Berkunjung

1.6K 88 4
                                    

Sepulang sekolah aku dan Fera berjalan menuju gerbang sekolah. Kulihat Danu seperti sedang menunggu seseorang di depan gerbang, aku rasa dia menungguku. Saat aku dan Fera sudah mendekat padanya, dia tersenyum dengan senyumnya yang manis itu. Aku membalas senyumnya, Fera juga.

"Kak, Tiyanya boleh pulang bareng aku?" Danu bertanya pada Fera. Baru kali ini aku mendengar dia menyebut dirinya Aku.

"Boleh, culik aja gak apa-apa!" kata Fera diiringi tawanya.

"Apa sih, Fer?" kataku kesal.

Aku pun menaiki motor Danu, kemudian melambai ke arah Fera.

"Dadah, Fer!"

"Daahh." balas Fera dan motor pun melaju.

"Hari ini ke rumah gue yuk!" ajak Danu.

"Ih, ngapain?"

"Biar kenal sama keluarga gue."

"Malu, Nu."

"Keluarga gue asik kok. Mau ya?" pintanya.

"Mmm ... ya udah deh," jawabku pasrah.

Tidak lama kami pun berbelok ke sebuah gang, gang yang dulu pernah kulihat Danu berbelok kesini juga. Lalu kami berhenti di sebuah rumah bercat warna putih. Danu memarkirkan motornya di depan rumah itu, lalu mengajakku masuk setelah melepas sepatu terlebih dahulu.

"Assalamualaikum. Bu, ada tamu nih!" kata Danu sambil masuk ke dalam mencari ibunya, sedangkan aku menunggu di ruang tamu.

"Waalaikumsalam, ada siapa?" terdengar suara ibu-ibu dari ruangan yang berbeda.

"Udah, liat aja!" itu suara Danu.

Kemudian Danu muncul bersama seorang ibu-ibu seperti sudah berumur lima puluhan.

Aku pun berdiri sambil memberi salam dengan membungkukan badan dan mencium tangan ibu itu.

"Siapa ini?" tanya ibu itu sambil tersenyum.

"Tiya, Bu," jawabku berusaha sopan.

"Temen sekolah Danu?" tanyanya lagi.

"Iya, Bu," jawabku.

"Bentar ya," kata ibu itu lalu pergi ke dalam.

Danu kemudian duduk di depanku dan tersenyum. Tetapi tidak aku balas senyum itu. Tidak lama ibu itu sudah kembali dengan membawa nampan yang berisi minuman dan beberapa toples berisi makanan.

"Aduh, Bu. Ngerepotin," kataku basa-basi, padahal aslinya aku memang haus.

"Gak apa-apa," jawabnya sambil menaruh bawaannya tadi ke meja di depan kami. Lalu kemudian dia duduk di sebelah Danu.

"Ini Ibu gue" kata Danu sambil memegang kedua bahu ibunya. "Udah tua ya? Hahahaha."

Ibu itu pun tertawa, lalu berkata, "Ya jelas, anaknya udah gede-gede. Kalo Ibu kamu masih muda ya?" tanya ibunya Danu padaku.

"Umur 38 tahun, Bu," jawabku.

"Anak pertamanya kamu?"

"Iya, Bu."

"Kalo Ibu anaknya udah pada gede-gede semua. Ada lima, yang pertama cewe satu-satunya udah nikah, yang kedua cowok udah nikah juga, yang ketiga belum nikah tapi udah kerja, yang keempat masih kelas dua SMA, nah yang bungsu nih yang ini," kata ibunya Danu menjelaskan, lalu memegang bahu Danu.

"Yang paling ganteng ya, Bu?" kata Danu sambil tersenyum.

"Enggak, yang paling ganteng itu Anwar," kata ibunya Danu.

Danu langsung cemberut.

"Ibu kedalam ya?" kata ibunya Danu, lalu bangun dari tempat duduknya sambil dibantu oleh Danu.

Kemudian kami berdua hanya mengobrol sambil tertawa-tawa. Hingga sore tiba aku pun pamit pada ibunya Danu. Baru saja kami keluar dari rumah, lalu datang seorang laki-laki berseragam SMA.

"Siapa, Nu?" tanya orang itu.

"Biasa," kata Danu sambil mengedipkan matanya sebelah.

Setelah orang itu masuk ke dalam rumah Danu, aku pun bertanya "Siapa, Nu?"

"Kakak gue."

"Yang kelas dua?"

"Iya, Anwar namanya. Yang kata Ibu gue paling ganteng."

"Sekolah di mana?"

"Di MAN, sok alim emang dia mah," kata Danu berusaha menjelek-jelekan kakaknya.

Kalimatnya tadi membuatku memukul pundak Danu dari atas motor, tentu saja hanya bercanda. Ternyata benar pendapat ibunya Danu itu, bahwa Anwar lebih tampan dari pada Danu.

Motor Danu terus melaju di jalan raya, untuk membawaku pulang ke rumah.

※※※

Aku dan Danu sudah sampai di rumahku. Aku turun dari motor, sedangkan Danu tidak. Dia bilang ingin pergi main dengan teman-temannya. Setelah mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan pada Danu, aku pun masuk ke dalam rumah.

"Abis dari mana baru pulang?" tanya ayah yang sedang duduk di sofa sambil menonton TV. Nadanya seperti marah. Tumben sekali dia sudah pulang.

"Main, Yah," jawabku takut.

"Sama siapa?" masih dengan intonasi yang sama, yang membuatku takut.

"Danu, Yah."

"Kamu pacaran sama dia?" suara ayah merendah.

"Enggak, Yah."

"Kalo pacaran juga gak apa-apa," kata-kata ayah membuatku terkejut.

"Kok gitu?" tanyaku.

"Sini duduk! Ayah ceritain," kata ayah sambil menepuk tempat di sebelahnya.

Aku pun duduk.

"Kamu inget enggak? Ayah pernah cerita, waktu itu mau dirampok pas waktu mobil Ayah mogok?" kata ayah memulai ceritanya.

"Mmm ... inget, Ayah" kataku sambil mengingat-ingat cerita yang masih samar.

"Terus ada anak sekolah yang nolongin kan?"

"Iya, terus?"

"Nah, orang itu Danu. Ayah masih inget mukanya."

"Masa sih, Yah?"

"Bener, Ayah masih inget mukanya. Kalo gak percaya coba aja kamu cek di belakang lehernya ada tahi lalat enggak? Soalnya Ayah tuh inget, ada liat tahi lalat di leher belakang anak yang nolongin Ayah itu."

"Ih, Ayah apa sih?"

"Beneran, coba kamu cek nanti."

"Ih, males!" aku ngeloyor pergi ke kamarku untuk segera mandi dan ganti baju, meninggalkan ayah yang sedang menertawaiku.

※※※

Pulang sekolah, hari ini Danu masih mengantarku pulang, sebenarnya aku agak tidak enak dengan Fera yang selalu aku tinggal pulang sendiri.

"Tadi pas istirahat ada anak kelas X-2 nembak gue," kata Danu tiba-tiba dan berhasil membuat hatiku tersentak.

"Siapa?" tanyaku.

"Rani, kenal?"

"Oh, enggak. Terus?"

"Enggak gue terima kok."

"Kenapa?"

"Gue mau coba berubah, gak seolah mainin cewek lagi."

"Oh."

"Gue mau fokus sama lo."

Aku hanya diam, sepanjang jalan diam. Perasaanku bercampur antara patah hati dan senang.

Aku melirik ke leher Danu, ternyata benar kata ayah, dia memiliki tahi lalat di leher belakangnya. Hal itu berhasil membuatku tersenyum.

※※※

Brondong Lovers ✔️ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang