12.

38 6 11
                                    

"Mau apa lu kesini?" Dheya seakan tahu keberadaan Dewi yang tertutup pohon. Karena merasa kepergok, Dewi tak lagi menyembunyikan dirinya dan segera keluar dari balik pohon. "Maaf kalau kata-kata gua tadi nyakitin. Tapi pada saat kaya gini, kita juga harus berpikir dewasa. Semua yang dilakuin bukan cuma buat kita sendiri, tapi buat kita semua. Gak mungkin kan kalo lu gak sadar sama hal sekecil itu"

Dewi duduk di sebelah Dehya. Tepatnya disebuah pohon tumbang. Dihadapan mereka berdua terbuka mulut jurang yang lebar dan terlihat ingin menyantap mereka berdua, Dewi baru menyadarinya saat ia duduk di pohon tumbang tersebut. "Iya maaf, gua mungkin lagi gak bisa berpikir jernih. Gua kehilangan terlalu banyak orang yang gua sayangin" Dheya akhirnya menatap muka Dewi. "Maaf juga, kalo takut gak usah duduk disini deh. Kita pindah diskusinya" ucap Dheya sedikit tertawa saat melihat wajah Dewi yang terlihat parno dengan jurang dihadapan mereka.

Dewi menguatkan dirinya dan tetap mempertahankan posisinya. Ia tak takut ketinggian, tapi ia takut jika jatuh dari ketinggian. "Gak, disini aja. Hawanya enak kok" Dewi berusaha tersenyum dan berpura-pura menikmati pemandangan. Dheya mengangguk dan ikut menikmati suasanya angin pagi.

"Jadi, hmm. Sampai mana kita tadi?" obrolan mereka kembali temengangguk

----------
----------

"

Kalian itu ya, udah bikin kita nunggu lama aja sih!" Windy membulatkan matanya, ia terlihat kesal. "Eh maaf, tadi kita lupa waktu pas ngobrol, yalan Dheya?" Dewi menepuk pundak Dheya dengan tenaga. "Engg, iya" Dheya ikut grogi. "Tapi setidaknya kalian tuh.."

"Udahlah Windy, sekarang ayo kita lanjutin misi kita!" Pinkkan memutus ocehan Windy. "Heh? Misi? Sejak kapan kita ada misi?" tanya Lusi sambil menarik Windy yang masih diam ditempat karena kesal. "Sejak barusan!" Pinkkan tersenyum konyol sambil terus mengikuti jejak Zahra yang memimpin.

Mereka jalan dalam diam, semakin masuk kedalam hutan, semakin gelap suasananya. Cahaya matahari mulai tertutup oleh rimbunnya pohon di hutan bagian dalam. "Ngomong-ngomong, tempat apa sih yang kalian berdua maksud, Windy, Zahra?" Sabrina mengubah posisi jalannya menjadi sejajar dengan Zahra.

"Gimana ya, tempat itu tuh kaya gudang amunisi. Banyak senjata disana" Zahra akhirnya membuka suara tentang tempat yang akan mereka tuju. "Loh jadi, disana kita bisa dapet senjata yang lebih layak dari kayu ini?" Pinkkan menyodorkan kayu miliknya yang sudah lusuh. Tanpa pikir panjang, ia melempar kayu tersebut dan jalan dengan penuh semangat. "Kok dibuang sih senjatanya?" Windy menunjukkan wajah emosinya.

"Wooo! Santai, bukannya kita mau dapet senjata yang lebih layak ya? Nah kita berarti harus buang senjata lama kita!" Pinkkan mengangkat sebelah alisnya, ia terlihat sangat meledek Windy. "Tunggu apa? Kita kan gak tau ada bahaya apa didepan! Kalau main dibuang aja, ya kita pasti..."

"SAMPAI!" ucapan Windy lagi-lagi terpotong, kali ini oleh nada riang Zahra. Semua kaget saat melihat bangunan tersebut. Gubuk tua dengan kayu yang dimakan rayap, bayangan gudang amunisi yang gagah di mata mereka kini lenyap. Ingin rasanya menertawakan kebodohan mereka yang mudah sekali tergiur dengan ucapan teman!

"Kalian serius. Windy, Zahra? Ini gudang amunisisnya?" nada meledek pertama dikeluarkan oleh Sabrina. "Bangunan kaya gini sih banyak di pedalaman!" kalimat kedua dilontarkan oleh Lusi. "Gila gak kebayang gua, bangunan kaya gini dibilang gudang amunisi! Mata kalian ada yang salah ya?" ucap Pinkkan dengan sindiran pedasnya.

Windy dan Zahra mengela nafas berat. Mereka berusaha menahan emosi, dan berusaha terlihat tetap tenang. "Ayo masuk" ajak Windy. Dengan sedikit ragu, teman-temannya ikut ajakan Windy dan masuk kedalam gubuk tersebut.

Sesuai dugaan dan bayangan mereka ternyata, didalam gubuk tersebut tak ada apa-apa selain sebuah balai tua dari bambu yang dibuat tangan. Mereka terlalu asik hingga tak sadar kalau Windy dan Zahra membuka seusatu dibawah mereka. "Lihat!" Dewi menunjuk kearah tanah yang berubah menjadi susunan tangga teratur mengarah kebawah.

"Ayo turun!" Windy mengandeng Dheya yang terlihat takut. Memang keadaan dibawah sangat gelap. Itulah mengapa mereka takut untuk menjejakkan kaki mereka ke tangga tersebut.

Diluar dugaan, ternyata gelap itu hanya sementara. Mereka melihat sebuah ruangan besar yang diterangi obor disetiap dindingnya. "Gua sama Windy yang nyalahin obor-obor ini. Jadi gak usah curiga atau apa" Zahra menjelaskan sebelum berbagai pertanyaan terlontar.

Bukan hanya obor yang membuat mereka terkejut, namun berbagai macam senjata tersedia di rak-rak yang tersusun rapi. Benar kata Windy dan Zahra, tanah yang mereka pijak ini adalah gudang amunisi. "Tunggu! Kita gak boleh gegabah!" Dewi menahan Windy yang ingin berjalan lebih dalam menyusuri ruang tersebut.

"Kenapa? Gua sama Zahra udah nyusurin temat ini, dan aman! Jadi gak usah ngalangin gua" Windy melepas tangan Dewi yang menahannya dengan hentakkan yang keras. Mengikuti Windy, teman yang lain ikut menyusuri tempat tersebut. Dewi memutuskan untuk diam ditempat, ia seakan punya firasat akan terjadi hal yang buruk.

Ia terus memperhatikan teman-temannya satu-persatu. Pandangannya terhenti pada Windy dan sedang menarik sebuah senjata dari rak, ia melihat kejanggalan. Dengan sigap ia berlari kearah Windy dan mendorongnya hingga jatuh.

Rak tempat Windy mengambil senjata tiba-tiba roboh. Rak besi berat tersebut jatuh kedepan tempat Dewi berdiri. Barang-barang di rak tersebut menghantam tengkuk Dewi dengan keras. Seakan dilumpuhkan, ia terjatuh ke bawah dan tak bergerak sedikitpun. Disusul dengan jatuhnya rak tepat di atas tubuh Dewi yang tergeletak.

"KEBURU!" teriak Dewi sebelum pandangannya kabur seutuhnya.

----------
----------

Hae gais! Hehehe udah kan 2 part! Jan nagih² lagi, udah dipublish tuh (walau selangnya berjam-jam). Peace✌

See you... Salam, author...

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang