5.

32 6 0
                                    

Shally terkejut dan tertawa mendengar jawaban Dewi. "Hah? Lu mau ngelawan mereka? Pake apa? Paku batu bata?" ledeknya lagi. Dewi terpancing untuk berdebat dengan Shally, begitupun sebaliknya.

"Ya! Gua bakal ngelakuin apapun buat ngelawan mereka" ia tersenyum. Shally menggeleng. "Gak! Lu gak bakal menang. Lu bakal mati dan perjuangan lu bakal sia-sia" Shally tak mau kalah. Ia melipat tangannya sembari memasang tampang merendahkan.

"Itu lebih baik" Dewi mengambil jeda sejenak. "Lebih baik gua mati saat berjuang, daripada mati saat gua gak ngelakuin apa-apa!" Dewi menjauh dari Shally. Keduanya saling diam. Memang bertengkar disaat ini bukanlah saat yang tepat. Seharusnya mereka saling melindungi agar bisa saling bertahan hidup.

----------
----------

Selama satu jam lebih mereka tak berkutik. Duduk berjauhan dengan saling membelakangi membuat mereka semakin dingin. "Apa cuma kita berdua doang yang selamat?" tanya Dewi, entah ia menanya pada siapa karena Shally tak menangapinya sama sekali.

"Ssttt! Woy! Shally, Dewi" bisik seseorang dari balik gundukan reruntuhan. Dengan refleks, mereka berdua melirik kearah sumber suara. Entah harus terkejut atau senang karena mereka melihat Zahra sedang mengintip sambil memberi kode agar mereka berdua mendekat.

Dengan jarak yang masih berjauhan, mereka mendekat kearah Zahra dan ikut bersembunyi dibalik gundukan reuruntuhan yang cukup besar itu. Namun, mereka terkejut saat melihat dibalik gundukan tersebut tak hanya ada Zahra. Disana ada Pinkkan, Sabrina, Windy, Lusi, Dheya, dan seseorang yang mereka tak kenal. "Kenalin, ini Gisel dari kelas 11F" Zahra menunjuk seorang wanita yang asing bagi Shally dan Dewi.

"Shally" ia menjabat tangan Gisel sambil memberikan senyuman manis. Gisel membalasnya dengan senyum tak kalah manisnya.

"Halo, salam kenal. Gua Dewi" ia berganti menjabat tangan Dewi kemudian tersenyum. "Gisel gak bisa bicara, jadi kita harus paham apa yang dia pengen dan apa yang dia butuhin" Sabrina menambahkan. Shally dan Dewi mengangguk bersamaan.

"Posisi kita udah cukup aman, pemerintah gak akan bisa nyelamatin kita dengan posisi pemberontak lebih dominan. Kita harus ekstra hati-hatk buat bertahan. Kita harus ngelindungj satu sama lain! Jangan egois" Windy menjelaskan dengan nada super serius. Kaau dipikir-pikir, Windy memang tak pernah berbicara seserius ini.

"Apa kalian cuma mau nunggu bantuan dari pemerintah?" tanya Dewi sambil mengangkat sebelah alisnya. Seketika ia menjadi pusat perhatian. "Bisa diem gak sih Dew, lu dari tadi kayaknya ngelawan mulu! Gak sama gua, gak sama mereka! Egois tau gak lu" Shally memprotes ucapan Dewi dengan nada menusuk. Namun Dewi seakan tak menanggapinya dan melanjutkan strateginya.

"Kalo kalian cuma nunggu mereka, gak akan ada yang selamat! Itu tujuan pemberontak. Dimana mereka akan nebunuh semua orang yang berpihak dan bergantung pada pemerintah," Dewi mengambil jeda sejenak untuk membiarkan teman-temannya menanggapi.

"Tau dari mana lu tentang semua itu?" tanya Pinkkan seolah tak yakin. "Dari, film. Udahlah itu gak penting, yang penting sekarang itu kita harus ngelawan mereka!" Dewi menekan kata-katanya. "Kenapa harus? Itu sama aja kita bunuh diri kan?" Dheya mewakili teman-temannya yang tidak setuju dengan ucapan Dewi. "Gini, kalian bisa hitung gak berapa jumlah temen-temen dan keluarga kita yang mati karena mereka? Banyak kan jumlahnya! Nah, mereka harus bayar jumlah itu semua. Gua gak terima keluarga dan teman-teman kita mati percuma karena keserakahan mereka, dan parahnya lagi kita adalah korban selanjutnya. Kalau kita mati, mereka juga harus mati bareng kita" ia membangkitkan abisius teman-temannya.

Beberapa dari mereka ada yang tersenyum puas, namun ada beberapa juga yang memasang tampang horor. "Itu cuma maunya lu! Kita gak mau" Shally bersuara. "Tunggu, tunggu.." cegah Sabrina sebelum Dewi kembali perang dingin dengan Shally. "Gua setuju sama Dewi, kita harus ngelawan. Setidaknya kalau kita mati, kita mati dalam keadaan berjuang bukan dalam keadaan menyerah"

Dewi tersenyum puas karena pihaknya bertambah satu. Tanpa diduga, Gisel mengangkat tangannya dan menunjuk Dewi. Semuanya langsung tahu kalau ia setuju dengan apa yang dikatakan Dewi, dan itu berarti pihaknya bertambah lagi satu.

"Ayolah Shally, apa kata Dewi benar. Jangan egois, bukannya itu yang lu bilang tadi?" Zahra mendekat kearah Shally. "Kasih satu alasan kenapa gua harus setuju sama kalian?" Shally menunduk dan memainkan batu didepannya. "Kita buat kematian mereka berarti. Dengan kita memerangi pemberontak, itu membuat mereka tak mati sia-sia. Anggap aja mereka ada di pihak kita dan ikut berjuang" Dheya tersenyum dan menepuk pundak Shally, mencoba memberinya semangat untuk ikut peperangan ini. "Baiklah, aku ada di pihak kalian" jawab Shally akhirnya.

"Jadi apa rencana kita?"

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang