6.

28 6 0
                                    

"Kita harus nemuin pohonan, atau hutan untuk membuat senjata. Paling enggak bambu runcing. Kita bawa benda yang tajam dari sisa reruntuhan ini buat alat memotong. Di dalam hutan, dijamin kita selamat. Karena disana pasti tersedia makanan, dan pemberontak juga gak akan berani masuk wilayah asing kayak hutan"

Semua mengangguk, seolah paham dengan apa yang dibicarakan oleh Dewi. Jangan tanya darimana saja ia tahu segala hal tentang peperangan. Ia adalah anak yang jarang keluar rumah, dirumahpun ia jarang keluar kamar. Ia selalu membaca atau menonton film berbagai genre sehingga membuatnya tahu akan banyak hal. Tapi kelemahannya cuma satu, kalau biasanya ia hanya menonton atau membaca, kali ini ia harus menerapkannya di medan perang sungguhan.

"Sekarang jam berapa?" tanya Zahra. Satu-satunya orang yang membawa jam disini adalah Lusi. "Jam 11," ia melirik jam miliknya sejenak. "Oke, kalo gitu kita berangkat sekitar jam 12. Pemberontak gak akan patroli saat jam makan siang kan" Sabrina yang terpintar diantara mereka mengusulkan.

"Lebih baik kita pakai waktu satu jam ini buat cari senjata. Siapa tau diantara reruntuhan ini ada yang bisa dipakai" Shally akhirnya angkat bicara. Beberapa temannya langsung mengiyakan dan berpencar. Disana tinggal tersisa Gisel, Shally dan Dewi.

"Maafin gua tadi ya, gua tau gua egois kok. Gua janji ini semua gak akan sia-sia" Dewi tersenyum kearah Shally. Shally yang duduk cukup jauh terlihat meresponnya dengan mengangguk. Kemudian ia pergi untuk mencari senjata seperti teman lainnya. Disana tinggal tersisa Dewi dan Gisel. Mereka berdua saling tatap, Gisel nampak khawatir.

"Tenang, gua akan tetap disini jagain lo" ucap Dewi seakan bisa membaca pikiran Gisel. Tatapan Gisel yang awanya khawatir langsung tenang mendengar jawban Dewi.

----------
----------

Tepat di jam 12, semua sudah kembali berkumpul di gundukan. Masing-masjng dari mereka membawa senjata. Lusi dan Pinkkan beruntung karena menemukan sebatang besi kuat yang memiliki ujung runcing layaknya linggis. Sementara Zahra, Sabrina, Dheya, dan Shally hanya mendapat kayu tebal dari reruntuhan. Dan Windy mendapat sebuah pisau entah darimana.

Zahra melempar salah satu kayu yang ia pegang kearah Dewi. Dengan refleks Dewi menangkapnya dan tersenyum kearah Zahra. "Terima kasih" ucapnya. Shally menyerahkan salah satu kayunya untuk Gisel. Ia berharap Gisel tak terlalu berharap dilindungi oleh mereka semua, ia ingin Gisel mandiri dan melindungi diri sendiri dari senjata yang ia kasih.

"Ayo kita jalan," Sabrina memimpin. Yang lain mengikutinya dengan jarak yang tak jauh. Shally selalu berada di dekat Gisel, sedangkan Dewi berada jauh dibelakang. Memang berbahaya, tapi ia suka dengan sensasi ini. Sensasi berperang di medan tempur sebenaenya dengan senjata seadanya.

Sepanjang perjalanan, beberapa dari mereka ada yang mendapat senjata lebih baik. Bahkan Dheya menemukan sebuah pistol, sayangnya peluru didalamnya kosong. Mereka terus berjalan ke arah barat, berharap menemukan hutan. Kehausan dan kelaparan melanda. Keringat akibat panasnya matahari menetes disana sini. Waktu sudah menujukkan jam 3 sore, itu tandanya sudah 3 jam mereka berjalan tanpa henti.

"Kita harus cari makanan! Paling engga minuman!" protes Pinkkan yang tiba-tiba berhenti. "Gimana mau dapet minum, yang kita liat sekeliling cuma reruntuhan! Gak ada yang lain" Shally ikut duduk disebelah pinkkan. Seragam sekolah yang mereka kenakan sudah kotor dan basah, menyatu dengan keringat. Mungkin hal itu yang paling menjijikan bagi seorang perempuan, tapi tidak untuk mereka. Hal pertama yang ada diotak mereka kini hanya makanan dan minuman, bukan baju bersih.

"Eh, itu Gisel kenapa?" tanya Windy. Semua langsung melirik kearah Gisel yang berada di depan. Ia seakan menunjuk sesuatu yang mereka tak tahu. Wajah Gisel terlihat bahagia dan sumringah. Semua saling tatap. "Gisel kenapa? Tunggu, biar gua aja yang samperin" Dewi berlari kearah tempat Gisel berdiri. Awalnya ia hanya terdiam sambil tersenyum. Kemudian ia menepuk pundak Gisel yang napak lebih bahagia.

"Kalian harus liat ini" Dewi menunjuk sesuatu dibelakangnya. Sebuah jalan ternyata sudah terputus. Menyisakan jurang yang cukup curam, ia tersenyum bukan karena jurang yang menakutkan itu melainkkan sungai yang mengalir dibawahnya.

Semua terlihat terpana dan bahagia. Sesekali mereka menepuk pundak Gisel tanda terima kasih atas penemuannya. "Airnya jernih banget, gua gak sabar pengen nyebur kesana" Windy tertawa dengan ucapannya sendiri. "Iya, kayaknya udah jarang banget di jaman kayak gini ada sungai sejernih ini" Pinkkan menyambar sambil menyeka keringatnya.

"Gimana cara kita turun kesana? Kayaknya gak mungkin banget kalo kita terjun" Lusi mengintip kearah bawah. Jurang itu memang benar-benar curam. Dengan batuan tajam yang siap merobek kulit merek jika terjatuh. Shally yang penakut langsung bergidik ngeri saat ikut mengintip. "Gak, gua gak mau lompat! Gua gak mau sekalipun kalian paksa" Shally berteriak sehingga membuat teman-temannya terkejut.

"Hei! Siapa yang mau terjun?" teriak Zahra dari jauh. Walaupun ia teriak, namun suaranya tetap pelan karena jarak mereka cukup jauh. "Maksud lu apa?" tanya Dheya. Ia melirik kearah teman-temannya sejenak, tiba-tiba ia berlari menuju Zahra dengan cepat.

"Kalian! Ayo sini, coba liat" Dheya melambaikan tangannya. Semua terdiam dan masih saling tatap. Namun acara saling tatap berhenti saat melihat Lusi mulai berjalan kearah Dheya dan Zahra. "Kenapa? Gak ada salahnya kan kalo nyoba?" ucapnya saat menyadari kalau teman-temannya menatapnya heran. Semua pasrah dan mengikuti langkah Lusi.

Ternyata benar, tak ada salahnya jika mereka melihat apa yang ditemukan Zahra. Sebuah tangga bersusun menuju ke aliran sungai langsung. Mereka tersenyum, "good! Thanks Zahra" Sabrina memimpin mereka untuk turun. Dengan hati-hati, mereka berhasil sampai di dalam sungai dengan selamat.

Tanpa memperdulikan baju yang akan basah, mereka menceburkan diri kedalam sungai dengan santainya. Beberapa dari mereka ada yang sibuk meminum air tersebut langsung tanpa memasaknya. Cukup meyakinkan memang melihat air yang tersaji begitu jernih layaknya mengalir langsung dari mata airnya.

"Kita harus hati-hati! Gak ada yang tau kan di dalam sungai ini ada apa"

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang