Beberapa hari ini aku memilih mematikan ponselku. Hatiku kacau. Aku tak ingin diganggu siapa pun. Aku ingin menikmati kesendirianku. Menikmati perasaan tak menentu di hatiku. Aku bahkan tidak ke kantor seminggu ini. Aku bilang pada Papa aku sedang ingin sendiri dan ingin menenangkan diri.
Papa tahu, David datang beberapa waktu yang lalu. Bahkan datang lagi ke rumah saat aku tak ada di rumah. Waktu itu aku harus menghadiri meeting di kantor. Dan aku bersyukur karenanya.
Papa percaya saat aku katakan aku ingin menenangkan diri setelah kedatangan David. Padahal, aku sudah tak peduli lagi padanya. Mama yang sedikit khawatir dengan keadaanku. Aku jadi sering mengurung diri di kamar. Aku beralasan banyak naskah yang harus diedit, banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Mama khawatir aku akan seperti dulu. Stress berat, lalu berusaha mengakhiri hidupku. Aku tertawa, aku bukan yang dulu lagi. Bukan aku yang lemah.
Sebenarnya, aku sangat ingin pergi ke kafe Abi. Sekedar melihat wajahnya dari jauh. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Bagaimana mungkin aku berpikir begini. Ini salah, ini tidak boleh terjadi.
Terdengar ketukan di pintu. Aku bangun dari tidurku, membuka pintu. Ternyata Mama.
"Kamu sudah terlalu lama gak ke kantor, Sayang. Walaupun itu kantor Papa, alangkah baiknya kalo kamu juga hadir di sana. Gak baik berlama-lama menyembunyikan diri begini," kata Mama. Aku menghembuskan nafas.
"Mama ngerti perasan kamu, tapi kamu juga gak bisa semena-mena begini. Seenaknya sendiri. Kamu ada tanggung jawab yang harus kamu kerjakan di kantor. Ini berhubungan dengan orang banyak lo."
"Iya deh, Ma. Hari ini Shinta bakal kerja." Mama tersenyum lega mendengar jawabanku.
"Ya udah, Mama siapin sarapan dulu ya?" aku mengangguk. Mama meninggalkan aku sendiri di kamar.
Terbayang bagaimana harus ada di kantor saat hati ingin hanya tidur-tiduran di kamar. Mood-ku benar-benar tidak bisa diajak kerja sama hari ini.
Segala rasa campur aduk di hatiku. Ada rasa rindu yang entah mulai kapan tumbuh di hatiku. Rindu pada siapa? Tak usah ditanya lagi, tentu saja pada Abi. Aku tahu ini salah. Ada rasa bersalah pada Laras, ada rasa ingin mendahulukan egoku. Egoku untuk mencintai Abi.
Apa? Mencintai Abi? Oh, come on Shinta! Ini salah. Sangat salah, sangat amat salah! Kamu tahu kan rasanya dikhianati? Bagaimana rasanya cintamu direnggut dengan paksa?
Aku tahu, sangat amat tahu. Tapi entah kenapa, aku tak bisa menahan rasa ini. Rasa yang terus tumbuh di hatiku untuk Abi.
Suara ketukan di pintu menyadarkan aku. Menarikku kembali ke alam sadar.
"Shinta, sudah siap?" suara Mama terdengar dari balik pintu.
"Iya Ma, sebentar lagi Shinta turun." jawabku. Aku segera bangkit menuju kamar mandi dan bersiap ke kantor.
# # #
Berkali-kali ponselku berdering. Puluhan panggilan tak terjawab dari Laras memenuhi layar ponselku. Aku tak menggubrisnya. Bukan karena aku tak mau lagi berteman dengannya. Justru aku sangat ingin terus berteman dengannya. Makanya, aku tak mau menerima telpon darinya. Aku ingin menata hati.
Lagi-lagi ponselku berdering. Vega yang duduk di sampingku mulai merasa jengah.
"Kenapa gak diangkat aja sih, Mbak? Berisik, tau!" katanya. Teman sesama editor di kantorku ini memang paling berani menegurku. Tidak seperti yang lain, yang menganggap aku anak pemilik perusahaan. Dia ceplas-ceplos saja ketika berbicara denganku. Berani menegurku kalau aku salah.
"Lagi males angkat telpon, Ga!" sahutku.
"Yaelah, ya udah sih matiin aja ponselnya. Ribet amat," katanya meraih ponselku lalu mematikannya.
"Ih, ni anak ya. Gak ada sopan-sopannya deh. Asal samber aja." aku menggerutu, tapi tak marah juga pada Vega. Sejujurnya, berterima kasih. Aku sedang benar-benar tak ingin berbicara dengan siapa pun.
"Siapa sih, Laras?" pertanyaan Vega mengagetkan aku.
"Oh, temen."
"Temen kok telpon gak diangkat? Lagi marahan ya?" tebak Vega.
"Gak juga, sih."
Vega kembali sibuk dengan pekerjaannya. Terdengar gerutuannya sesekali, mengomeli pengirim naskah yang dieditnya.
"Duh, Bang! Ini di-nya kan harusnya dipisah. Napa disambungin sih? Mereka bukan jodoh, Bang!" aku tertawa mendengarnya.
"Ga, jangan sampe kamu gila gara-gara ngedit naskah orang lo."
"Sebel aku, Mbak." kata Vega.
# # #
Kunyalakan ponselku saat mendekati jam pulang kerja. Puluhan pesan singkat masuk ke ponselku. Dari Shinta, beberapa dari promo operator telepon, beberapa dari Mama.
Laras:
Shinta, kenapa ponselnya dimatiin? Kamu ada masalah?Shin, kalo ada apa-apa bicara sama aku ya? Hubungi aku.
Shinta, kamu gak apa-apa kan?
Dan banyak lagi pesan bernada khawatir dari Laras. Aku tersenyum. Sebegitu khawatirnya Laras padaku. Tak lama ponselku berdering. Bisa dipastikan, Laras. Kuputuskan untuk menerimanya.
"Hai, Ras. Gimana kabarnya?"
"Kamu kok tega sih, sama aku?" terdengar suara Laras bergetar menahan tangis.
"Berapa hari kamu gak hubungi aku? Chat gak dibales, telpon gak diangkat, ada apa sih? Aku kan kuatir Shinta!" Laras nyerocos tanpa henti. Aku tertawa. Menutupi segenap rasa yang ada di hatiku.
"Maap, maap! Aku sibuk banget Ras. Banyak naskah yang harus diedit, semua harus cepet-cepet naik cetak. Jadi aku agak mengabaikan ponsel deh." aku beralasan. Laras maaih ngomel panjang pendek. Setelah beberapa kali lagi minta maaf, akhienya Laras menghentikan omelannya.
"Ya udah, kamu udah pulang kerja kan? "
"Udah, ini mau perjalanan pulang."
"Aku ke rumah kamu, ya?"
"Aduh, jangan sekarang ya Ras? Aku capek banget hari ini. Pengen tidur aja nyampe rumah. Hhhmmmm, gini deh. Minggu depan kita ketemuan deh. Gimana?" aku memberi pilihan.
"Oke, awas ya kalo bohong!" Laras mengakhiri panggilan.
Aku menghembuskan nafas berat. Segera aku pulang. Aku ingin mengurung diri di kamar, lagi.
# # #
Aku tahu ini salah,Tuhan. Tak seharusnya rasa ini ada dalam hatiku. Tak seharusnya aku jatuh cinta pada suami sahabatku sendiri. Tapi bukankah cinta datang tanpa diundang? Dia datang begitu saja, bertumbuh, berkembang dengan subur di dalam dada.
Aku tak pernah meminta untuk jatuh cinta pada Abi. Aku tak pernah berniat untuk jatuh cinta padanya. Tapi apa dayaku? Aku, aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada Abi, suami sahabatku.
Kebaikannya membuat hatiku lukuh. Kedewasaannya membuat aku nyaman ada di dekatnya. Kelembutannya, semua yang ada di dirinya membuat aku jatuh cinta.
Aku tahu ini cinta yang salah, Tuhan. Tapi aku sungguh-sungguh mencintainya. Air mata luruh mengaliri pipiku. Rasa bersalah, takut, rasa berdosa bercampur jadi satu di hatiku.
Aku takut, Laras akan meninggalkanku kalau dia tahu aku jatuh cinta pada Abi. Laras seperti sumber kekuatan tersendiri untukku. Sahabat terbaikku.
Maafkan aku, Laras. Maafkan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Salah(Finished)
RomanceKehidupan pernikahan tak selamanya mulus. Tak seperti dalam dongeng yang selalu berakhir bahagia. Justru dengan menikah, petualangan baru dimulai. Lalu apa jadinya, jika masalah yang hadir melibatkan hati? Bagaimana jika masalah itu datang dari oran...