1.

44 6 0
                                    

"IBU MITHA" teriak semua murid dari dalam kelas.

Satu diantara mereka tiba-tiba berlari menuju pintu. "Ronald Jangan! terlalu bahaya. Kita gak tau apa yang lagi kita hadapi sekarang!" Juan menghalagi Ronald untuk keluar. Tapi, Ronald masih ingin keluar kelas. "Wan! Bu Mitha dalam bahaya, Haris, Reza, Ender sama Arif lagi dalam bahaya! Lo gak mau kan temen kita kenapa-kenapa" Ronald masih memberontak.

Pertahanan Juan bertambah kala Deni membantunya agar menghalang Ronald keluar kelas. "Ronald, mereka mungkin sekarang udah gak ada" Deni mencoba membujuk. "Gak! Mereka masih ada. Mereka masih hidup. Gua mau keluar, awasss" Ronald makin kuat memberontak.

"Nald, suara pistol tadi tepat banget pas mereka berlima keluar! Gua emang gak tau mereka masih hidup atau enggak, tapi mereka belum juga balik kan sampe sekarang!" Juan membiarkan Ronald berpikir sejenak untuk mengalahkan kata hatinya. Benar saja, Ronald diam untuk sesaat.

"Nald, lebih baik kita disini dulu sampe ada pertolongan dari polisi atau penjaga perdamaian. Tugas kita sekarang itu harus saling melindungi satu sama lain" Deni menepuk pundak Ronald dan berjalan kembali kedalam barisan.

Ronald diam, diam seribu bahasa. Rasa sedihnya begitu mendalam hingga tubuhnya ia biarkan jatuh ke lantai. Ia terus memegangi kepalanya. "Tapi Haris, Reza, Ender, Arif..." ucapnya dengan nada lirih. Juan yang juga berkabung menepuk pundah Ronald untuk memberinya semangat lebih untuk bangkit dari semua masalah ini.

Dilain sisi Lusi yang panik dan sedih terus-terusan memanggil ibunya. Dheya yang merupakan sahabatnya tersebut juga ikut sedih dan panik. "Jangan khawatir! Gua yakin orang tua kalian pasti selamat. Mereka pasti menyambut lo saat lo pulang nanti, gue yakin" Zahra memberikan motovasi kepada mereka berdua dengan sepenuh hati.

"Sab, menurut lo ini ada apa ya? Perang atau pemberontakan?" tanya Dewi kepada temannya Sabrina yang sedari tadi hanya diam. Sabrina menggeleng. "Gua gak tau Dew. Gua takut nanti akan terjadi apa-apa sama kita" Sabrina ikut panik. Dewi menarik nafasnya dengan panjang. "Gak Sab, gak akan terjadi apa apa sama kita asal kita ikuti maunya mereka" ucapannya dibalas anggukan oleh sabrina.

Tiba-tiba terdengar lagi suara ledakan bom dan tembakan senapan maupun pistol dari jauh juga dari dekat. Terdengar pula semuara pekikkan menyakitkan dari seorang yang tak bersalah. Entah apa yang terjadi saat itu. Ledakan bom dimana mana, tembakan senapan dan pistol menggema, pekikkan orang yang tersakiti terdengar menyesakkan. Sungguh, penderitaan yang amat sangat tidak enak mereka rasakan.

Semua murid langsung berlari kearah jendela yang menghadap langsung dengan suasana luar sekolah. Sungguh miris, gedung-gedung hancur dengan reruntuhan yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata, bekas bakaran akibat ledakan bom tersebar disana-sini, asap hitam mengepul, dan mereka yang sudah tiada tergeletak tenang dengan ekspresi bermacam.

"Gua mau pulang! Gua mau keluar" teriak Gangga dari pojok lemari. "Iya gua juga mau pulang! Gua gak mau disini cuma nunggu sampe mati! Yang mau pulang, mendekat ke gua sekarang!" ucap Riko dengan berteriak.

Setengah murid mendekat kearah Riko. Hampir semua murid laki-laki mengikut pada Riko kecuali Ronald, Juan, Deni, Zidane dan Ethan. Sementara perempuannya hanya ada beberapa termasuk Gangga, Syiina, Nabil, Salma dan Dheya.

Dewi yang sadar akan banyaknya perempuan yang ingin keluar lansung menarik mereka menjauh dari Riko. "Kalian gak sadar ya kalau didepan itu bahaya? Buktinya bu Mitha, Ender, Reza, Haris, dan Arif jadi korban langsung. Terus kalian gak denger ya suara mereka yang gak salah dibom, ditembak sampe mati. Kalian mau kayak mereka semua?" bujuk Dewi.

Syiina dan Gangga langsung melepas genggaman Dewi dengan paksa. "Lo gak ada urusan buat atur-atur hidup gua. Gua mau pergi dari sini ya itu urusan gua. Plis jangan sok ngehadang gua, ok" Syiina kembali ke grup Riko untuk keluar. "Dew, sorry gua gak mau mati disini! Gua mau pulang" Gangga tetap pada pendiriannya. Dewi menatap ketiga sisa temannya. "Maaf Dew, aku lebih percaya kata hati aku dibanding kata hati kamu" Salma menarik tangan Nabil untuk ikut dengannya menuju grup Riko.

Tinggal satu, Dewi menatap Dheya penuh harapan agar ia mau tetap dikelas yang menurutnya aman ini. "Gua gak tau mau pilih yang mana, tapi maaf pilihan gua lebih condong ke mereka yang mau pulang" ucap Dheya penuh kelembutan. Namun tangan Dheya masih berada di genggaman Dewi.

"Dhey, gua tau hati lo pasti bilang lo mau pulang. Hati gua juga bilang gitu. Tapi, kadang hati juga pernah salah. Hati itu gak pernah mau ngandalin logika tapi otak pasti nyelipin sebuah logika buat menghadang lo keluar! Gua gak mau lo atau kalian semua jadi korban yang gak salah. Gua mau kalian tetap disini karena kalian juga udah nyaksiin secara langsungkan gimana keadaan diluar? Hancur, gak berbentuk, bahkan kayaknya cuma sekolah kita doang yang masing kokoh berdiri. Dan satu lagi, Dhey gua mau denger secara langsung logila yang ada dipikiran lo!" Dewi melepaskan tangan Dheya yang awalnya ia genggam.

"Logikanya, kalo gua keluar mereka akan nembak mati gua dan ngebom gua sampe gak berbentuk" Dheya mengucapkan sambil menuduk dan memejamkan kedua matanya. "Sekarang, gua serahin ke lo. Lo mau ikutin kata hati lo atau kata otak lo dengan logikanya!" ucapan Dewi membuat Dheya kembali menegakkan kepalanya.

Dheya menengok kearah grup yang ingin keluar dengan sedikit senyuman. Lalu ia mengalihkan pandangannya untuk menatap Dewi dengan tatapan datar. "Kata hati emang selalu menang bagi gua!" kata Dheya seketika membuat tulang di tubuh Dewi seakan copot, ia lemas, sangat lemas.

"Tapi untuk kali ini mungkin kata otak gua yang menang" lanjut Dheya sambil berjalan kearah Dewi dengan senyum lebarnya. Tulang di tubuh Dewi kembali memberikan keseimbangan untuknya, sungguh ia senang ada temannya yang mau ikut kata-kata ia walau hanya satu teman.

"Kita pergi, kalau kalian mati jangan harap kita akan jenguk kalian buat terakhir kalinya!" ucap Syiina ditambah anggukan Riko dengan yakin.

"Tapi kalau kalian mati, kalian pasti gak akan bisa jenguk kita lagi!" ucap Windy dari belakang.

Mereka tak memperdulilkan ucapan Windy barusan. Mereka fokus pada tujuan mereka, pulang. Ketika mereka hilang dari pandangan, benar saja...

Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor.. Dor

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang