[JungCath] Rumah (2)

315 13 54
                                    

Lanjutan yang kemarin. SPOILER MINOR untuk Jakarta Vigilante. Yah, udah baca ini pasti udah kelar baca JV dan Liaisons lah ya.

.

.

.

Matahari masih belum sepenuhnya bersinar di langit ketika sebuah mobil sedan Mercedes hitam berhenti di depan gerbang kediaman keluarga Jati, tujuh jam setelah Tanjung dan Catherine tiba di tempat yang persis sama. Pengemudi sedan itu menurunkan jendelanya, menunjukkan wajah salah satu supir kepercayaan keluarga Jati. Satpam yang berjaga di pos -- telah berganti orang dari yang kemarin malam -- tidak perlu bertanya sebelum membukakan gerbang. Ia tahu siapa yang duduk di kursi penumpang sedan tersebut.

"Pagi, Pak Tarto," ujar sang supir.

"Pagi, Pak Andra," balas sang satpam. "Dan Bu Puspa," lanjutnya sambil melongok ke dalam mobil.

"Pagi. Pak Tanjung sudah pulang?" tanya Puspa.

"Sudah, bareng Bu Cathy," jawab sang satpam.

"Baguslah," timpal Puspa dengan senyum tipis.

Puspa Jati, anak bungsu keluarga Jati, adik Surya dan Tanjung, menginjakkan kakinya di rumah tempatnya bertumbuh, setelah terakhir kali ia memasuki bangunan megah bercat putih itu lebih dari setahun yang lalu. Perempuan elegan yang masih rupawan di usianya yang melebihi limapuluh tahun itu memang menetap di Paris sebagai pengacara internasional yang membela korban perdagangan manusia. Walaupun ia mengunjungi Indonesia minimal setahun sekali, ia terakhir kali pulang awal tahun lalu, Januari 2017, untuk menghadiri pemakaman keponakannya, Angela Tanjung Jati.

Terlalu banyak yang menimpa keluarganya tahun lalu. Selain kabar buruk kematian Angela, disusul dengan perceraian Tanjung dan Catherine beberapa bulan kemudian, yang mengakibatkan shock untuk semua anggota keluarga Jati, Puspa juga menerima kabar menyakitkan dari salah seorang kenalan lamanya. Istrinya tewas dibunuh perampok yang menyerang rumahnya. Untunglah putri satu-satunya selamat.

Sebenarnya lelaki itu lebih dari kenalan. Ia adalah satu dari sekian banyak lelaki yang pernah singgah di hati Puspa -- namun satu-satunya yang berhasil menorehkan bekas luka begitu dalam -- apalagi karena mereka terpaksa berpisah baik-baik akibat perbedaan visi dan misi. Padahal tidak ada lelaki -- maupun perempuan -- yang sanggup mengimbangi dirinya sebagaimana lelaki itu mengimbangi dan menerima dirinya.

Ketika istri lelaki itu meninggal, Puspa bahkan tidak melayat ke Jakarta karena terlalu sibuk. Ia hanya mengirimkan karangan bunga melalui Alfred Darmadi, atas nama Puspa Jati, bukan Grup Jati.

Puspa menghela napas ketika ia melangkahkan kakinya di atas karpet bulu putih di foyer rumah keluarga Jati. Pukul setengah lima pagi, anggota keluarganya belum ada yang bangun. Ibunya biasa bangun paling pagi, itu pun setengah jam kemudian. Sambil berjalan menuju kamarnya, yang masih sama dengan kamarnya semasa remaja karena ia tidak punya wilayah rumah sendiri seperti Tanjung di sisi barat dan Surya di sisi timur, Puspa memikirkan kejadian yang baru saja ia alami.

Sepulangnya dari Puncak, ia menyempatkan diri mampir mengunjungi "kenalan lamanya" itu di rumahnya di Jakarta. Lelaki itu hanya setahun lebih tua daripada dirinya. Ia telah mengenakan kacamata dan rambutnya ada yang memutih. Namun ia masih sama tampannya seperti yang Puspa ingat, hampir tigapuluh tahun yang lalu. Seperti Puspa, lelaki itu juga seorang pengacara terkenal. Reputasinya sangat cemerlang di Indonesia. Selain cerdas, ia juga sangat berintegritas. Hampir semua mahasiswa jurusan hukum mendambakan magang di kantornya selepas lulus nanti.

Ardhi, batin Puspa, menyebut nama lelaki itu di hatinya, sambil tersenyum penuh kenangan.

Terbayang di benaknya memori hampir tigapuluh tahun yang lalu. Saat itu ia masih menempuh pendidikan S2-nya di Paris, dan Ardhi masih berkuliah di Belanda. Saking gilanya, mereka sampai rela bolak-balik Perancis-Belanda hanya untuk saling bertemu dan berdiskusi tentang segala hal, mulai dari ilmu hukum, filsafat, hingga impian dan cita-cita. Tak jarang pula perdebatan mereka berakhir di atas tempat tidur. Namun semua itu harus bubar ketika Ardhi bersikeras pulang ke Jakarta dan Puspa memaksa menetap di Paris.

Sketsa HarianWhere stories live. Discover now