[JungCath] Karena

218 12 68
                                        

Author butuh pasangan sinetron ini buat ngelancarin mood nulis. Deal with it. XD

.

.

.

Sepanjang hari, Catherine lebih banyak diam sementara Tanjung mondar-mandir di seluruh sisi barat rumah keluarga Jati untuk mengeluarkan tumpukan berkas yang dikirimkan Puspa selama hampir tigapuluh tahun. Berkas-berkas tersebut berisi petunjuk yang ia temukan tentang Jason dan organisasi rahasia yang diselidiki sang bibi. Lelaki itu bahkan tidak memercayakan pelayan untuk memindahkan dokumen tersebut -- ia menggotongnya sendiri dari ruang kerjanya dan gudangnya ke dalam kamar. 

Catherine mengetahui semua berkas tersebut. Ia sudah pernah mempelajarinya berkali-kali bersama Tanjung, meneliti kata demi kata, menghubungi nama-nama yang tertera di sana, tanpa membuahkan hasil. Ia paham rasanya berharap. Harapan itu bagaikan terangkat oleh sayap yang membawanya tinggi ke langit, lalu membantingnya ke bumi. Berkali-kali, hingga ia hancur berkeping-keping, dan hatinya tak lagi berani berharap. Namun melihat Tanjung begitu bersemangat, ia terpicu menyalakan api harapan itu kembali. 

Sambil menekuk kakinya di atas sofa di dekat jendela yang memamerkan pemandangan taman belakang pribadi keluarga Jati, ia mengamati Tanjung yang sedang duduk di karpet putih yang melapisi lantai kamarnya, mengeluarkan kertas-kertas dari kardus. Tanjung sempat mengajaknya memeriksa dokumen itu bersama-sama, tetapi Catherine menolaknya. Katanya biarlah ia duduk di sana, supaya tidak mengganggu jalannya Tanjung. 

"Aku istirahat dulu, deh," ujar Tanjung sambil merebahkan dirinya di sebelah Catherine, lalu meluruskan kakinya di sisi panjang sofa yang berbentuk L. 

"Udah dapet apa aja?" tanya Catherine. 

"Aku kumpulkan berkas-berkas yang menurutku relevan dengan pencarian Jason. Sekarang dengan berkas terbaru dari Puspa, aku bisa mengerucutkan mana yang benar-benar relevan, dan mana yang false positive." 

Catherine mengangguk. 

Tanjung memejamkan matanya. Wajahnya sangat tenang dan datar, tanpa ekspresi. Namun itu hanya berlangsung beberapa menit. Ketika lelaki itu membuka matanya, ia menatap Catherine yang masih memandanginya. Ia segera mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. 

"Nanti kamu tinggal di sini aja, ya, Cath? Supaya lebih praktis, aku nggak usah jemput kamu terus kalau mau diskusi."

Catherine baru ingat, mata mantan suaminya itu besar, jernih, dan lancip di ujungnya seperti kacang almond. Usia tak memudarkan keindahannya. Dalam hati, ia merutuki jantungnya yang berdebar tak karuan -- ya, seperti ABG labil. Untunglah ia masih sanggup mempertahankan ketenangannya.

"Di rumah ini? Atau di kamar ini?" 

Tanjung tersenyum tipis. "Di rumah ini. Kalau soal kamar, terserah kamu, sih, Cath. Mau di kamar tamu silakan, mau di sini aku lebih senang." 

Catherine menghela napas. "Baiklah, aku menyerah, Jung." 

"Menyerah apa, Sayang?" 

"Kamu tahu aku bersikap dingin terhadapmu supaya pertahanan diriku nggak runtuh." 

"I understand, darling."

"Kamu tahu aku masih mencintaimu." 

Kali ini Tanjung tidak menjawab. Catherine melihat tenggorokan pria itu tercekat. Dadanya naik turun, menunjukkan bahwa ia sedang mengatur napasnya. Tanjung mengalihkan pandangannya dari wajah mantan istrinya, untuk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. 

Beberapa detik kemudian, lelaki itu kembali membuka suara. "Jadi kita berdamai?" 

"Setuju," balas Catherine sambil mengulurkan tangannya. 

Sketsa HarianWhere stories live. Discover now