2.

42 6 1
                                    

"Gangga!" teriak Mela dari belakang sebuah bangku. Ia tiba-tiba berdiri dan berlari kearah pintu yang masih terbuka. Namun, aksinya dihalangi oleh Zidane yang sigap menangkap Mela sebelum ia keluar dan buru-buru menutup pintu kelas.

"Lo gila ya Mel, diluar tuh bahaya! Kalo lo keluar, nasib lo itu gak jauh dari nasib Gangga!" marah Zidane sambil menatap Mela dengan kesal.

Yang dimarahi malah menunduk dan menagis. Dari awal masuk sekolah, Mela memang sangat dekat dengan Gangga. Mereka selalu bersama kemanapun mereka pergi. Ke kantin, toilet, main maupun belajar. Keakraban mereka memang terlihat tak dapat dipisahkan.

"Lo gak tau rasanya kehilangan sahabat!" Mela menghentakkan kakinya ke lantai sambil menunjuk Zidane. "Dari dulu, Gangga tuh selalu bareng gua! Ke kantin, belajar. Sekarang? Gak ada lagi yang bisa nemenin gua buat ke kantin atau belajar!" Mela membiarkan kakinya ambruk. Ia menangis, semua diam menyaksikan isakan seseorang yang kehilangan sosok sahabat.

Tiba-tiba Agnes berlari kearah Mela dan memeluknya dari belakang. Mela yang sepertinya kaget malah tak memperdulikan pelukan tiba-tiba dari Agnes. "Jangan khawatir, gua siap nemenin lo ke kantin, gua siap nemenin lo belajar. Jangan sedih lagi. Sekarang bukan waktunya buat sedih, sekarang adalah waktunya untuk bangkit. Kita harus kuat, kita harus selalu bersama!" bisik Agnes tepat di telinga Mela.

Mela langsung membuka tangan yang menutupi wajahnya. Sejenak ia menatap mata Agnes yang nampak tulus sebelum mereka berpelukan dengan erat.

"Disini, semua bisa terjadi ya! Gua gak tau ini perang atau pemberontakan, gua gak abis pikir sama orang yang main seenaknya aja nembak sama ngebom orang. Dan satu lagi, mana bantuan Penjaga keamanan Centrals sama polisi?" Windy menggerutu sendiri. Pinkkan yang duduk tepat disebelah Windy tertawa sendiri. "Windy, sabar Win. Kalau kita sabar mudah-mudahan tuhan bantu kita. Mungkin polisi lagi di perjalanan? Gak ada yang tau kan?"

Windy mengangguk dan ikut tertawa. "Iya juga ya! Harusnya gua tuh gak perlu berpikir buruk"

"Eh coba kalian diem deh! Gua denger suara dari kelas sebelah" ucap Dheya yang baru tenang dari kepanikannya. Benar kata Dheya, mereka mendengar suara ribut dari kelas lain yang berada tepat di kiri kelas mereka.

Lalu Ethan berlari ke arah tembok yang menghubungkan kelas mereka dengan kelas disebelah. Ia lalu memukul-mukul tembok tersebut dengan kepalan tangannya. "Yang disebelah bisa denger gua gak?" Ethan mencoba. Namun hanya suara ribut saja yang mereka dengar.

Zidane lalu ikut memojok ke tembok tempat Ethan memukul. Tepat didepan tembok tersebut terletak meja guru lengkap dengan laptop dan buku milik bu Mitha. Namun pandangan Zidane tidak kearah dua benda tersebut menainkan Microfone yang tergeletak diatas taplak lusuh.

"Cek cek. Kelas sebelah bisa dengar kita gak?" ucapan Zidane menarik perhatian teman-temannya. Setelah menunggu cukup lama, Zidane mulai membesarkan volume mic hingga full. "Halo, kelas sebelah bisa dengar gak?" Zidane mencoba lagi.

Terdengar suara kresek-kresek dari kelas sebelah. Semua murid menunggu jawaban dari kelas tersebut dengan sangat tidak sabar.

"Halo 11A. Kita 11B udah bisa denger suara kalian" ucap seseorang dari kelas sebelah. Beruntung sekali kelas 11A dan 11B bersebelahan hingga mic dengan volume full dapat saling terdengar.

"Bagus, kalian baik-baik aja kan? Berapa jumlah kalian?" tanya Zidane. Ethan serta teman lainnya sangat tak sabar menunggu jawaban dari mereka.

"Kami baik-baik aja. Jumlah kita 14 orang 9 laki-laki 5 perempuan. Sisanya keluar karena panik dan... Ya kalian tau lah. Terus guru yang ngajar kami juga ikut keluar dan... Ditembak" ucap orang disebelah dengan agak ragu diujungnya.

Zidane menatap teman-temannya seolah memberitahu dan bertanya. "Zidane, tanya apa mereka tau gimana dengan kelas-kelas lain" usul Lusi. Zidane mengangguk dan bertanya sesuai apa yang Lusi pertanyakan.

"Buat kelas 11F sama 11H sisa murid mereka sekitar 10-15 orang. Kami tau informasi dari hp yang teman kami bawa" jawabnya. Zidane mengangguk. "Ada lagi gak yang mau ditanyain?"

"Zidane, coba tanya mereka punya gak informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi!" kali ini Sabrina yang mengusul.

"Kalian semua punya gak informasi tentang apa yang sekarang terjadi?" Zidane menanyakkan sambil menatap ke putihnya tembok.

"Kami gak tau pasti. Tapi dari hp teman kami, di media sosial lagi rame tentang pemberontakan yang ada di Centrals. Pemberontakan ini kayaknya gara-gara sekelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintah Centrals yang katanya serakah. Berita itu ditulis sama polisi karena semua wilayah Centrals sudah hampir rata dengan tanah. Polisi sama Penjaga keamanan Centrals juga gak bisa bantu kita karena semua jalan masuk ke area pemberontakan udah di blokade sama mereka dan juga polisi ngira kalo semua orang di arena pemberontakan udah di bunuh. Sekarang tugas kita cuma harus saling ngelindungin dan bertahan hidup.

Masalah listrik, disekolah ini masih hidup jadi kita masih bisa saling komunikasi. Kalo nanti listrik mati, kita harus saling hancurin tembok kelas dan buat satu lubang di tembok biar kita bisa komunikasi. Cuma itu yang bisa kami kasih tau" ucapannya diakhiri dengan suara kresek-kresek yang lumayan panjang.

Semua murid saling tatap, kini jumlah mereka hanya sekitar 16-18 orang saja dan mayoritasnya perempuan. Hal itu membuat tugas para laki-laki untuk melindungi perempuan semakin sulit.

"Sekarang gini, para pemberontak itu sekarang pasti sangat bahaya buat kita. Tugas kita sekarang itu harus saling melindungi dan membantu. Gak ada lagi yang namanya laki-laki lebih kuat daripada perempuan, semua sama kuat. Masalah makanan, kita bisa geledah tas temen-temen kita buat ambil bekal mereka. Dan ingat, gua lebih baik mati kelaparan di kelas ini daripada mati ditembak sama mereka!!" Ronald nampaknya kembali bangkit.

Semuanya diam, mereka mendenar kata-kata Ronald tapi mereka tak merespon apa-apa. Pikiran mereka kini tengah melayang.

"Gua gak nyangka gua bisa kehilangan orang tua gua dengan sangat cepat! Gua juga gak nyangka bisa kejebak di masalah yang gak ada sangkut pautnya sama gua ini!" Ethan mewakilkan pikiran teman-temannya. Semua murid menengok sekilas kearah Ethan sebelum mereka kembali diam dan hanyut dalam pikirannya masing-masing.

Woman WarriorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang