"Hai Lily." Justin melambaikan tangannya lalu pergi. Aku tak sempat untuk membalas lambaiannya.
Kututup pintu dan aku langsung disambut oleh ibuku.
"Bagaimana sekolahmu? Kau sudah mempunyai teman? Apakah disana ada anak laki-laki yang tampan? Bagaimana dengan guru?" Ibu menghujaniku dengan berbagai macam pertanyaan.
"I will tell you mom. But not now." Aku langsung naik ke lantai atas meninggalkan ibuku.
Rasanya aku tidak ingin menjawab pertanyaan ibu. Terutama soal laki-laki tampan. Pertanyaan seperti apa itu?
Selama 16 tahun ini aku tidak pernah pacaran. Memikirkan laki-laki pun aku tidak pernah. Sebenarnya pernah. Memikirkan ayahku.
Kubuka pintu kamarku dan aku merebahkan tubuhku ke kasur. Kulirik jendela yang belum sempat kututup tadi pagi. Aku terlalu malas untuk menutupnya sekarang.
Sejujurnya, aku tidak mempunyai teman dekat di sekolahku dulu. Hanya teman biasa saja. Semoga saja dengan aku bertemu lima perempuan itu, mereka bisa menjadi teman dekatku. Dan Justin... aku harap aku bisa berteman dengannya.
Isi otakku sekarang penuh dengan nama Justin. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Dan aku juga tidak bisa berhenti memikirkan apa yang Emily katakan tadi.
'Justin dumped all of us.'
Yang benar saja? Mereka berlima? Apa mereka berteman karena mereka adalah korban Justin yang... terlihat populer? Tapi bagaimana bisa? Apakah Justin setega itu mendekati banyak perempuan dan langsung meninggalkannya begitu saja? Seharusnya aku berani menanyakan hal itu pada Em. Lain kesempatan aku harus menanyakannya.
Ah lebih baik aku menelepon Emily saja. Kuambil ponselku dan mengetik nama Emily di kontakku.
Kuhempaskan ponselku ke kasur dengan kesal. Aku tidak punya kontaknya. Jelas saja. Kami hanya bertemu sebentar dan aku tidak berpikiran untuk meminta nomor mereka.
Tunggu, kenapa aku harus kesal? Sebegitukah aku penasaran pada Justin. Memalukan sekali Lily. Kau harus bersikap normal.
-
Hari keduaku disekolah. Kelas yang kuambil adalah olahraga. Tebak dengan siapa aku sekelas? The one and only Justin Bieber. Baru kali ini dalam pelajaran olahraga aku merasa sangat semangat. Tapi tidak begitu semangat karena ada Hanna yang ternyata mengambil kelas ini. Seharusnya aku bersyukur karena ada teman.
"Aku sangat benci dengan olahraga. Kakiku rasanya akan lepas saat aku keliling lapangan yang luas itu." Aku hanya tertawa mendengar keluh kesal Hanna.
"Kau tau tidak? Olahraga itu membuat badanmu sehat dan bugar, karena semua badanmu bergerak." Nasihatku disambut dengan putaran bola mata darinya. Namun aku tidak kesal. Mungkin ini memang sifatnya.
"Well i'm doing sport when i'm walking in my heels. Because all parts of my body are moving, right?"
Aku menahan tawa dan hanya mengangguk. Yang dia katakan benar juga.
Pak Dunhill sekarang akan mengambil nilai lari keliling lapangan. Dan sekarang saatnya untuk para murid laki-laki untuk berlari.
Mataku tidak bisa berheti menatap Justin yang sedang mengambil posisi bersiap untuk lari. Ya Tuhan, dia sungguh tampan. Dia memakai kaus tanpa lengan dan semua tato di tangan kiri dan kanan nya terpampang jelas. Bukannya anak sekolahan tidak boleh membuat tato?
Lalu Justin menghadap kearahku dan tersenyum kearahku. Benar-benar tersenyum kearahku!!! Aku tidak bisa melakukan hal lain selain membalas senyumnya.
"Wait a minute. Is he just smile at you?"
Aku langsung terdiam saat Hanna bertanya seperti itu.
"Tidak... mungkin dia tersenyum padamu." Aku mencoba menutupi hal tadi.
"Ewh. Siapa yang mau melihat wajah pria menyebalkan itu?" Hanna terdengar sangat kesal.
'Me' kataku dalam hati.
Akhirnya Justin dan teman-temannya selesai berlari tiga kali keliling lapangan. Apakah pak Dunhill ingin menyiksa muridnya? Aku harap tidak.
Sekarang giliran murip perempuan yang akan berlari. Dan untungnya kami hanya perlu berlari 1 putaran saja.
Ternyata aku dan Hanna tidak sekelompok. Dia berada di kelompok satu dan aku berada di kelompok dua. Dan kelompoknya akan berlari duluan.
Benar saja, Justin menghampiriku. Jangan panik Ly!
"Apa kau kuat berlari keliling lapangan sebesar itu?"
"Of course i am. I'm a runner." Aku tertawa renyah bersamanya.
"If you need anything or my help, you can find me." Justin langsung berlalu dari hadapanku.
Entah apa yang aku pikirkan sekarang, namun sikap Justin terhadapku sangat bertolak belakang dengan apa yang teman-temanku katakan. Apa itu merupakan sikap yang dibuat-buat?
==========
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare
FanfictionLily merupakan murid baru di sekolah Rosewood High. Kedua matanya tidak dapat beralih dari sesosok laki-laki bernama Justin, yang lebih terkenal dengan Playboy. Dan Lily pun terjebak dalam sebuah permainan "Truth or Dare" bersama teman barunya, Alis...