14.

35 6 17
                                    

"Lu mau apa? Minum? Haus gak?" Lusi mengusap pelan pundak Dewi. Setelah siuman, ia langsung mendudukan Dewi dan menyandarkannya ke tembok kosong. Sayang perlengkapan medis disini kurang memadai, tak ada sedikitpun kotak p3k. Padahal, p3k adalah hal yang penting untuk menghadapi situasi seperti ini terutapa situasi yang tak terduga.

"Gua gak papa kok, gausah khawatir" Dewi tersenyum. Lusi menghela nafasnya dan pasrah, sejak tadi ia tak menemukan jawaban apa-apa dari Dewi selain kata 'tidak apa-apa'. Padahal jelas, ia pingsan 2 jam, tapi ia masih bilang tak apa-apa. "Eh Dewi udah sadar!" Pinkkan datang dengan senyuman meledek. Ia menenteng senjatanya dengan bangganya.

"Itu Armatix iP1? Waw, keren" suasana merenung Dewi berubah saat melihat senjata yang dibawa Pinkkan. "Gak tau deh namanya, tapi pokonya itu senjata paling keren yang gua liat. Jadi, ya gua ambil" senyumannya tambah lebar. Ia menyerahkan senjatanya untuk dilihat dan diterawang oleh Dewi yang mungkin sedikit lebih berpengalaman dengan senjata api.

Dewi menerimanya, ia menatap seluk beluk senjata itu dengan detail. Seakan tak ingin kehilangan satu titik saja dari senjata itu. Armatix iP1, ya, dia memang pernah melihat rupa dari senjata itu sebelumnya dari konsol game yang sering ia mainkan.

"Pilihan lu keren" Dewi menyerahkan kembali senjata itu ke Pinkkan dan memberikan dua jempol. "Iya dong hehehe. Eh, lu belum nemu senjata kan? Mau gua bantuin cari gak?" Pinkkan menyombong. Lusi yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya.

"Lu itu sama Dewi kalau masalah senjata jelas lebih pro Dewi lah, sok-sokan mau nemenin" Lusi meninggalkan mereka berdua tanpa menunggu reaksi Pinkkan. "Udah sabar aja," Dewi menahan Pinkkan yang sudah berdiri bersiap mengejar Lusi. Pinkkan pasrah dan kembali duduk menemani Dewi.

----------
----------

"Dew," sapa Dheya dan Zahra bersamaan saat melihat Dewi berjalan menghampirinya. "Ya? Kalian lagi apa?" Dewi menyentuh berbagai senapan di rak. "Lagi cari-cari senjata aja. Kebetuan gua udah dapet," Dheya tersenyum licik sambil menyerahkan senapannya untuk di terawang oleh Dewi. "HK-416, cool. 850 peluru permenit, mampu berfungsi di segala medan, keunggulan Amerika. Nih," Dewi menyerahkan kembali senapan tersebut ke Dheya.

Awalnya Dheya tak ingin menerimanya, namun dengan berat hati akhirnya ia mengambilnya dan menggantungkannya dipundak. "Kenapa? Kok ragu?" Dewi mengangkat sebelah alisnya. "Gua takut pas denger tadi kalau senapan ini bisa nembak 850 peluru permenit" Dheya mengerutkan alisnya dan menunduk.

"Tenang aja, kita gak bakal kenapa-kenapa kok. Gausah takut, kita kan saling ngelindungin" Zahra menepuk pundak Dheya.

Dheya tersenyum dan mengangguk. "Biasanya sih, di era peperangan kaya gini kalau ada gudang senjata pasti ada tempat latihan menembak. Gimana kalau kita cari tempatnya? Siapatau aja beneran ada kan?" Dewi menatap Zahra dan Dheya bergantian, berharap jawaban dari mulut keduanya.

Awalnya keduanya saling tatap sebelum mengiyakan pertanyaan Dewi. Dipimpin oleh Dewi, ketiganya menyusuri gudang tersebut sambil sesekali berbincang tentang banyak hak. "Hmm, kalau seandainya kita berhasil itu tandanya sama aja kan" keduanya menengok ke Dheya atas ucapannya yang tak jelas.

"Maksudnya?" Zahra menendang angin, bukan kesal, tapi bosan. "Ya gitu, seandainya kita menang dari perang atau pemberontakan ini ya sama aja kaya kita kalah, kita udah gak punya apa-apa lagi buat kita pertaruhin terutama keluarga kan?" ia menjelaskan dengan tatapan kebawah.

"Setidaknya, walau kita udah gak punya apa-apa lagi, kita masih bisa pertaruhin satu sama lain kan. Jangan negatif dulu, habis penyerbuan selesai, kita harus kumpul lagi, tinggal bareng, atau setidaknya main bareng. Itu wajib, kita kan udah berjuang sama-sama, jangan sampe salah satu dari kita ngerasa sendiri karena gak punya apa-apa lagi, nasib kita kan sama karena itu kita harus saling melengkapi biar gak ada yang ngerasa sendirian lagi" Dewi menjelaskan panjang lebar.

Zahra tertawa pelan, ia meledek Dheya. "Iya tuh dengerin, lu kelamaan jomblo sih jadi ngerasa sendiri mulu sampe lupa kalau ada kita!" Ia mendorong pelan pundak Dheya.

Dheya menghela nafas kesal dan melipat tangannya di dada. Pandangannya ia arahkan ke kiri jalan, tak ada apapun selain rak senjata dan, tunggu, itu kan..

---------------------

Itu apa hayo?
Hihihihi penasaran yak, sabar, orang sabar disayang author #plak

Yasudah gtu aja dari author, BYE!!

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang