Eenentwintig

589 98 30
                                    

Bulan telah lama tergantung di lelangitan. Hari ini cukup melelahkan baik bagi fisik maupun mental keduanya. Ratusan menit sudah lewat semenjak Guanlin terlelap di lantai yang dilapisi sebuah karpet tipis seadanya. Sebelum Guanlin terbuai mimpi, Jihoon sudah berulang kali memaksa makhluk blasteran itu untuk tidur di sampingnya, namun dasar keras kepala, Guanlin dengan tegas menolak.

"Hyung lu kan mingdep udah mau merantau. Jauh pula. Gimana kalo lu sakit di tengah perjalanan? Gue yang cemas!" Alasan itulah yang dikemukakan Guanlin sambil beradu argumen dengan seorang Park Jihoon.

Jihoon menggembungkan pipinya. "Sok banget bahasa lu, "merantau". Pindah sekolah woy! Lebay banget ish. Lagian gue juga ga bakal sakit cuma gara-gara tidur sekasur sama elu!"

Guanlin balas nyolot tidak mau kalah. "Ya lu tau sendiri kan, Hyung, kasur lu ga sebegitu gede, kalo elu kejepit karena gue tidurnya gak mantep gimana? Terus entar lu encok. Terus entar lu sakit-sakitan. Terus entar lu jalannya bungkuk. Terus entar lu ngga cantik lagi."

Jihoon memukul mulut pria itu. "Iya iya iya, berisik! Ya udah serah lu! Sana tidur di lantai! Sing waras ngalah!"

Tepat setelah merebahkan tubuhnya di atas karpet, Guanlin tertidur begitu saja. Jihoon heran sekaligus geli melihat Guanlin yang tak jauh bedanya dari seekor panda.

Dua jam berlalu semenjak tertidurnya Guanlin, Jihoon masih belum bisa berdamai dengan tubuhnya. Dia lelah, namun otaknya masih asyik berpikir dalam keheningan malam.

Perasaan menyesakkan ini masih tersisa di relungnya. Bukan, bukan karena perasaan guilty nya kepada Hyungseob. Namun sesuatu yang lebih menyesakkan lagi. Ia kembali terbayang sosok yang menghalangi tidurnya malam itu, yang tak lain adalah ibu kandungnya sendiri.

Jihoon tak habis pikir mengapa sampai sekarang ia masih belum berinteraksi dengan Mrs. Park. Bahkan saling melemparkan cacian pun tidak. Pemuda itu tentu saja tidak rela pergi meninggalkan ibunya sebelum berdamai dengan beliau. Maka itu sampai sekarang Jihoon belum bisa terlelap karena memikirkan cara untuk meminta maaf dengan ibunya.

Kelihatannya memang sederhana. Namun sebenarnya ini bahkan lebih rumit dari itu. Bayangkan, dia sudah perang dingin dengan ibunya selama tiga atau empat tahun, lalu tiba-tiba saja dia harus meminta maaf kepada ibunya. Bukannya itu aneh? Bodohnya, gengsi anak berumur tujuh belas tahun itu terlalu besar membuatnya makin enggan bertegur sapa dengan ibunya.

"Ah. Sial!" Jihoon menggaruk kepalanya kasar dengan tangan sibuk memainkan telepon genggamnya.

Oke google, gimana cara maafan sama ibu kandung sendiri yang udah kita musuhin selama empat tahun?

-----

Jihoon menggeram kesal karena sejak tadi ponselnya asyik bergoyang mendendangkan lagu Sambalado nya Kayu Ting Ting. "Kerjaannya si tiang ini pasti." Keluhnya sambil menatap oknum tersebut yang masih tertidur pulas di bawah. Sebegitu lelahnya kah Guanlin sampai-sampai nada dering Jihoon tak bisa membangunkannya.

Masih mengabaikan ponselnya, Jihoon menatap jam yang menunjukkan pukul sebelas. Hari ini pun Jihoon kembali bolos sekolah. Dia sudah menyerah dengan kehidupan sekolahnya yang tak bisa diperjuangkan lagi. Jihoon toh sebentar lagi juga akan meninggalkan sekolahnya.

Karena jengah dengan teleponnya yang tidak mau diam, Jihoon langsung mengangkat telponnya dan membentak orang di seberang sana bahkan tanpa melihat nomor yang meneleponnya.

"YEU ANJING GA USAH SPAM TELPON BISA GA SIH?! NTAR GUE ANGKAT JUGA BLEGUG!"

Terdengar tawa renyah dengan suara khas dari ujung sana. "Sumpah deh, lu kagak berubah ya, Hoon."

[✔] [i] [Park Jihoon] || CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang