4.

34 7 6
                                    

Dewi bangun dengan pandangan yang kabur. Sesekali ia batuk karena debu yang berlebihan masuk ke paru-parunya. Kepala dan badannya sakit hingga ia tak memiliki tenaga lagi untuk berdiri. Dengungan yang keras menyakiti telinganya. Saking tak kuatnya, Dewi akhirnya membiarkan matanya kembali menutup berharap ia mendapatkan kekuatan untuk bangkit.

Ia berusaha mengingat kejadian semalam. Seingatnya, semalam ia tidur di kanan Shally dengan berposisikan menghadap tembok. Ia juga berpikir apa yang membuatnya pusing dan sakit seperti ini, padahal semalam ia sudah makan cukup. Penasaran ternyata memberinya sebuah tenaga. Ia kembali membuka kelopak matanya dan menemukan dirinya sedang tertidur diatas reruntuhan sebuah bangunan. Sinar matahari pagi menyilaukan pandangannya sehingga ia tak bisa melihat jelas apa yang sedang terjadi.

Dewi kembali memaksakan tubuhnya untuk bangun. Walau sulit dan sakit, hasilnya ia berhasil duduk dengan kepala terasa ditusuk-tusuk. Ia kembali melihat sekelilingnya, tak ada siapapun disana selain dirinya. Ia berpikir mungkin jika ia berdiri, ia akan melihat lebih jelas keadaan. Namun ia urungkan niat tersebut jika tak ingin tubuhnya kembali ambruk.

Hampir 30 menit Dewi membiarkan tubuhnya itu diam dalam keheningan. Cahaya matahari pagi semakin menyengat. Udara dengan polusi tinggi pastilah membuat keadaan semakin tidak enak. Ia mencoba untuk menyadarkan nyawanya lagi. Dengan bertumpu pada sebuah runtuhan dinding yang berdiri cukup tinggi, ia mampu berdiri dengan kuat.

Keadaan sekitarnya sangatlah sepi. Ia heran kemana semua temannya pergi? dan kenapa hanya ada dirinya di sana? dan kenapa ia terbangun di reruntuhan ini? Terlalu banyak pertanyaan yang ada di otaknya kini. Sempat ia berpikir bahwa ia sedang bermimpi, namun tidak, ini terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi.

Lalu ia melihat sebuah pergerakan dari kanannya. Karena terlalu penasaran, ia memberanikan diri mendekat ke reruntuhan sebuah triplek yang sepertinya papan tulis. Dengan sekuat tenaga ia mengangkat papan tulis tersebut. Saking beratnya papan tulis tersebut, nafasnya yang pendek semakin terengah-engah. Ia mengintip sedikit ke celah yang kecil. Betapa terkejutnya ia saat itu, ia melihat temannya Shally sedang berusaha keluar dari balik papan tulis tersebut. Dengan muka khawatir dan tenaga yang hampir habis, ia terus mengusahakan agar papan tulis tersebut tak lagi menimpa temannya itu.

Kegigihannya membuahkan hasil. Ia berhasil menyingkirkan papan tulis tersebut. Walau tangannya sakit dan tubuhnya lemas, ia tetap berusaha untuk mendekat kearah temannya tersebut.

"Lo gak papa? Ada yang luka?" tanya Dewi khawatir. Kini harapan satu-satunya Dewi ialah Shally yang mungkin hanya merekalah yang masih hidup. "Gak kok, gua baik-baik aja cuma paling lecet sama pusing" Shally berusaha tersenyum untuk menghibur temannya tersebut. "Lo mau duduk?" tanya Dewi dibalas anggukan Shally.

Dengan khawatir Dewi membantu Shally untuk duduk. Shally memegang kepalanya yang sepertinya pusing. "Lo pusing?" tanya Dewi sambil berusaha menatap mata temanya itu. Shally memgangguk. "Ya, gua gak tau kenapa bisa pusing gini. Itu tangan kanan lo kenapa?" tanya Shally balik.

Dewi langsung mengarahkan pandangannya ke tangan kanannya. Ia kaget menemukan luka lecet yang parah serta lebam di sana sini. Ia bingung mengapa ia tak sadar kalau ia terluka parah, padahal biasanya kalau ia lecet sedikit pasti akan terasa. "Gak tau, tapi gua gak sadar kalo tangan gua luka" ia kembali menatap Shally.

"Ini lukanya parah loh, kalo gak diobatin bisa infeksi" Shally memeriksa tangan Dewi layaknya seorang dokter. Dewi tersenyum miring. "Sok nih" mereka berdua saling tatap dan tertawa dengan lepas.

Namun kebahagiaan mereka luntur ketika sebuah suara mobil truk terdengar jelas dari arah depan sekolah yang hancur. Betapa kagetnya Dewi dan Shally ketika melihat puluhan orang bersenjata lengkap dengan rompi anti peluru berjalan kearah mereka. "Dew, mereka siapa? Mereka yang mau bantuin kita ya?" tanya Shally kepada Dewi yang terpaku dan bingung harus melakukan apa.

Dewi memincingkan matanya memastikan bahwa orang-orang didepannya bukanlah orang yang bahaya. Namun ia panik saat melihat lambang Centrals yang berbentuk seekor rusa bertanduk telah mereka coret dengan cat merah. Ia langsung tahu bahwa orang-orang dihadapannya itu bahaya.

"Ly, mereka pemberontak! Kemungkinan juga mereka yang ngebom sekolah kita ini. Jadi kita harus sembunyi biar mereka gak bunuh kita" ucap Dewi panik.

Shally yang awalnya tenang menjadi ikut panik, mereka memikirkan cara bagaimana agar tidak ditemukan. Otak mereka yang masih belum normal terpaksa dikerahkan untuk berpikir dua kali lipat. Shally yang masih sibuk berpikir kini kaget saat tangannya ditarik dengan paksa. Yang menarik membawa Shally ke tempat yang menurutnya tak asing.

"Kenapa kita balik ke bawah papan tulis?" Tanya Shally saat tahu kalau yang menarik tangannya adalah Dewi. "Stt!" Dewi menutup mulut Shally dengan telunjuknya. Terdengar langkah mendekat kearah mereka. Langkah sepatu boots tebal terdengar jelas. Lalu badan mereka tiba-tiba sakit saat sesuatu menindih papan tulis tempat mereka bersembunyi.

"Semua udah mati bos! Kita berhasil" ucap sebuah suara laki-laki berat yang menakutkan. Shally beranggapan kalau laki-laki tersebut sedang berdiri diatas papan tulis yang dibawahnya terdapat ia dan Dewi. Ia menatap Dewi sejenak, Dewi meringis tanpa suara, ia terlihat kesakitan. Begitupun dengan dirinya, ia sakit, sangat sakit. Namun, saat rasanya ia ingin pingsan, rasa sakit itu mereda. Sepertinya orang yang menginjak mereka berdua sudah pergi atau turun dari pijakannya.

Mereka menghembuskan nafas lega, namun tanpa suara. Entah kapan mereka akan keluar dari tempat itu. "Bos! Mereka, pemerintah coba meretas sistem keamanan kita. Mereka coba non aktifin senapan otomatis kita biar bisa masuk ke wilayah Centrals" teriak seseorang dari kejauhan. Terdengar suara boots kembali, namun kali ini mereka menjauh. "Semua, kita kembali ke markas. Jangan sampai pemerintah tau gudang amunisi kita!" perintah suara berat tadi. Dalam beberapa detik kemudian, keadaan menjadi sepi dan hening.

"Gua rasa udah aman" Dewi kembali bangkit. Ia dan Shally kembali mendorong papan tulis yang menutupi mereka berdua dan keluar dengan halusnya.

"Mereka berbahaya! Mereka punya gudang amunisi" gumam Dewi sembari melihat siluet mobil truk yang mulai menjauh. "Jadi kita harus apa? Melawan?" tanya Shally dengan nada meledek.

"Ya! Harus" jawab Dewi sambil menunjukkan senyum liciknya.

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang