8.

37 5 0
                                    

Sudah sangat jauh kini posisi Shally dan Dewi dari sungai tersebut, namun mereka tak kunjung bertemu dengan teman-temannya. Bahkan mereka tak sadar bahwa kini mereka telah memasuki kawasan hutan yang dicari-cari. "Gua bisa masuk angin kalo begini!" Dewi mengipas-ngipaskan bajunya dengan telapak tangan.

Shally hanya meliriknya sebentar. Ia masih memikirkan tentang Gisel, tak percaya bahwa temannya tersebut meninggalkannya dengan sangat cepat.
Namun tiba-tiba ia teringat akan sesuatu yang membuatnya tersentak. "Dew, lu tadi pukul buaya itu tepat di belakang gua. Apa buaya itu mau gigit gua?" tanyanya setelah lama membiarkan mulutnya bungkam. Dewi tak membalas dengan kata-kata, hanya anggukan. "Jadi, lu udah selamatin gua?" bodoh, kenapa ia menanyakan hal itu. "M.. Maksud gua, makasih udah nyelamatin gua" ia menggeleng. Ia canggung, sangat canggung.

"Sama-sama. Lain kali fokus" Dewi berjalan lebih dulu. Shally masih menggeleng-gelengkan kepalanya, ia merasa dungu saat ini. "Sial!" keluhnya.

"Kita istirahat dulu ya" Dewi duduk di akar pohon yang menjulur keluar tanah. Shally mengangguk dan duduk di tanah tepat dihadapan Dewi. "Kemana lagi kita harus nyari mereka?" tanya Shally. Dewi mengangguk dan memainkan tanah dihadapannya. "Kita udah kehilangan jejak mereka, kita gak akan ketemu mereka lagi. Ini udah masuk kawasan hutan" mendengar jawaban Dewi, Shally langsung menatap sekeliling. Ia baru sadar kalau mereka sudah dihutan.

"Maafin gua, gua egois selama ini. Gua selalu liat lu dari sisi negatif. Gua selalu liat lu sebagai, perusak" Shally menghentikan kalimatnya. Dewi terlihat kesal mendengar ungkapan terakhir Shally. Namun sebelum Dewi memprotes Shally menghela nafasnya. "Maksud gua tuh, lu udah ngerusak perasaan gua. Gua suka sama Juan. Tapi, sejak waktu itu, sejak gua liat lu dipeluk Juan waktu di uks gua langsung terpengaruh sama emosi. Gua selalu jutek, judes dan kesel sama lu. Tapi sekali lagi gua minta maaf, gua salah selama ini. Dan yang lebih parahnya lagi, walau gua selalu perlakuin lu kaya gitu, lu tetep aja mau nyelamatin gua. Maaf!" Shally tercekat. Ucapannya terhenti dan air matanya turun perlahan.

"Jadi, selama ini lu suka sama Juan? Lu salah paham. Fix, lu salah paham" Dewi menggeleng. Sambil mengusap air matanya, Shally menyimak kata selanjutnya dari Dewi. "Juan itu saudara jauh gua, saat itu gua lagi ada masalah besar dan Juan berusaha buat bikin gua tenang. Waktu itu mungkin orang tua gua lagi bertengkar hebat dan Juan nahan gua biar gua gak bertindak gegabah. Dan soal nyelamatin nyawa, itu kewajiban gua Ly. Mau sikap lu bagaimana pun ke gua, itu tetep kewajiban karena nyawa itu gak bisa dibeli"

Tanpa pikir panjang, Shally langsung memeluk Dewi. Terlupakan sudah semua masalah yang membuat mereka tak penah akur. Karena alam telah berkata lain.

----------
----------

Gelap. Hanya itu yang dapat mereka lihat malam ini. Niat untuk membuat kayu bakar mereka urungkan. Jelas, semua kayu kini telah basah karena tersiram hujan. Suara jangkrik khas suasana hutan bahkan tak terdengar. Hanya suara nafas dan detak jantung mereka yang terdengar. Satupun dari mereka tak ada yang berani meranjak dari tempat duduknya, mereka tahu kalau bahaya dapat mengancam kapan saja. Mengandalkan penglihatan yang buruk saat gelap, mereka berusaha sekuat mungkin untuk bertahan.

Betapa pintarnya mereka saat bertahan seperti ini, saling mengikat diri sendiri dengan yang lain menggunakan akar gantung. "Kita harus istirahat," Lusi bersuara. Ia duduk di bawah pohon tepatnya di akar yang menjulang keluar.

"Tapi kalo kita istirahat, kemungkinan pertahanan kita bakal lemah" Sabrina menyaut. Mereka saling mengobrol tanpa saling tatap. "Gini, gimana kalau salah satu atau dua dari kita gantian jaga." Windy mengusulkan. "Sampe tengah malem itu gua sama Dheya ya, abis itu gua bangunin Windy sama Zahra buat jaga sampe subuh. Sisanya yang gak dapet jaga hari ini itu dapet jaga besok" Pinkkan berkata dengan sedikit berbisik. Semua mengangguk, walau tak terlihat karena gelap.

Satu persatu dari mereka mulai merebahkan tubuhnya di tanah. Sedangkan Pinkkan dan Dheya duduk mendekat agar memudahkan untuk jaga. "Gua belum ikhlas sama kepergian temen-temen kita" Dheya memulai obrolan. Pinkkan meresponnya dengan menengok ke arah Dheya dan mengangguk. "Gua gak nyangka kalau kita bisa ditinggalin temen dengan begitu cepatnya. Padahal gua masih banyak rencana bareng mereka salah satunya sukses bareng. Tapi orang-orang sinting itu ngerusak rencana gua dengan sempurna taugak" Pinkkan mengela nafasnya yang berat. Terdengar kalau ia sangat terpukul dan sedih atas semua yang mereka alami.

"Gua masih banyak hutang balas budi sama orang tua, gua masih mau bahagia bareng temen-temen kita. Tapi kenapa mereka tega ya? Emangnya apa salah kita?" ucap Dheya sambil melirik bayangan teman-temannya yang sedang tertidur.

"Kita harus saling melindungi! Gua gak mah mati ditangan kotor para pemberontak itu!" Pinkkan seolah memberikan Dheya semangat. Yang disemangati tersenyum dan mengangguk. "Kita buat kematian semua orang jadi berarti, bukan?". Pinkkan tertawa dan menyandar di punggung Dheya, ditemani gelapnya malam serta sunyinya hutan.

Berat. Itulah yang mereka rasakan saat ini. Bukan hanya ditinggal orang tua, namun mereka juga ditinggal oleh teman-teman yang dari dahuli setia bersama.

Bayangkan jika kita harus kehilangan orang yang kita sayang dengan begitu cepat padahal kita masih sangat membutuhkan orang tersebut dalam hidup kita. Butuh untuk memberikan kasih sayang, kehangatan, bahkan semangat. Menyerah untuk hidup? Sayangnya itu bukan pilihan yang tepat untuk mereka, karena mati ditangan pemberontak itu sama saja seperti menjilat tangan majikan yang telah menyiksa babu-babunya.

Mereka tetap tangguh walau diterjang berbagai macam badai. "Kita akan buat kematian mereka berarti" hanya dari kata itulah semangat mereka mengalir tak henti-hentinya.

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang