Negentien

587 102 22
                                    

Air mata Jihoon kini mengering sudah. Ia sekarang sedang berdiri di ruang kecilnya dengan pisau dapur tergenggam lurus di tangannya. Jam masih menunjukkan pukul satu kurang, ibunya mungkin belum akan pulang sampai sore nanti. Jadi Jihoon pikir inilah saat yang paling tepat.

Nadi?

Leher?

Jihoon bingung organ tubuh mana yang akan membuatnya mati dengan lebih cepat.

Leher!

Setelah lama berpikir Jihoon sudah mentapkan pilihannya. Namun mengapa tangannya berat? Walau otaknya sudah menyerah, namun ini seolah-olah hatinya ingin menghentikannya. Keringat dingin mengalir pelan dari kulit bagian lengannya.

Tentu saja.

Seberat apapun hidup, dia tak akan punya keberanian sebesar itu untuk segera mengakhirinya. Bahkan saat di atap itu pun, sama seperti Euiwoong, Jihoon tau jika ia melompat dari sana akan ada rimbunan semak pepohonan yang menahan gerak jatuhnya sehingga dia hanya akan tak sadarkan diri sebentar. Tapi, jika dia hidup pun memangnya masih ada yang akan menerimanya. Semua orang kini membencinya dan mengecapnya sebagai seorang pembunuh. Bagaimana mungkin ia masih bisa bertahan hidup?

Saat Jihoon masih terjebak di antara kodisi hidup segan mati tak mau, terdengar jeritan keras dari bawah.

"JIHOOON!!! Are you upstairs???"

Jihoon tak akan pernah membiarkan mamtan ayah tirinya melihat wajah menangis pemuda itu. Maka, ketika mendengar jeritan Tuan Bae dari bawah sana, Jihoon segera membuka jendela kamarnya. Dari jendela itu ia memanjat turun dari dahan-dahan pohon yang memanjang hingga menyentuh jendelanya.

Saat hampir sampai di dataran, Jihoon yang gugup tak sengaja menginjak dahan rapuh, membuatnya terjatuh menghempas tanah. Namun hanya badannya saja yang mengenai tanah, kepala Jihoon jatuh menyerempet batu tumpul di bawah sana. Ia tak sadarkan diri. Tak cukup begitu saja, Jihoon jatuh di dataran yang mencuram tajam ke bawah.

Tubuh tak sadarkan diri itu berguling dengan cepatnya ke bawah. Entah kemana.

-----

Guanlin mendecih kesal. Entah karena sudah lama terkurung di penjara sialan itu atau memang dia yang tidak fokus, bukannya membawa pemuda itu tepat ke depan rumah Park Jihoon, kemampuan teleportasinya malah meninggalkannya begitu saja di daerah terpencil berkilometer jauhnya dari cintanya itu.

Guanlin sampai harus berganti bus tiga kali dan tersesat berkali-kali untuk akhirnya sampai di stasiun terdekat dari rumah Jihoon. Ditambah lagi dia sampai harus tersesat lumayan lama, membuatnya baru sampai di kediaman kecil milik Jihoon tepat selepas petang.

Makhluk keturunan Taipei itu mengusap peluhnya. Kekagetannya tak cukup sampai disitu karena kini dia melihat beberapa rombongan polisi di depan sana. Berseragam lengkap dan sama satu dengan yang lainnya. Terlihat seorang pria dengan setelan yang berbeda di antara kawanan polisi tersebut. Guanlin memutuskan untuk mendekatinya.

"Permisi, Om, ini kenapa ya?" Guanlin bertanya perlahan dengan harapan cemas semoga ini bukan karena Jihoon akan dibawa ke bui atau sejenisnya.

"Kalau saya boleh tahu, anda siapa ya?" Guanlin tidak suka jika pertanyaannya dibalas pertanyaan juga, tapi okelah dia memberikan pengecualian untuk pria akhir 40 satu ini.

"Saya Lai Guanlin, saya teman anak pemilik rumah ini."

"Oh temannya Nak Jihoon." Pria itu mengangguk paham. Dia menghela napas kasar lalu menatap Guanlin dalam. "Listen kid, saya sarankan lebih baik kamu menjauh dari Jihoon mulai dari sekarang."

[✔] [i] [Park Jihoon] || CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang