ada jarak antara kami.

"Kamu mandi dulu sana. Habis itu kita sarapan." Laras menarik tubuhnya menjauh. Aku menghembuskan nafas.

"Sampai kapan sih, Ras kamu bakal dingin gini sama aku? Kamu kan tau aku gak ada hubungan juga sama Shinta, setitik pun aku gak ada rasa sama Shinta. Kenapa masih dicuekin, Sayang?"

"Sampai kamu selesai mandi, terus sarapan. Bau!" Laras tersenyum. Seolah air dingin disiramkan tepat di atas kepalaku. Sejuk.

"Makin cantik kamu kalo senyum gitu, Ras. Sayangku, kangennya aku sama kamu." Aku memeluk Laras erat.

"Bi, udah ah. Kamu bau banget. Sumpah! Mual aku, Bi." Laras menjauhkan tubuhku. Aku mencium baju yang ada di badan. Iya sih, sedikit bau. Aku bergegas mandi.

#   #   #

Aku sangat menikmati sarapan hari ini. Bagaimana tidak? Laras sudah mau tersenyum dan bercerita seperti biasa. Sekedar mengomentari berita gosip artis di TV, sampai menggosipkan Papa dan Mama yang berencana melakukan perjalanan ke Eropa. Bulan madu, kata mereka.

Obrolan kami terhenti saat ponsel Laras berbunyi. Seketika raut wajah Laras berubah. Tegang. Aku mengerutkan dahi, bingung.

"Siapa, Sayang?"

Laras tak menjawab. Hanya diam. Beberapa kali pesan masuk ke ponsel Laras. Laras mengjembuskan nafas berat.

"Siapa, Ras?" tanyaku lagi.

Laras masih diam. Kembali mengunyah pisang dan pepaya di atas piring. Aku ikut diam. Tak mau mengusiknya lagi. Tapi masih menyimpan rasa penasaran.

#    #    #

Sesampainya di kafe, seperti biasa Laras menuju dapur yang jadi tempat favoritnya di kafe. Sedangkan aku langsung ke ruanganku.

Aku bersyukur Laras sudah mulai berangsur normal padaku. Tak menyangka, di usia pernikahan yang masih amat sangat muda ini cobaan kami begini besarnya. Baru sembilan bulan, menginjak sepuluh bulan, tapi hampir saja terjadi perpisahan. Hampir saja pernikahan ini hancur berantakan hanya karena pernyataan cinta dari Shinta yang aku tanggapi saja tidak.

Lucu juga, sih. Bagaimana bisa Shinta jatuh cinta padaku. Jelas-jelas aku sudah menikah. Dan yang menjadi istriku adalah Laras, sahabatnya sendiri.

Dan bodohnya lagi, Shinta sendiri pernah mengalami masalah yang nyaris sama. Calon suaminya direbut oleh perempuan lain. Seharusnya Shinta berkaca pada apa yang pernah terjadi padanya. Ya kan? Betapa sakitnya ketika orang yang kita cintai direnggut dari sisi kita. Jatuh ke pelukan orang lain. Sakit, kan?

Cinta Salah(Finished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang