Acht

920 121 23
                                    

"Hoon, udah jam set enam." Interupsi Guanlin ketika Jihoon tengah terlarut dalam obrolan seru bersama sepupunya itu.

Woojin spontan menatap Guanlin tajam. "Kita lagi asyik ngobrol." Lalu Woojin mengusir Guanlin dengan gerakan tangannya.

Bukannya pergi, Guanlin menyelipkan kedua tangannya di antara ketiak Jihoon dan mengangkatnya berdiri. "Besok sekolah, Hoon."

Jihoon menatap Guanlin dengan pandangan memelas. Guanlin segera memalingkan wajahnya agar tidak terberdaya oleh tatapan maut seorang Park Jihoon.

"Kata lu mau berubah jadi yang lebih baik lagi?"

Jihoon menggembungkan pipinya lalu mendenguskan nafasnya kesal. "Jin, gue balik ya."

"Yhaaaaaaaaaaaaa" ujar Woojin panjang lalu dicubit bundanya karena 'yha' nya terlalu panjang.

"Kalian enggak makan dulu?" Tanya wanita itu.

Walau lapar, Jihoon memutuskan untuk menggeleng kecil karena Guanlin sudah sedari tadi memaksa pulang. Tapi, di luar dugaan Guanlin mengangguk dengan semangat. Jadilah, mereka berdua baru menaiki bus ketika jam menunjukkan enam lewat.

"Dasar tukang makan." Hina Jihoon saat mereka sudah duduk mantap di bus pertama.

"Malaikat juga bisa laper." Guanlin memamerkan cengirannya. "Setelah makan bebek tadi, gue jadi pengen makan ayam."

"Baru juga makan, Lin. Masa lu udah laper lagi?"

"Ya, serius. Gue tiba-tiba pengen makan ayam. Beli ayam yok kita."

Jihoon memutar matanya lagi melihat sifat Guanlin yang menurutnya kekanak-kanakan. Lalu terbesit sebuah pertanyaan dalam benak Jihoon. "Eh ngomong-ngomong umur lu berapa sih?"

Guanlin diem.

Umur ya? Tentu saja gue hafal umur gue, karena tiap tahun, sejak dulu, selalu gue yang naruh lilin angka di atas kue, meniupnya, lalu memakan kuenya seorang diri. Selalu begitu setiap tahun, kenapa gue ga pernah bosen ya. Dan kenapa gue masih berharap suatu hari nanti gue bakal ngerayainnya bersama seseorang. Karena perasaan kesepian ini udah terlalu nyiksa gue.

"Oy Lin! Jangan kacangin gue goblok!" Jihoon menjambak rambut Guanlin kuat-kuat, dia kesal melihat ekspresi Guanlin yang tiba-tiba melukiskan perasaan kebiruan yang mendalam.

Guanlin tersadar akan lamunannya lalu spontan menjawab cepat. "Ah, iya, gue udah jadi malaikat maut 10 tahun-an semenjak gue pertama kali mati. Tahun ini gue 26 tahun."

Jihoon cekikikan melihat reaksi spontan Guanlin. "Berarti pas lu mati kira-kira 16 tahun kan umur lu?"

Guanlin mengangguk.

"Lu mesti panggil gue hyung kalo gitu!" Jihoon membusungkan dadanya bangga dengan senyum puas terukir jelas di wajahnya.

Guanlin balas tersenyum melihat pemuda di sampingnya yang bahagia hanya karena hal sepele seperti itu. Perlahan, Guanlin melupakan kilasan ketika Jihoon menitikkan air matanya tadi pagi. Guanlin mengacak rambut Jihoon, "Oke, oppa." Guanlin tersenyum hangat ketika mata mereka berdua bertemu.

Jihoon merasakan pipinya sudah sepanas mentari tengah hari. Jantungnya memompa darah terlalu cepat, membuat telinganya bahkan ikut memerah. "E.... Eh, tadi Woojin cerita... Cerita apa ya.... Oh iya, dia tadi cerita kalo dia udah punya pacar, lho." Jihoon segera mengalihkan topik sebelum jantungnya meledak akibat deg-degan yang makin tidak terkondisikan.

"Pake pelet apaan tuh?" Celetuk Guanlin spontan. Jihoon menghembuskan nafas lega karena Guanlin menanggapinya, Jihoon juga ikut tertawa mendengar celetukan dari tukang makan itu.

"Gue juga ga nyangka anak dekil macem dia ada juga yang suka. Mana dia bilang pacarnya itu cute dan hobi aegyo banget. Peletnya mujarab banget, gue pengen beli juga masa." Jihoon perlahan larut dalam obrolan.

"Terus cute dia apa hyung?"

"Gue mah kagak cute. Gue manly." Guanlin menahan tawanya ketika Jihoon mengucapkan bagian ini. "Woojin kagak bagi-bagi foto, bahkan namanya pun kagak dia kasih tau. Katanya pacarnya satu sekolahan ama gue, nah ntar kalo lagi libur panjang nanti gue mau dikenalin sama pacar Woojin."

Guanlin mengangguk-angguk.

Jihoon bercerita banyak hal hingga pantat mereka berdua sudah terduduk di bus terakhir, perlahan Park Jihoon mulai kehilangan tenaganya. Dia tertidur. Namun kali ini, dia tak lagi menjadikan jendela sebagai tempat dia bersender. Tanpa ragu, ia menyenderkan kepalanya di bahu Guanlin.

Setelah bus sampai di tujuan pun, Guanlin tidak tega membangunkan Jihoon dari mimpi kecilnya. Ia menggendong Jihoon dari terminal hingga ke atas kasurnya. Setelah itu Guanlin tidak tidur, matanya sibuk mengawasi Jihoon, takut melihat Jihoon kembali menitikkan cairan bening dari kedua matanya.

Matahari perlahan naik ke permukaan, Guanlin segera membangunkan pemuda yang tertidur pulas itu khawatir dia akan terlambat lagi. "Good morning, Cinderella." Sapa Guanlin ketika Jihoon membuka matanya keesokan paginya.

"Gila, jam berapa ini?" Jihoon mengusap kedua matanya. Dia bahkan lupa jam berapa sebenarnya dia tertidur semalam. "Apaan dih, Cinderella???????"

"Gue juga baru kepikiran semalem. Hyung mirip banget sama Putri Abu yang lagi nunggu undangan pesta dansa dari pangeran."

Jihoon mendorong muka Guanlin yang mulai terlalu dekat dengannya. "Apasih, jangan ajak gue ngomong hal berat pagi-pagi gini dong." Jihoon lalu turun dari kasurnya dan menggeret kaknya memaksakan diri untuk mandi.

"Lu gak mau pamit sama mama lu gitu?" Guanlin memiringkan kepalanya heran ketika Jihoon sudah akan meninggalkan rumahnya.

Pemuda bersurai coklat itu menggeleng, membuat rambutnya bergoyang-goyang lucu diterpa angin. "Palingan gue langsung ditaboknya kalo gue berani nampakin diri di depan dia."

Guanlin merasa salah bicara karena energi positif dari wajah Jihoon perlahan memudar kembali. "Sarapannya gimana, Putri Abu?"

Guanlin merasa puas karena ekspresi menyedihkan itu telah berganti dengan ekspresi kesal. "Gak. Ntar makan di kantin. Bye."

Guanlin tertawa perlahan. Setelah dia rasa Jihoon sudah jauh, ekspresi Guanlin berubah menjadi rasa khawatir yang tak bisa disembunyikan lagi. Semalem hyung tidurnya gak tenang, gue khawatir. Apa ini soal Younggie itu?

Sementara itu Jihoon sedang mangkal di depan gerbang. Saat seorang Ahn Hyungseob lewat di depannya, dia langsung menarik tangan Hyungseob keras mengabaikan Euiwoong yang tadi berjalan bersama Hyungseob. Jihoon menyeret Hyungseob hingga ke lorong sepi di area terlarang sekolah. Dia lalu menghempaskan Hyungseob begitu saja.

"Gimana sehari tanpa gue?" Jihoon menendang dinding di belakang Hyungseob. Hampir saja tendangan pemuda itu mengenai wajahnya.

Lebam-lebam di tubuh Hyungseob yang sebenarnya sudah sembuh, mulai terasa nyeri lagi.

"Jawab jujur lo, gimana perasaan lo pas gue gak ada? Pasti seneng banget kan lo? Ngaku deh! But guess what bitch, I'm back!" Jihoon mendekatkan wajahnya ke arah Hyungseob hingga mata mereka terkunci. "Dan gue laper banget nih."

Setelah selesai misinya memalak anak paling lemah itu, Jihoon mengusir pemuda itu. Hyungseob langsung berlari kencang tanpa menoleh lagi, bahkan sampai menabrak guru.

Jihoon sekarang berniat bolos pelajaran. Tentu saja menuju warteg di luar sekolah yang relatif lebih murah. Namun belum juga dia meninggalkan tempat tadi, tiba-tiba tasnya menjadi sangat berat. Jihoon menoleh ke belakang dan nampaklah disana seorang Kang Daniel tengah menarik bagian belakang tas Jihoon dengan kasar.

"Park Jihoon, Bapak mau bicara."

Ah. Fuck.

[✔] [i] [Park Jihoon] || CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang