13.

31 7 14
                                    

"Lu yakin dia masih hidup? Dia gak siuman dari hampir 2 jam dia pingsan" Lusi mendirikan senjata barunya sebagai penopang dirinya berjongkok. Senapan serbu SS3 yang ditambah dengan lensa keker untuk menambah titik akurat penembakan. Dewi terbaring dengan lemah, seluruh tubuhnya terlihat kaku. Beberapa temannya mengelilingi sambil menunggu iya sadar sepenuhnya. "Ya jelas dia gak siuman udah 2 jam, bayangin aja ditindih lemari besi penuh senjata rasanya gimana" ucap Sabrina sambil masih mengacak-acak lemari entah mencari apa.

"Sakit!" tatapan Windy kosong, ia membayangkan bagaimana rasanya menjadi Dewi. Sesekali ia bergidik dan rambut tangannya berdiri seakan merasakan sakitnya. "Senjata + amunisi kalian masih kurang! Biar Lusi yang jaga Dewi, kalian sisanya cari senjata. Buat apa kita mati-matian masuk kesini kalo kita gak ngambil apa-apa kan?" Zahra menasehati. Ia menarik sebuah tumpukan, menakjubkan, ia mendapat berpuluh-puluh rompi anti peluru yang dilengkapi tempat amunisi senapan yang terlihat kokoh. Senyumnya mengambang.

Ia membawa beberapa rompi tersebut dan membagikannya kepada teman-temannya satu persatu. "Keren, gudang ini lengkap. Gak cuma senjata, rompi anti peluru bahkan granat aja ada" Dheya mengakhiri ucapannya dengan tertawa. "Jangan remehin tempat reot kaya gini, dalemnya ternyata gak se reot luarnya. Gua yakin para pemberontak itu terlalu bodoh karena mereka gak bener-bener manfaatin ini semua!" Windy ikut tertawa bersama Dheya. Keduanya terlihat senang dengan joke mereka yang benar-benar garing.

"Oke, kita lanjutin sesi cari senjata-nya" Pinkkan berdiri dan kembali menyusuri rak-rak besi penuh dengan senjata yang menggiurkan untuk berperang. "Buat Dewi gimana? Dia juga butuh senjata pas dia siuman nanti!" Sabrina menengok ke arah Lusi. Wajahnya memikirkan jawaban dari pertanyaan yang ditanyakan Lusi. "Biar gua cariin dia senapan serbu, sisain satu rompi anti peluru. Separah apapun kondisi dia sekarang, mau gak mau dia harus siap tempur!" jawab Sabrina dengan tegas.

Lusi mengangguk, ia berdiri dan mengambil 2 rompi anti peluru. Satu untuknya dan satu lagi tentu untuk Dewi saat ia sadar nanti.

Dilain sisi teman-temannya masih sibuk memilah-milah senjata. Sejujurnya tak ada satupun dari mereka yang mengerti seluk beluk senjata, mungkin Dewi mengerti dari pengalamannya suka membaca buku action, tapi melihat kondisinya sangat tak memungkinkan dia untuk ditanya-tanya.

Pinkkan berhasil menemukan senjata keinginannya. Ia melihat dari fisik senjata itu yang nampak keren dan gagah, Armatix iP1 membuat Pinkkan jatuh hati pada fisiknya yang keren. Lebih memukau lagi, senjata tersebut menggunakan sensor sidik jari hingga hanya Pinkkan seorang lah yang mampu menggunakan senjata tersebut.

Sabrina memilih M-16. Senapan serbu dengan jarak tempuh 550 meter yang mampu membelah musuh hanya dengan peluru sebesar 5.56mm tersebut membuat Sabrina jatuh hati. Disamping fisiknya yang gagah, senjata tersebut juga pernah dilihat Sabrina di sebuah pameran militer. Ia lupa detailnya, tapi seingatnya, senjata tersebut mampu meretakkan sebuah patung dari ujung sampai ujung. Satu alasan lagi, ia juga tak mau ambil pusing memilih semua senjata tersebut.

"Gua bingung deh mau senjata apa!" Dheya mengoceh di sebelah Zahra. Keduanya masih belum menemukan senjata yang tepat padahal sangat banyak senjata yang fisiknya menarik. "Emangnya lu mau pake senapan serbu atau pistol?" tanya Zahra. Yang ditanya masih diam dan memilih-milih.

"Mungkin, senapan serbu. Kayanya lebih keren gitu" Dheya membayangkan dirinya ada di medang perang dengan senapan serbu yang gagah. Zahra hanya tertawa dan melanjutkan pencariannya.

*Brangg*

Tiba-tiba saja sesuatu terjatuh di belakang Dheya. Ia kaget sampai loncat dan menabrak Zahra. Keduanya jatuh dan Zahra tertindih badan Dheya. "Sekarang gua tau rasanya Dewi ditindih lemari besi yang pentuh senjata" dumel Zahra sambil berusaha menyingkirikan Dheya dari tubuhnya. "Lu nyindir banget sih, kan gua kaget. Refleks"

"Yaudah gak usah baper dong, kan gua cuma becanda" Zahra berdiri dan mengambil sesuatu yang jatuh tersebut. Senapa HK-416 jatuh dari tempatnya berasal. Zahra mengangkat senjata tersebut dan menerawang keunggulan senjata terebut. "Nah ini baru yang gua cari-cari! Gua kalau pakai ini kaya di film-film luar kan" Dheya merebut senapan tersebut dan memperagakan seakan ingin menembak. Ia terlihat senang menemukan senapan impiannya, sedangkan Zahra?

"Tunggu dulu dong, kan senapan ini gua yang pertama ambil. Jadi senapan ini milik gua dong" Zahra merebut senapan tersebut dengan paksa. Entah kenapa dari ribuan senjata yang tersedia mereka malah merebutkan satu senapan. "Bukannya tadi senapan ini jatuh di belakang gua ya? Jadi senapan ini milik gua karena dia udah jatuh dibelakang gua" Dheya tetap mempertahankan.

"Tapikan!..." Zahra menghentikan kalimatnya. Ia bingung harus mengucapkan apa untuk mempertahankan senapan tersebut. "Yaudah deh tuh ambil!" ia menyerah, bukan karena hal tertentu tapi ia tahu bagaimana kelakuan Dheya kalau sudah baper dan ia mencoba menghindari terjadinya hal tersebut.

"Yeass hehehe, amunisinya mana ya!" Dheya terlihat senang berjalan menyusuri rak mencari amunisi yang pas. Zahra tersenyum kecut, ia kecewa karena tak ada ucapan terima kasih sedikitpun dari mulut Dheya.

"SAMA-SAMA!" Zahra teriak, ruangan yang bergema membuat suaranya terdengar kencang di seluruh sudut ruangan. "Hehehe, iya, makasih Zahra" ucap Dheya sambil memeluk senapannya dengan malu.

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang