11.

26 5 12
                                    

Semua menoleh ke arah Lusi yang berterak. Tak lama mereka menghampiri Lusi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

"Angkat tangan kalian! Atau peluru ini akan menancap di kepala kalian" ucap seseorang saat mereka berkumpul di satu titik. Kata-kata orang itu sanggup membuat mereka terdiam dan menjalankan perintah. Dengan gemetar, mereka memaksakan mengangkat tangan agar tak menjadi sasaran peluru pemberontak didepannya.

Pemberontak tersebut bertingkah aneh dengan mengendus dan menatap dari ujung rambut hingga kaki mereka. Tak mampu berbuat apa-apa, mereka hanya saling tatap dan mengangkat bahu. 

Tak lama perintah keduapun datang. Mereka disuruh menunduk dan sepasang mata mereka ditutup dengan kain merah. Tanpa perlawanan, mereka terlihat pasrah saat diseret.

Kaki mereka mungkin saja sudah lecet melihat mereka diseret sejauh itu di tanah bertabur ranting kayu yang kering dan tajam. Untungnya baru sekitar 8 meter mereka diseret, mereka merasakan para pemberontak melepaskan seretannya. Anehnya, terdengar suara keras seperti benturan dan sebuah perkelahian.

"Kalian gak papa?" suara yang familiar terdengar. Orang itu membuka satu persatu penutup mata temannya. "Windy? Zahra? Kalian kok bisa..." Sabrina terkejut melihat Zahra dan Windy yang memegang sebatang kayu kokoh terlihat berhasil melumpuhkan para pemberontak. "Kita harus cepet-cepet pergi dari sini, mungkin mereka cuma pingsan. Gua takut mereka sadar lagi, makanya ayo kita kabur selagi ada kesempatan" Windy membuka pengikat mata Dewi sebagai yang terakhir.

Mereka saling membantu berdiri dan tanpa pikir panjang barlari menuju mana saja asalkan menjauhi para pemberontak itu.

----------
----------

"Stop! Kita berhenti dulu, gua udah gak kuat" Lusi membungkuk, teman-temannya mengerti dan segera menghentikan lari mereka.

Saling melingkar, mereka duduk dan mengistirahatkan kaki mereka yang terasa mati. "Semalem pas jaga, kalian kemana aja?" sesi introgasi dimulai dari pertanyaan Pinkkan.

Windy menatap Zahra. Tatapan mereka seolah merencanakan sesuatu. "Semalem kita tuh mau cari minum, soalnya si Zahra ribut haus. Terus kita pergi nyari sungai atau mata air, taunya kita malah nemu sesuatu. Terus kita malah ketagihan disana sampe kita lupa sama jam jaga. Pas kita mau nyamperin kalian, taunya kalian lagi diseret sama pemberontak.." Windy mengambil nafas dalam-dalam. ".. Zahra tadinya mau langsung nyamperin, tapi gua pikir-pikir kalo disamperin langsung gak cuma bahaya buat gua sama Zahra doang tapi buat kalian juga".

Mereka kembali saling tatap, "terus minumnya mana? Jangan bilang kalau kalian gak dapet apa-apa" kata Dheya dengan nada sedikit tinggi. Zahra dan Windy tersenyum bersalah. "Yaudah lah, yang penting mereka selamat dan udah nyelamatin kita" Dewi menyindir Dheya. Dengan tatapan sinis, Dheya menjauh dari teman-temannya dan mengalihkan padangannya.

"Terus kok kalian bisa bikin mereka pingsan?" tanya Sabrina penasaran. Windy mengerutkan alisnya dan bersiap untuk melanjutkan ceritanya. "Nah itu, pas kalian di seret, gua sama Zahra sebenernya ngikutin kalian tapi masih jaga jarak. Kebetulan pas lewat ada pohon yang tumbang, dan gua sama Zahra ngambil beberapa bagian pohon itu buat mukul pemberontak itu. Gua juga gak tau, gua mukul mereka di punggung tapi mereka pingsan" Windy mengulang kejadian yang dialaminya tadi dalam otaknya.

"Loh bukannya lu punya pisau ya Win? Zahra juga, bukannya lu punya kayu? Kenapa kalian ambil senjata dari pohon tumbang? Kemana emangnya senjata kalian?" Lusi angkat bicara, menambah sesi wawancara. "Pas kita mah cari air, kita gak bawa senjata. Senjata kita ditinggal di tempat deket kalian tidur! Tapi jangan khawatir, gua sama Zahra nemuin sesuatu yang lebih dari senjata yang kita tinggal di tempat tadi.." Zahra menatap Windy dan mengangkat sebelah alisnya, begitupun Windy. Mereka tampak kompak saat menutupi sesuatu hal, yang mungkin hal besar.

Saling tatap dengan tatapan heran, mereka memutuskan untuk bungkam. Tak ada satupun dari mereka yang terlihat ingin berucap. Dewi menghela nafasnya sebal dengan kelakuan teman-temannya yang tak mau bicara sepatah katapun. "Jadi, kalian nemuin tempat apa? Kayaknya dari cerita kalian, tempat itu keliatan spesial banget" Dewi kembali mengangkat sebelah alisnya.

Zahra dan Windy tersenyum puas karena akhirnya ia mendapat pertanyaan yang ditunggu-tunggu. "Susah jelasinnya, mending kalian ketempatnya langsung. Kalian pasti kaget dan senang tentunya, yakan" Windy menatap kearah Zahra sambil tersenyum belagu. Zahra membalas senyuman Windy dengan senyuman yang sama.

"Hmm, jadi, kapan kita pergi ketempat yang Windy dan Zahra bilang?" tanya Sabrina menatap satu persatu temannya. "Kalau memang tempat itu emang sangat menguntungkan buat kita, kalau bisa secepatnya kita kesana!" Dewi memutuskan sabil berdiri dan jalan kearah tempat Dheya pergi.

"Oke, jadi siapin diri dan barang kita. Kita akan pergi kalau Dewi dan Dheya udah kembali!"

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang