20.

12 3 0
                                    

Mereka kini berjalan lunglai, tak lagi bersiaga seperti tadi. Kehilangan Lusi benar-benar menjadi pukulan keras bagi semangat juang mereka. Kehilangan Lusi benar-benar membuat semangat mereka ikut menghilang.

Bahkan rasa lapar yang mereka rasakan sejak tadi, tak lagi tertara. Pikiran mereka benar-benar berbelit. Bingung memilih diam atau tetap berjuang, tentunya dengan rasa ketakutan yang teramat saat ketiga teman mereka pergi.

"Kita harus cari makanan" sahut Dewi didepan. Hanya dia yang terlihat baik-baik saja sejak Lusi pergi, entah karena ia cepat menerima keadaan atau karena ia benar-benar tak peduli.

Teman-temannya hanya saling tatap tanpa memberi jawaban. Mereka tahu kalau tak segera cari makan, mereka akan mati kelaparan. Tapi percuma saja jika mereka melanjutkan perjuangan jika mereka mati tertembak oleh pemberontak.

"Jujur, lebih baik gua mati kelaparan daripada mati ditembak tangan kotor para pemberontak" Windy yang biasanya memberikan semangat positif ke teman-temannya mulai menyerah. Kehilangan semangat yang selama ini ia miliki.

Yang lain hanya bisa diam, memprotes hanya dalam hati. Karena otak dan hati mereka tak seiras. Antara setuju atau tidak dengan ucapan Windy. "Maksud lu apa? Jadi kita mau nyerah gitu aja? Kita bikin semua keluarga, sahabat, kerabat bahkan diri kita sendiri mati sia-sia! Sadar! Tujuan kita buat tetap berjuang itu demi apa? Kita akan bikin semua kematian yang ada di kota ini, BERARTI!" Pinkkan membara.

Emosinya terpancing kala Windy berusaha menyerah. Bukan karena Windy yang membuat emosinya membeludak, tapi karena ucapan Windy dapat membuat kawan-kawannya terpengaruh dan berhenti untuk berjuang. Karena bukan itu tujuan mereka sejak awal, sayangnya yang sadar akan hal itu pada saat ini hanyalah Pinkkan, dan tugas Pinkkan selanjutnya adalah menampar semua teman-temannya agar segera bangun dan sadar bahwa tujuan mereka beridri disini adalah hanya untuk satu hal. Berjuang.

Sabrina segera menjauhkan Pinkkan dari Windy dan berbicara bedua dibalik pohon. Sisanya menemani Windy sekaligus menyadarkannya akan ucapannya tadi.

"Ada masalah apa Win? Kenapa lu bilang kaya gitu, gak biasanya lu bilang kaya gitu Win. Ada apa? Ini bukan Windy yang gua kenal" Dheya memegang punggung Windy. Mencengkramnya berharap Windy segera tersadar.

Windy mengangkat kepalanya yang awalnya tertunduk. Ia menatap satu-persatu temannya yang mulai berjalan mengerubunginya. Membuat lingkaran seakan ia tak boleh kabur dari ini semua.

"Gua gabisa kaya gini terus. Jadi saksi saat teman-teman gua menghembuskan nafas terakhir akibat tangan kotor para pemberontak. Jadi saksi saat kota kelahiran, kota tempat tinggal kita hancur bersimba darah si sudutnya. Jadi saksi saat kalian semua mungkin juga bernasib sama dengan mereka yang udah tinggalin kita terlebih dahulu. Lebih baik gua pergi lebih cepat daripada harus jadi saksi dari itu semua!" Windy membeberkan seluruh isi hatinya.

Emosinya tumpah bersamaan dengan airmata yang jatuh membasahi pipinya. Semua menunduk, seakan mengheningkan cipta atas kepergian semua warga kota. Kepergian sahabat, kerabat, teman, bahkan keluarga.

"No tears left to cry! Semua udah terlambat Win. Lu udah jadi saksi dari semua yang lu ungkapin tadi. Kita udah terlambat akan semua hal!! Tapi satu hal, kita gak akan pernah merasa terlambat untuk berjuang. Mereka yang udah pergi, pasti mengharapkan satu hal ke kita yang masih bangkit sampai saat ini. Mereka ingin kepergian mereka berarti sesuatu" Zahra ikut meremas pundak Windy. Mencoba mengalirkan energi dan pikiran positif ke temannya tersebut.

Windy menerima ucapan tersebut sambil menunduk lemah. Membiarkan air matanya makin jatuh tak karuan, membiarkan remasan temannya makin kuat, dan membiarkan dirinya kembali tenang agar pikiran dan energi positif mengalir ke dirinya.

Dewi tak ikut menenangkan Windy, ia bersandar di pohon besar sembari beristirahat. Juga berjaga jika ada ancaman datang.

Disaat yang bersamaan, Pinkkan dan Sabrina kembali dari balik pohon tempat mereka berbicara 4 mata. Tak ada yang tahu apa yang mereka obrolkan. Yang pasti, Pinkkan terlihat baik-baik saja, emosinya sepertinya mulai mendingin saat kembali ke kerumunan teman-temannya.

"Hei semua, gua rasa ada yang salah dengan pandangan gua. Gua seakan melihat... Kastil tua" bisik Dewi tanpa menoleh sedikitpun kearah teman-temannya.

Karena penasaran, semua berkumpul dan berdiri di samping Dewi. Melihat lurus seperti yang dilakukan Dewi.

Tiba-tiba Sabrina berbisik dengan nada tegas. "Dew, kalau mata lu salah, gua rasa mata kita juga salah. Ini gila, tapi memang benar ada kastil disana!!"

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang