19.

16 6 2
                                    

"Jalan mana yang tercepat menuju perbatasan kota tetangga?" tanya Sabrina. Windy tersenyum miring, ia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam rompi anti pelurunya. Sebuah kertas dan dia membentangkannya tepat ditengah kerumunan teman-temannya.

"Peta? Kerja bagus!" Dheya menepuk pundak Windy yang kini sedang tersenyum bangga. "Kita sekarang ada di wilayah ini, gua yakin" Windy menunjuk sebuah titik merah yang dikelilingi lingkaran hitam tipis. "Jadi rute terdekat ke kota tetangga itu lewat timur atau ke belakang gubuk ini, kita hanya perlu lurus" Windy menatap teman-temannya yang terlihat setuju dengan ucapannya.

Sabrina dan Lusi memasukkan amunisi ke senapan masing-masing dengan cepat. "Ayo, udah pada siap kan" ajak Sabrina yang disusul senyuman bahagia teman-temannya. Mereka ikut memasukkan amunisi ke senapan masing-masing.

"Siap!" teriak semua serentak. Meski rasa takut masih melanda mereka, namun mereka tahu bahwa bendera perang sudah berkibar dihadapan mereka.

----------
----------

M

ereka berjalan merambat dengan posisi siaga. Sabrina dan Lusi dengan senapannya memimpin didepan, Windy dan Dheya berjalan mundur berjaga-jaga bila ada serangan dari belakang, Dewi berjaga di sisi kiri sedangkan Zahra dan Pinkkan berjaga di sisi kanan. Mata mereka jeli memperhatikan keadaan sekitar jika ada ancaman sekecilpun.

Mereka merasa latihan dadakan mereka tadi bermanfaat. Mereka merasa benar-benar seorang pejuang sekarang, mempertahankan diri untuk membuat kematian semua saudara mereka di kota ini menjadi berarti.

"Gua rasa aman, di sisi kanan gak ada ancaman apapun" Zahra melapor dengan berbisik. "Sisi kiri juga" Dewi menanggapi.

"Depan juga gaada apa-apa" kini Lusi yang melapor. Baru saja Windy ingin melapor keadaan, ia melihat bayangan seseorang dari balik pohon. Bayangan tersebut menyamping tersorot matahari. Windy tahu betul itu adalah ancaman, bayangan tersebut terlihat membawa senjata mesin di tangannya.

Inisiatif Windy menarik slot peluru dan mengarahkan senapannya ke arah pohon tersebut. "Win? Ada apa?" tanya Sabrina yang heran dengan gerak-gerik Windy.

"Sttt" Windy menanggapi hanya dengan bisikan. Lantas semua diam dan memperhatikan betul apa yang akan dilakukan Windy selanjutnya.

Windy menembak beruntun kearah pohon tersebut. Dan benar saja, seseorang dengan penutup kepala keluar saat Windy menghentikan tembakannya. Ia menembak beruntun kearah mereka, untungnya semua refleks tiarap sehingga tak satupun peluru menyasar kearah mereka. Saat penembak tersebut mengisi peluru, Lusi memanfaatkan kekosongan serangan tersebut untuk menyerang balik.

Dengan senapan miliknya, ia berhasil membunuh penembak tersebut hanya dengan sekali keker. Namun hal tak di duga terjadi, seseorang dari arah belakang menembak pundak Lusi cukup dalam. Keseimbangannya hilang dan ia jatuh ke tanah.

Zahra yang melihat penembak dari arah belakang tersebut langsung membalaskan dendamnya. Ia berhasil membunuh penembak yang membunuh Lusi dengan hanya sekali keker. Saat situasi aman, mereka lansung menghampiri Lusi dan mengelilinginya.

"Lus? Lusi? Hei, lu gapapa kan!" ucap Windy dengan nada lirih, ia menahan air matanya yang ingin menghambur keluar. Lusi tersenyum, meski peluru sukses menembus jantungnya, ia harus membuat teman-temannya tegar dengan situasi tersebut.

Senyum Lusi sukses membuat pipi mereka basah oleh air mata. Perjuangan Lusi tak akan pernah mereka lupakan.

"Lus, terima kasih. Terima kasih udah tolongin kita tadi, tanpa keberanian lu, kita gatau bakal bernasib kaya apa" ucap Dewi disela tangisnya membuat suasana makin mencekat. Pinkkan yang sudah berlumuran air mata, langsung memeluk Lusi.

"Terima kasih banyak Lusi, gua gatau lagi harus berterima kasih dengan apa. Gua cuma mau lu bahagia Lus, tapi mungkin itu belum kesampaian sampai sekarang Lus, maafin gua, maafin" tangis Pinkkan makin menjadi-jadi.

"Sama-sama, gua bahagia kalau kalian tersenyum disaat-saat terakhir gua. Pliss, no tears!" Lusi tersenyum. Mendengar permintaan Lusi, semua lantas tersenyum dan mengelap air mata mereka. Namun tidak dengan Pinkkan, ia terlihat tak rela kehilangan sahabatnya tersebut.

"Gak Pinkkan, lu itu udah bikin gua bahagia sejak awal kita bertemu, lu gak gagal. Gua bahagia Pinkkan, bahagia" mendengar ucapan Lusi, Pinkkan berhenti memeluk dan menatap Lusi lekat-lekat. "Serius?"

Lusi mengangguk dan kembali tersenyum. Pinkkan ikut tersenyum dan kembali memeluk Lusi dengan erat. "Terima kasih Lus, terima kasih" ucapnya dengan air mata yang kembali menetes.

"Teman-teman, apa gua udah cukup berguna buat kota ini? Apa gua udah cukup berjasa buat kota ini? Apa udah cukup buat kalian bahagia?" tanya Lusi. Kali ini ia tak lagi bisa menahan tangisnya.

Semua mengangguk dan menepuk pundak Lusi. "Lu udah lebih dari cukup buat kita bahagia Lus, lu juga udah lebih dari cukup berguna dan berjasa buat kota ini. Bahkan, Lu udah buat kematian mereka semua berarti Lus," ucap Dheya dengan tulus.

"Terima kasih," ucap semua serentak. Lusi tersenyum sebelum pandangannya benar-benar menghilang dari ke-5 sahabat terbaiknya.

***

Assalamualaikum ukhti...

Author dan semua pemeran Woman Warriors mengucapkan selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin. Semoga semua amal ibadah kita di ramadahan kali ini diterima di sisi Allah SWT, dan yang paling penting semoga kita semua bisa bertemu di ramadhan selanjutnya ya. Aminn...

✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨✨

Author juga mau ucapin HAPPY BIRTHDAY BUAT WINDY AMALIA SELAKU PEMERAN WINDY DALAM WOMAN WARRIORS🎉🎉Wish you all the best lah pokonya...

Udah itu aja, see you, jan kangen! #plak

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang