21.

22 1 0
                                    

"Gua mau kesana!" ucap Dewi sambil berjalan, namun langkahnya terhenti karena lengannya di gengam.

Sabrina menghentikan Dewi, ia memegang lengan Dewi agar temannya tersebut tak kemana-mana dan melakukan hal gegabah. "Jangan kesana! Kita gak tahu apa yang ada disana Dew, gua takut itu adalah markas para pemberontak. Bisa bahaya bagi kita semua!"

Dewi terdiam mendengar ucapan Sabrina, begitupun yang lain. Semua terduduk melingkar kecuali Dewi, ia memisah dan memilih duduk diatas akar pohon besar, namun jarak mereka tak begitu jauh.

"Kalau kita mau ke kastil disana, kia harus punya rencana! Kita semua harus mempersiapkan diri" Dheya memulai rapat dadakan mereka.

Tiba-tiba Pinkkan menarik slot peluru senapannya. "Gua udah siap!" ucapnga yakin. Zahra langsung menahan Pinkkan dan menurunkan senjata Pinkkan kebawah. "Sabar, kita masih butuh persiapan lebih Pinkkan" ucapnya.

"Betul, mereka jelas lebih berpengalaman dari kita. Mereka para lelaki, sedangkan kita perempuan! Kalau kita kesana hanya modal senapan dan keberanian tidak cukup! Kita butuh sesuatu, mungkin keyakinan yang tangguh" sahut Windy.

Semua nampak bingung dengan ucapan Windy. Namun tak ada satupun dari mereka yang bertanya maksud dari ucapan Windy, kemungkinan mereka takut.

"Bahasa lu ketinggian Win, mungkin gua bisa nafsirin. Yang Windy maksud itu kita bukan cuma butuh senapan dan keberanian, tapi kita juga butuh keyakinan kalau kita berani menghadapi mereka. Jika kita gak punya rasa yakin akan menang melawan mereka, itu sama aja kita bunuh diri" Dewi bangun dari duduknya sambil mengoceh.

"Benar kan Win? Itu yang sebenarnya lu mau sampaikan" tanya Dewi sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Iya itu maksud gua. Senjata yang sebenarnya kita butuhin itu adalah keyakinan kalau kita akan mengalahkan mereka!" tambah Windy

Dheya mengangkat tangannya, meminta hak untung menyampaikan sesuatu meskipun sebenarnya mengangkat tangan tak diperlukan. "Lalu solusinya? Menurut gua, kalau memang kita gak yakin untuk mengalahkan mereka, kita gak usah ngelawan mereka. Kita fokus nyelamatin diri aja!" usulnya.

Memang ada benarnya ucapan Dheya, melawan pemberontak sama saja seperti membangunkan singa yang sedang tidur. Mereka tak seharusnya melakukan hal berbahaya dan mengambil resiko yang tinggi, lagipula nyawa mereka lebih berharga dibanding memenuhi ambisi untuk membunuh para pemberontak.

"Gua setuju sama Dheya, yang setuju untuk fokus menyelamatkan nyawa dibanding melawan para pemberontak, angkat tangannya!" perintah Zahra sambil memimpin sesi vote dengan mengangkat tangan pertama.

Dheya mengangkat tangannya disusul oleh Windy, Sabrina, dan Pinkkan. Dewi masih sibuk memperhatikan kastil tersebut dari jauh dan tidak ikut mengangkat tangannya.

Semua mata langsung tertuju kepadanya, apa benar dia lebih mementingkan untuk melawan pemberontak daripada menyelamatkan nyawanya?

Dewi membalikkan badannya dan membalas tatapan satu persatu teman yang menatapnya.

Dewi menghela nafas menyerah "Oke, gua memang setuju buat melawan musuh, bukan menghindarinya. Tapi setelah gua pikir lagi, nyawa kita emang lebih penting, apalagi nyawa kalian. Ayo kita cari jalan terdekat untuk keluar dari kota ini!"

Ucapan Dewi hampir membuat teman-temannya sakit jantung. Beruntung, ia ikut setuju dengan keputusan teman-temannya.

"Baiklah, ayo kita semua kerja sama. Bangkitkan semangat kita untuk keluar dari kota ini!" Sabrina menggelar peta di tengah kumpulan temannya.

"Ingat! Tak ada ungkapan 'mati ditangan pemberontak', berjuanglah untuk nyawa kita, nyawa keluarga, dan nyawa teman-teman kita. Windy! Semangat! Gak ada kata terlambat untuk berjuang. Pinkkan, Dheya, Zahra tetap pertahankan semangat juang kalian. Dan Dewi, terus lah jadi pemberani dan menyemangati kita untuk tetap berjuang! Ingat, tujuan kita jelas kali ini. Nyawa lebih penting dibanding ambisi kita untuk membunuh para pemberontak!" ucap Sabrina panjang lebar. Berusaha mengembalikan sifat semangat juang teman-temannya.

"Apa? Hahahaha! Kalian ingin menyelamatkan nyawa kalian dengan keluar dari kota ini?! Itu mustahil wahai para wanita! Mereka punya senjata yang lebih kuat dari yang kalian duga untuk menjaga kalian tetap di kota ini" ucap suara berat dari belakang Sabrina.

Semua kaget dan langsung berdiri mempersiapkan posisi siaga. Terlihat seorang bertudung hitam menghadap kearah mereka. Wajahnya tertutup tudung tersebut. Ia juga menyelempangkan sebuah senapan serta membawa sebuah bungkusan di tangan kirinya.

"Stop memasang posisi seperti itu! Aku di pihak kalian! Percayalah!" ucapnya saat melihat Pinkkan dan Dewi siap menembak dengan senjatanya.

Ia membuka tudungnya dan memperlihatkan wajahnya. Wajah seorang lelaki sepantaran mereka, dengan rambut lurusnya menutupi dahi, ia terlihat cukup tampan.

"Apa kalian bersedia menukar 5 selongsong peluru untuk ini?" ia membuka bungkusan yang ia bawa dan menunjukkan makanan penuh didalamnya.

Sabrina, Windy, Dheya, Zahra, Pinkkan dan Dewi saling tatap. Tergiur oleh isi dari bungkusan yang dibawa lelaki tersebut.

"Baiklah, aku tahu kalian menginginkan ini namun kalian tak percaya deganku. Namaku Genta, umurku sepertinya sepantaran dengan kalian. Aku berasal dari salah satu SMA di kota ini, kalau tidak percaya, aku punya ini" ia mengeluarkan sebuah kartu dari saku celananya. Meskipun mereka sebenarnya sudah percaya karena celana yang dikenakan laki-laki tersebut merupakan celana abu-abu yang merupakan seragam resmi SMA.

Kartu yang ditunjukkan ternyata kartu pelajar. Benar ternyata, ia jujur.

Zahra menurunkan senjatanya, namun tak yang lain. Ia menghampiri Genta dengan berani dan menatap mata Genta.

Genta merasa tak risih, karena ia ingin membuat mereka percaya dengan memberikan tatapan jujur.

"Dia jujur," ucap Zahra sambil kembali ke teman-temannya.

"Darimana kau dapatkan senapan itu?" tanya Dheya. Ia masih mengarahkan senapannya kearah Genta untuk hal siaga.

"Aku menemukannya di tumpukan para pemberontak yang mati disana. Saat ku periksa, senapannya kosong dan aku butuh amunisi untuk melawan mereka" jawab Genta.

Mendengar hal tersebut, Dewi menurunkan busurnya dan meletakkan kembali panah di tas khusus panah yang diselempangkan ke punggungnya.

"Bisa kau meyakinkan kami?" kali ini Windy bertindak.

Genta sedikit terkejut dengan pertanyaan Windy. Namun tak lama, ia lalu tersenyum manis.

"Aku tak akan membiarkan para wanita untuk berjuang melawan mereka tanpa adanya laki-laki. Aku akan melindungi kalian, percayalah!" ucap Genta.

Sayangnya, ucapan Genta malah membuat mereka tersipu malu bukannya yakin. Wanita memang rumit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang