Veertien

638 103 15
                                    

A Day Before "Midnight"

Daniel menatap Jihoon lama sekali. Tatapannya tak jauh bagai sebuah jurang. Sangat dalam. Jihoon yang ditatap merasa sangat tak nyaman, ia memalingkan pandangannya dari guru BK tersebut.

"Hoon." Bibir Daniel perlahan mengucap membuat pemuda tujuh belas tahun itu semakin menyembunyikan wajahnya dari pandangan.

Terdengar helaan pelan dari seorang Kang Daniel. Udara di sekitar Jihoon perlahan berubah dingin. Walau begitu, keringat tetap mengalir dengan derasnya dari pelipis pemuda itu.

"Maaf. Gue gak bisa."

Hati Jihoon mencelos. Jihoon buru-buru memunggungi Daniel, ia memeluk kedua lututnya. Tentu saja. Dia sudah menduga akan ditolak oleh pria impiannya. Kang Daniel itu bagaikan pangeran yang hidup dalam segala kemewahannya. Hidup yang sempurna, disukai banyak orang, bahkan mungkin, Daniel sudah memiliki princess nya.

Apalah daya Jihoon. Dia tidak kaya, dengan keluarga yang kacau. Tambahan, dalam hitungan bulan Jihoon akan menemui ajalnya. Walau mati lalu bereinkarnasi ribuan kali pun, Jihoon tak akan pernah sinkron untuk bersamanya.

Jihoon menggigit bibir bawahnya mencoba bertahan untuk tak membocorkan bendungan kecilnya. Dari belakang, Daniel dapat melihat tubuh kecil Jihoon bergetar.

Daniel memeluk peri kecilnya itu. "Maaf. Gue gak bisa nolak maksudnya."

Jihoon mengangkat wajahnya, ia menoleh ke belakang mendapati tubuh besar Daniel tengah merengkuh tubuhnya dari belakang. Daniel memamerkan senyuman khasnya, yang mari kita berharap bukan sebuah senyum palsu.

"Kakak,, serius?"

Daniel mengangguk pelan. Lalu mencium surai coklat milik Jihoon. "Iya Hoon. Elu milik gue, gue milik elu."

Kini Jihoon sudah tak kuasa menahan tangisannya. Air mata bahagia mengalir dengan derasnya dari kedua kelopak mata pemuda kecil tersebut.

"Terima kasih, Kak."

-----

Guanlin berkacak pinggang kesal saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih ketika Jihoon baru sampai di ruangan mungilnya.

"Apasih Lin." Jihoon menatap gusar pemuda tersebut.

Namun Guanlin hanya memalingkan pandangan ogah malas melontarkan jawaban.

"Iya, iya, sorry. Gue tau gue punya jam malem. Tapi ayolah, gue udah tujuh belas, masa gue ga boleh pulang larut."

Guanlin acuh tak acuh dengan ucapan Jihoon. Ia masih bungkam dalam fase ngambeknya.

Kalau sudah begini, Jihoon tahu bagaimana cara menjinakkannya.

"Lin."

"Guanlin."

"Lai Guanlin!" Panggil Jihoon berulang-ulang hingga akhirnya pemuda tersebut menoleh ke arah Jihoon. Saat mata keduanya bertemu, Jihoon mengangkat tangannya. Menunjukkan sebuah kantong plastik dengan merk restoran terkenal. Iya, sebelum pulang tadi, Jihoon mampir sejenak ke restoran di dekat rumahnya. Membeli ayam goreng untuk makhluk rakus itu.

Guanlin terpancing dengan mudahnya. Dan dalam sekejap kemudian, sekarang mereka berdua sudah duduk di lantai menikmati ayam mereka.

"Jadi, kenapa lu ngambek gitu?" Jihoon membuka percakapan.

"Hoon, gue gak suka liat lu balik malem-malem. Tau gak kalo lu tu manis banget."

"Iya makasih." Potong Jihoon sekenanya.

Guanlin menatap datar manusia di depannya itu. "Jangan dipotong dulu! Apalagi sama Daniel. Gue, ya, gak suka aja."

Jihoon menatap Guanlin lama. "Lu cemburu?"

[✔] [i] [Park Jihoon] || CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang