"Aku pesan vanilla latte, tolong masukkan lebih banyak krimnya dan beri tambahan lebih banyak bubuk cokelat di atasnya, ya."
Jungkook memperhatikan cara Yerim bicara. Gadis itu selalu tersenyum lembut pada setiap orang yang ditemui, termasuk para pelayan yang mencatat pesanannya. Hal yang menarik adalah ketika ia tersenyum akan menampakkan pipi bulat dengan mata segaris.
"Memesan sedetail itu apa tidak merepotkan?"
Kim Muda mengangkat muka, "tidak, kalau itu memang pekerjaan mereka."
Yang diberi jawaban mengatupkan bibir, suasana tidak mendukung. Ada hujan cukup lebat di luar sana. Musim mulai berganti dan hujan menyambut sore mereka. Kebetulan shift mereka sama, dan Dokter Jeon akan memiliki jam praktek lagi nanti malam. Wajahnya seperti biasa, datar. Padahal Yerim sudah menyumbangkan senyum sedari tadi, atau -ralat, Yerim memang pribadi yang ramah, tidak seperti Jeon yang selalu terlihat dingin.
"Aku pernah membuat latte. Kau harus memegang Drip-O-lator dengan kuat dan benar seperti ini," Yerim memeragakan, seolah ada alat itu di sana.
Biasanya juga pegang suntikan. Batin Jungkook.
"Untuk membuat itu kau harus ingat untuk mengekstrak tujuh gram kopi menjadi dua puluh lima sampai tiga puluh milimeter saja. Jangan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Kemudian saring dengan benar, dan crema-nya lima milimeter saja. Tidak perlu boros karena dijamin rasanya akan nikmat."
Sebenarnya Jungkook antara yakin dan tidak yakin dengan penjelasan Yerim. Tapi sepertinya gadis di hadapannya ini cukup mengerti, ocehannya tentang bagaimana mengekstrak dan pengetahuannya tentang kopi lumayan bagus. Atau sebenarnya karena Jungkooklah yang tidak mengerti? Entahlah.
"Hei, Jeon! Dengar aku tidak sih?"
Tatapan Jungkook kembali pada Yerim, menguncinya hingga si gadis akhirnya diam. "Pesananmu sudah datang."
"Hanya itu? Kau tidak mau menanggapi apa yang kukatakan?"
Ugh! Jungkook sedang tidak ingin menyakiti hati siapapun, tapi celotehan Yerim membuatnya tambah pusing. "Aku lapar, cepat selesaikan makan dan kuantar kau pulang."
"Kenapa mengantarku?"
Karena kakakmu yang menyuruhku. Jungkook menghela nafas sekali lagi, lebih panjang. "Karena memang harus seperti itu, Kim Yerim."
"Apa karena kakakku?"
Jungkook menggeleng cepat. "Karena aku sudah memasukkan jadwal mengantarmu pulang dalam daftar list-ku hari ini."
"Kalau seperti itu batalkan saja." Yerim menyendokkan suapan besar sup jagung ke dalam mulutnya. "Jangan jadikan aku beban, aku tahu kau butuh istirahat."
Untuk sesaat Jungkook merasa jawaban gadis di hadapannya ada benarnya juga. Dia tidak perlu memaksakan diri jika Yerim tidak mau. "Kau yakin?"
"Aku tidak mau tergantung dengan orang lain." Menjeda kalimat, Yerim menatap dalam Jeon Muda. "Termasuk dirimu."
-------
Gerimis. Seulgi tidak tahu harus bagaimana menggambarkan kecintaannya pada hal satu itu. Hujan tipis. Hujan lembut seakan sebuah nyanyian sebelum tidur.
Hujan beraroma senyap, kadang membuatnya merasa seperti sedang memiliki sayap basah. Meskipun ia belum bisa berjalan dengan benar sekarang, mungkin nanti, mungkin suatu saat tidak perlu lagi tertahan oleh kursi roda dan akan bebas menggerakkan dua kakinya seperti dulu lagi. Menarikan apa saja yang ia mau, menatap dalam cermin besar, bernyanyi sekuat ia bisa. Seulgi masih ingat semua itu.
Ada pesan dari teman satu timnya. Agensi akan meninjau ulang kegiatan mereka dalam waktu dekat, namun sepertinya Bungsu Kang masih harus tertahan di sini. Ia mendengar pendapat keluarga, soal kontrak antara dirinya dengan agensi selama tujuh tahun.
Apakah dia perlu memperpanjang? Atau cukup sampai di sini?
Lalu bagaimana dengan nasib grupnya? Bagaimana dengan karirnya?
Seulgi sedang tidak ingin berpikir, karena semakin ia menimbang, rasa kecewa akan semakin besar. Mungkin memang keluarga besar yang harus membuat keputusan, atau mengulur waktu hingga waktu itu tiba. Kontrak yang cepat atau lambat akan selesai.
Oppa, apa kau memikirkanku? Sesibuk itukah?
..
Jimin menatap tubuh perempuan yang sibuk berbincang dengan banyak orang. Dirinya dan Namjoon berdiri tidak jauh dari si penarik atensi.
"Dia hanya mau perhatianmu, Jim."
"Aku tahu."
"Gadis penggila pesta tidak cocok untukmu. Ingat, kau sudah punya Jackson."
"Iya, aku tahu."
Ah, seandainya Jimin tahu bagaimana sebenarnya perasaan perempuan itu, pasti dia akan kembali dalam pelukan hangat yang pernah menjadi miliknya selama dua tahun lamanya. Wajib militer memisahkan keduanya. Karena memiliki dua kewarganegaraan, ia menyempatkan diri untuk menjalani kewajibannya selama dua puluh dua bulan di Korea Selatan.
Waktu yang tidak terlalu lama, tapi tidak bagi perempuan itu. Wajah semi Asia yang dimiliki Naomi Yamada menghipnotis laki-laki lain. Perempuan itu meninggalkan Jimin karena alasan klasik. Kesepian.
Namjoon sekuat tenaga melarang Jimin untuk berhubungan lagi dengan Naomi. Tapi sebesar apapun ia bertindak, Jimin tetap memiliki kemungkinan terpedaya lagi dalam pesona Naomi, jika laki-laki itu tidak secepatnya mencari pengganti.
"Oh iya, kau masih ingat gadis yang bernama Seulgi?" Namjoon mengalihkan, tiba-tiba ia teringat perkataan Yerim tempo hari.
Jimin merasakan bahunya disenggol lebih keras. "Apa?"
"Geez, kau ini payah sekali!" Namjoon menarik lengan Jimin, mengajaknya untuk mengakhiri menghadiri pesta rekan mereka. "Kita pulang! Aku punya berita menarik lainnya untukmu."
Sambil berjalan, Jimin terlihat bingung. "Kabar tentang siapa?"
"Sudah kubilang kan tadi, Kang Seulgi."
"Oh." Hanya jawaban pendek, sepertinya Jimin masih belum tertarik. Naomi seperti Medusa jika tidak dijauhkan dari dirinya. "Seulgi yang itu?" Ia menunjuk pada dua kaki.
Lalu Namjoon mengangguk, "dia tidak seperti yang kita pikirkan."
"Aku tidak berpikir apa-apa tentang dirinya."
Namjoon memejamkan mata sesaat. Bodoh sekali dirimu, Jim!
"Sekali ini dengarkan aku, lupakan Gadis Gila Itu! Move on, dude!"
Pemuda Park mendengus kecil, salah apa ia harus bertemu dengan Naomi lagi? Tuhan, kenapa perempuan itu tidak menghilang dari dirinya? Ini salah satu ujian bagi Jimin.
💔💨
KAMU SEDANG MEMBACA
One In A Million
Fanfiction[Tamat] Seulgi berpikir jika dunia tidak adil padanya saat karir bermusiknya harus berhenti. Tapi ketika dunia yang ia cintai benar-benar melepasnya, ada satu dunia baru yang menyambutnya. Lantas sebuah pertanyaan terlontar, apa yang telah kau berik...