Beberapa hari membantu Abi di kafe membuat aku mulai terbiasa dengan ritme harian seperti itu. Bangun pagi, aku akan memasak nasi goreng untuk Abi. Hanya untuk Abi, karena aku tak biasa makan nasi di pagi hari. Cukup iris-iris buah saja.
Dan Abi selalu berkomentar, "Emang kamu kenyang makan begituan aja? Orang Indonesia tuh gak kenyang kalo gak makan nasi. Kamu orang mana, sih?"
Dan aku hanya menanggapinya dengan senyuman sambil kunyah buah. Suatu saat, kamu bakal ikutan makan ala aku, percaya deh, batinku.
Setelah mandi, Abi akan sarapan dan kemudian bersiap berangkat menuju kafe. Aku pun akan ikut bersama Abi. Tapi kalau aku merasa lelah, Abi akan menyuruhku pulang terlebih dahulu.
"Hhhmmmmm, nasi goreng buatan kamu selalu enak," Abi yang baru keluar dari kamar mandi langsung duduk di meja makan. Lahap dimakannya nasi goreng buatanku.
"Bi, nanti malam kamu mau makan apa? Biar nanti aku keluar belanja di super market."
"Apa aja deh, yang pengen kamu makan juga. Terserah kamu, Sayang," kata Abi.
"Jangan terserah, dong!"
"Hhhmmmm, apa ya? Nasi goreng boleh."
"Kamu pikir aku cuma bisa masak nasi goreng aja?" Aku mengerucutkan bibir.
"Karena dalam nasi goreng ini pun ada cinta kamu, jadi aku suka."
"Gombal, udah ah aku siap-siap dulu." Aku meninggalkan Abi yang masih menikmati nasi gorengnya.
# # #
Sesampainya di kafe, seperti biasa aku duduk di depan bersama karyawan. Abi di ruangannya. Aku membuka-buka website tentang makanan yang mungkin bisa jadi inspirasi untuk kafe ini.
Hari ini, ada seorang ibu datang dengan anaknya yang masih usia TK. Lima atau enam tahunan. Gemuk, lucu sekali anak itu. Tiba-tiba pikiranku melayang ke sekolah tempatku mengajar dulu. Teringat sosok Dhito. Gemuknya, lucunya, sama.
Teringat ketika aku pertama kali mengajar mereka, Dhito dan teman-temannya. Dhito yang berbadan gemuk susah payah mengambil pensilnya yang jatuh. Aku menolongnya mengambil pensil.
"Thank you, Miss Laras," kata Dhito dengan suara seraknya.
Ada juga si play boy Frey. Hobinya menggoda para murid perempuan. Aku pun tak lepas dari godaannya.
"Hi, Miss Laras. You are so beautiful today," katanya sambil mengerling padaku. Aku melongo, hampir tertawa terbahak dibuatnya. Siapa yang mengajari anak sekecil itu melontarkan rayuan gombal?
Ada juga si gagap Andrew. Kasihan, teman-temannya selalu menggoda. Membuat Andrew jadi anak yang tertutup dan jarang mau berbicara di kelas.
"Miss Laras, Andrew ngompol!" seru Boby suatu pagi. Andrew terdiam di tempat duduknya. Air mata hampir jatuh, membayang di pelupuk matanya. Aku menghembuskan nafas, lalu tersenyum. Kugandeng tangan Andrew menuju kamar kecil, setelah sebelumnya memanggil Pak Darno, petugas kebersihan untuk membersihkan kelas.
"Kenapa Andrew ngompol?" tanyaku setelah hanya berdua Andrew di kamar kecil.
"A... Andrew ta... takut," jawabnya.
"Takut kenapa?"
"Ta... takut diledekin te.. teman-teman," air matanya tak bisa ditahan lagi. Mengalir deras di pipi tembemnya.
"Ga usah takut, Andrew. Kan ada Miss Laras. I won't let them hurt you, okey?" aku menghapus air mata Andrew.
Aku tahu ketakutan Andrew. Kondisi gagapnya membuat orang memandang dia sebelah mata. Padahal Andrew punya segudang kelebihan. Pandai membuat kerajinan tangan, kemampuan berhitungnya juga sudah lebih bagus dibanding dengan teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Salah(Finished)
RomanceKehidupan pernikahan tak selamanya mulus. Tak seperti dalam dongeng yang selalu berakhir bahagia. Justru dengan menikah, petualangan baru dimulai. Lalu apa jadinya, jika masalah yang hadir melibatkan hati? Bagaimana jika masalah itu datang dari oran...