Prolog

79 8 3
                                    

Pagi itu terasa sangat panas entah mengapa. Sebuah sekolah dikawasan Centrals tepatnya di negara tak bernama terlihat terbakar oleh matahari yang tak henti-hentinya menyombongkan sinarnya. Kelas dengan 2 ac yang seharusnya dingin berubah menjadi sepanas neraka. Dengan buku ditangan masing-masing dijadikan kipas, murid kelas 11A masih fokus (sepertinya) pada pelajaran yang sedang dijelaskan guru mereka, bu Mitha.

"Gila panas banget ya pagi ini! Padahalkan pagi-pagi biasanya seger gitu!" sahut Dewi dari bangku tengah sambil mengipas-ngipaskan buku miliknya. "Ia gak biasanya dew" sambar Dheya dari sorong kanan Dewi.

Bu Mitha yang sedang menerangkan pelajaran didepan papan tulis tiba-tiba duduk. "Kok panas ya kelas ini?" ucapnya sambil mengeluarkan kipas lipat miliknya. Seisi kelas tiba-tiba rusuh. Entah protes karena panas atau sibuk becanda. "Eh tapi kalian harus waspada loh, biasanya kalo panas-panas gini tandanya mau kiamat" canda guru itu sambil tertawa.

"Wah jangan bu! Masa udah kiamat aja" sahut Ronald sang ketua kelas. "Ia bu kalo kiamat ntar malem gak bisa liat matahari dong!" Juan menyambar. Seisi kelas makin ribut karena tertawa. "Lu aja kali wan yang gak bisa liat matahari malem-malem!" Mela memprotes ucapan Juan.

"Apasih Mela, protes bae" Akmal ikut campur. Bu Mitha yang seharusnya menyuruh diam malah ikut tertawa. "Kalian nih ada-ada aja ya! Masa malem-malem kalian mau liat matahari" ucap guru itu sambil geleng-geleng kepala.

"Eh awas loh ntar malem bakal gelap!" Arif ikut melawak. "Dih Arif garing banget dah" Shally meledek. "Apaan Ly? Garing?" Zahra dari bangku belakang menyambar. "Ia Ra GARING" ucap Shally lagi menekan kata garing.

"Ly kalo suka sama Arif bilang aja kali gak usah pake ledek-ledekan" sahut Agnes dari bangku pojok. "Dih apaan sih Agnes gak jelas nih" Shally menyudahi becandanya dengan pura-pura menulis.

"Udah becandanya?" ucap bu Mitha didepan dengan nada ketus. Anehnya walaupun suara bu Mitha pelan, namun semua anak langsung diam. "Kalian nih malah bikin kelas makin panas tau gak?" marahnya lagi sambil kembali menulis dipapan tulis.

"Sttt brisik banget dah pada!" Reza yang tidak ikut campur mulai marah. "Apaan sih Rez? Situ juga tadi berisik!" Gangga menyambar. Reza hanya menatap Gangga sekilas lalu tak memperdulikan ucapannya lagi.

"Nanti gue bom mulut lu Gang!" ucap Reza asal asalan. Gangga tak mau kalah "Yeh Rez, jaman sekarang mana ada bom sih? Aneh"

Duarrr *#*#*#*

Suara ledakan bom disertai getaran dahsyat tersebut mampu membuat semua murid diam. Semua memasang tampang panik dan takut. "Bu, itu tadi suara apa ya?" tanya Lusi sambil menahan nafasnya karena tegang. Guru yang seharusnya menenangkan murid-muridnya malah ikut panik. Ia terus-terus menarik nafasnya.

"Laki-laki 4 orang iku ibu lihat keadaan diluar" kata guru tersebut. Awalnya tak ada satupun anak yang berani melangkahkan kakinya. Namun..

"Arif, Ender, Haris" panggil Reza kepada ketiga temannya untuk ikut keluar dengan bu Mitha. Yang namanya dipanggil Reza malah saling tatap sampai akhirnya mereka mengikuti kata Reza.

Keempat murid pemberani serta guru bertanggung jawab tersebut langsung melangkah keluar kelas. Walau terlihat yakin, hati mereka sebenarnya ragu. Gagang pintu mulai terbuka. Murid yang didalam langsung bergabung di pojok kelas atas perintah Ronald.

Mereka satu persatu keluar dengan waspada. Pintu ditutup sangat halus sehingga tak ada sedikitpun suara yang dihasilkan.

Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor

"IBU MITHA!" teriak semua murid didalam kelas.

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang